featured
tulisan
Model-Model Kebudayaan Dalam Melihat, Mengkaji dan Menganalisis Masyarakat Multicultural (Pendekatan Model Kebudayaan)
02.21handreasstik66Dalam peta teoritis ilmu-ilmu sosial merupakan bentuk lebih lanjut atau perkembangan dari masyarakat majemuk yang hampir ratusan tahun berkembang di Negara kita. Beberapa karakter yang membedakan antara masyarakat majemuk dan masyarakat multikulturalisme itu adalah pada corak interaksi antar kelompok suku bangsa/ keyakinan keagamaan atau yang kita sebut golongan sosial yang berorientasi pada identitas askriptif. Kalau pada masyarakat majemuk, corak interaksi ini berlangsung karena ada pembedaan identitas diantara golongan sosial itu salah satunya suku bangsa dan penekanan dari perbedaan itu adalah pada ketegori suku bangsa, itu pada masyarakat majemuk. SeBaliknya pada masyarakat multicultural penekanan perbedaannya adalah pada aspek kebudayaan (kultur) yang menjadi orientasi dari masing-masing suku bangsa.
Karena penekanan dimensi suku bangsa begitu kuat dalam
masyarakat majemuk seringkali masyarakat majemuk dicirikan dengan adanya
potensi konflik yang relatif besar. Potensi konflik ini menjadi besar karena
relasi didalam masyarakat majemuk ini terbentuk karena adanya kesenjangan
posisi sosial diantara masing-masing suku bangsa. Fenomena seperti ini tidak
hanya terjadi di Indonesia saja, tapi dibanyak Negara yang struktur masyarakat
itu bercorak majemuk. Secara konseptual banyak ahli berargumentasi bahwa
masyarakat multicultural yang membedakannya dengan masyarakat majemuk adalah
relasi antar golongan askriptif itu (salah satunya suku
bangsa) berdasarkan perbedaan dalam kesetaraan, ini merupakan penjelasan secara
teoritis. Artinya bahwa :
1. Masyarakat
multikulturalisme sangat mementingkan adanya perbedaan diantara berbagai
golongan sosial itu. Jadi masing-masing golongan sosial mempunyai karakter yang
khas yang dapat membedakan mereka dengan golongan sosial lainnya (salah satunya
suku bangsa).
2. Arti
lebih lanjut bahwa multiculturalisme ini adalah sebuah ideologi/ model yang
anti terhadap pendekatan asimilasi karena karakter perbedaan itu sungguh-sungguh
dipertahankan.
3. Lebih
lanjut model ini juga mengkritisi/ anti terhadap model atau pendekatan yang
disebut sebagai melting pot (membaurkan suku bangsa dengan cara menghilangkan
identitas kesukubangsaan itu). Ini konsekuensi lebih lanjut dari pemahaman
multikulturalisme.
Dalam implementasinya, multikulturalisme ini seringkali dijadikan
respon terhadap kebijakan-kebijakan yang sifatnya mono atau kebijakan yang
mengarahkan pada konstruksi homogenitas dari keberagaman suku bangsa yang ada.
Dinegara kita keberagaman adalah sebuah fakta yang sukar dipungkiri karena :
- Bahwa pondasi penyusun bangsa ini beragam karena bangsa ini disusun oleh pondasi-pondasi suku bangsa. Jadi dari berbagai suku bangsa yang ada (diperkirakan jumlahnya lebih dari 500 di Indonesia ini) menjadi tiang-tiang penyangga bagi satu kesatuan yang namanya bangsa Indonesia ini. Jadi sebagai masyarakat multikulturalisme, bangsa Indonesia juga sekaligus merupakan anggota salah satu suku bangsa tertentu. Perbedaan ini muncul karena masing-masing suku bangsa itu memiliki latar kebudayaan yang berbeda antara satu dengan yang lain
- Latar belakang suku bangsa ini yang menjadi pondasi awal bagi sosialisasi knowledge (pembentukan/ modal personaliti, struktur) dari para anggota suku bangsa yang paling mandasar. Begitu kita hadir didunia ini, nilai-nilai pertama yang diperkenalkan kepada kita adalah nilai-nilai budaya yang berasal dari kebudayaan suku bangsa kita masing-masing. Begitu juga yang namanya basic personality structure (struktur kepribadian dasar kita) itu juga dibentuk awalnya oleh kebudayaan suku bangsa yang kita miliki. Sehingga ada suku bangsa yang kharakter kepribadiannya lemah lembut, ada yang sedikit keras dll. Basic personality structure (struktur kepribadian kelompok yang tercermin dalam individu-individu warganya). Ini beberapa kharakter dasar tentang masyarakat multikuturalisme. Satu hal yang perlu kita ketahui bersama, dalam lingkup masyarakat multicultural ini terjadi sebuah pendefinisian ulang tentang apa yang disebut sebagai suku bangsa/ batas-batas suku bangsa itu. Ini merupakan fenomena yang pasti anda temukan saat bertugas kemBali di daerah masing-masing. Pada awalnya ada kecenderungan melihat bahwa satu suku bangsa adalah sebuah kategori sosial yang fix (utuh/ bulat) artinya setiap warga satu suku banga akan mendefinisikan kesukubangsaanya itu secara seragam dan seolah-olah menggunakan atribut yang sama, kalau dia dilihat sebagai debuah kategori yang fix tadi. Dalam kenyataannya model in sering digunakan oleh para pengkaji yang melihat corak interaksi suku bangsa itu missal konflik, itu sebagai fenomena yang Given (dia tumbuh/ ada secara alamiah) istilah lain yang sering digunakan juga adalah taken for granted (jadi konflik-konflik itu dianggap memang sudah alamiah terjadi dan bahkan diperlukan untuk menyeimbangkan kehidupan sosial). Teori-teori ini dasar berfikirnya adalah melihat dari suku bangsa itu sebagai unit yang fix, berdasarkan pemikiran ini kemudian banyak dirancang/ diterjemahkan atau buku-buku yang terkait tentang pengelolaan konflik, karena buat mereka yang penting adalah pengelolaan konflik, salah satu buku terjemahan itu adalah tulisannya Fisher. Model berfikir yang melihat suku bangsa sebagai unit yang utuh ini makin lama semakin tidak sesuai dengan kenyataan dan banyak dikritisi melalui temuan-temuan berbagai penelitian terbaru, salah satunya tercermin dalam bukunya Scutholt tahun 1991 judulnya Olds Identities And New Identies. Apa yang dia argumentasikan bahwa etnisiti bukan sebagai sebuah given fenomena karena dia bilang etnisiti itu sifatnya kontekstual artinya merupakan rekonstruksi dari berbagai perubahan-perubahan yang terjadi disekitar lingkungan hidup suku bangsa itu maupun kontinuitas. Jadi rekonstruksi ini terjadi dalam respon berbagai perubahan dan kontinuitas yang muncul dan dihadapi oleh masing-masing suku bangsa itu. Oleh karena itu pengaktifannya itu tidak selalu sama dalam situasi-situasi yang berbeda, dengan kata lain bahwa suku bangsa dan kesuku bangsaan itu batas-batasnya tidak fix, berkembang terus sesuai konteks interaksinya itu yang dimaksud sebagai konstruksi. Jadi identitas suku bangsa itu adalah hasil dari konstruksi sosial yang dibangun oleh warga suku bangsa yang bersangkutan.
Kemudian sejalan dengan itu muncul konsep-konsep seperti diaspora,
hibridisasi (pengaktifan identitas sosial suku bangsa yang baru
sifatnya dan berbeda dengan corak identitas suku bangsa seperti didaerah asal),
ini banyak terjadi dalam proses-proses gloBalisasi dalam arti yang sangat
sederhana adalah intensifikasi penggunakan ruang dan waktu, reordering
(penataan ulang tentang ruang dan waktu) perpindahan manusia, barang dan jasa
secara cepat didukung dengan perkembangan-perkembangan teknologi. Proses-proses
gloBalisasi ini seringkali mengangkat warga suku bangsa keluar/ tercabut dari
akar budayanya dan mereka menciptakan identitas baru didaerah baru sesuai
dengan kondisi setempat. Ini sebenarnya kajian dari proses akulturasi pertemuan
kebudayaan, dulu ada istilah ning triBalism sekarang fenomena itu
makin diperkuat oleh adanya gloBalisasi. Itulah proses yang mendukung
terjadinya konstruksi kesukubangsaan. Batas-batas suku bangsa yang cenderung
longgar, tidak fix lagi. Dalam arti lebih lanjut bahwa didalam masyarakat satu
suku bangsa juga terjadi pendefinisian yang tidak sama terhadap identitas suku
bangsa itu, fenomena pendefinisian yang tidak sama itu disebut Fragmentasi
(terpecah). Kenapa bisa begitu? Bahwa kontruksi identitas dilakukan bukan dalam
ruang hampa, tapi terkait fenomena-fenomena yang lain terutama fenomena ekomoni
dan politik, ini adalah ruang-ruang yang tidak hampa dimana identitas suku
bangsa itu dikonstruksikan.
Penelitian Drs.
Yulizar Safri, MA (Dosen Antropologi Kepolisian STIK-PTIK) pada tahun 2000
didaerah Riau. Saat itu disana banyak orang sedang ramai membicarakan tentang Gerakan Riau Baru (GRB), pada mulanya
GRB ini adalah upaya untuk menyadarkan kemBali identias suku bangsa dikepulauan
Riau, proses penyadaran ini dimulai dengan tradisi-tradisi seni (syair dan
pantun-pantun) mulai ditekankan bahwa ada identitas Kemelayuan didaerah Riau
yang menjadi rujukan bagi kebudayaan melayu di kepulauan tersebut.
Seniman-seniman banyak bicara soal ini waktu itu. Kemudian GRB ini kemudian
tidak hanya gerakan penyadaran identitas tapi juga mulai wacana dalam konteks
kehidupan lokal dan nasional dan terakhir menjadi wacana friksi (konflik vertical). Waktu itu ada pertanyaan
“Siapa sih orang melayu Riau?”, ternyata tidak ada kesepakatan yang jelas
tentang siapa orang melayu riau, jadi beliau banyak mengobrol dengan orang riau
bahwa identitas itu pertama di kaitkan dengan suku bangsa dan keyakinan
keagamaan, ini dua hal yang terkait satu sama lain, mereka bilang “Kalau orang
Riau itu adalah orang yang bisa berbahasa melayu, mengerti adat istiadat melayu
dan beragama islam”, tadinya ini beliau kira adalah sebuah penanda/ rujukan
identitas yang baku bagi kesukubangsaan melayu, tapi ternyata tidak. Kenapa?
Mereka bilang kalau rujukannya seperti itu, maka suku bangsa suku bangsa yang
lain yang masih kecil-kecil (seperti orang Saka, Talang Mamak dll) tidak bisa
menjadi bagian dari yang namanya melayu karena mereka tidak berbahasa melayu
dan tidak beragama Islam. Dalam perjuangan politik pada waktu itu defisni ini
dianggap merugikan dalam membangun kekuatan sosial karena sebagian orang melayu
yang pedalaman tidak bisa dikategorikan sebagai suku bangsa melayu. Mungkin
waktu itu juga dalam konflik vertical berkembang isu-isu marginalisasi,
kemiskinan dsb. Fenomena-fenomena marginalisasi ini paling kelihatan, tampak
nyata itu pada orang-orang melayu dipedalaman yang tidak masuk kategori melayu
(melayu yang indikator penandanya atribut yang beliau katakan tadi). Akhirnya
muncul satu definisi tandingan atau finisi baru yang merumuskan “Siapakah orang
melayu itu?” yang berbeda dengan pendefinisian awal tadi. Pemahaman kedua ini :
- Tidak menekankan aspek religius dan adat istiadatnya tapi pada aspek geo politik, dengan penekanan geo politik ini maka kelompok suku bangsa yang kecil-kecil ini menjadi terjaring dalam konstruksi identitas suku bangsa.
- Kedua pendefinisian baru ini menggunakan model narative of origin (asal usul nenek moyang untuk melegitimasi keanggotaannya dalam suku bangsa tertentu). Ini dikembangkan oleh James Fox dalam kajiannya tentang masyarakat Osonesia.
- Ada penjelasan yang namanya orang melayu itu adalah suku bangsa yang nenek moyangnya berasal dari Kerajaan Rum (dalam buku-buku tradisi itu ada, raja ini punya dua anak dan salah salah satunya menjadi nenek moyang orang melayu). Siapa yang menganggap itu nenek moyangnya, itulah Orang Melayu.
Ini adalah proses fragmenteid, jadi tidak pendefinisian fix
tentang status kesuku bangsaan itu. Didalam masyarakatnya sendiri ada
ketidaksepakan, kalau saudara lihat kenapa pendefinisian ini terjadi karena ada
kaitannya dengan dinamika politik dan ekonomi didaerah itu, dinamika politik
yang muncul adalah manakala etnisiti ditampilkan dalam kontestasi sumber daya
sosial strategis misalnya Kepala Daerah (Bupati/ Gubernur) timbul pertanyaan
“Siapa yang pantas menjadi Gubernur?”, rujukannya adalah putra daerah, kemudian
siapa putra daerah ini?, pendefinisiannya itu fragmenteid (tidak fix). Jadi ada
dinamika sekarang dalam melihat sisi fragmentasi dari kesukubangsaan jadi
kesuku bangsaan itu bukan diskrait entity lagi yang utuh dan
bulat batas-batasnya tapi cair sesuai dengan konteks-konteks interaksi yang
berlangsung (ekonomi dan politik). Dalam konteks ekonomi di Riau terjadi
pendominasian oleh bidang-bidang ekonomi oleh suku bangsa yang bukan melayu.
Pemain kelapa sawit dan perbengkelan dikuasai orang Medan, pedagang-pedagang
grosir dan rumah makan didominasi orang minang, orang Bugis mendominasi tentang
bisnis laut dan transportasi laut, orang China mendominasi sumber daya ekonomi
yang lebih besar. Ini yang dimaksud bahwa etnisiti itu menjadi landasan bagi
terbentuknya division of labour dalam kehidupan masyarakat multicultural.
Penguasaan sumber daya berkarakter suku bangsa dan ini bukan hanya terjadi
diriau. Kontestasi (pertarungan dalam penguasaan sumber daya ekonomi), Drs.
Yulizar Safri, MA menggunakan istilah
kontestasi dan sekarang kata ini popular dipakai terutama dalam analisis
interaksi politik, kalau dulu kontestasi ini dipakai untuk peragaan model-model,
sekarang kontes dikaitkan dengan power (kontestasi power), power ini dimensinya
politik dan ada juga dimensinya ekonomi.
Dalam masyakat multicultural bahwa etnisiti itu adalah
sesuatu yang fragmenteid/ cair, sementara dalam masyarakat majemuk etnisiti
adalah suatu diskrit entity (fenomena yang utuh dan fix).
Kembali ke wacana melayu tadi, itu tidak hanya bermain di
pentas-pentas politik local dan nasional, itu juga mulai bermain di pentas
global, dirancang lagi suatu pendefinisian apa itu melayu untuk menjaring suku
bangsa melayu yang tersebar di Johor, Brunei dsb. Hal ini karena pengaruh GloBalisasi,
dicari, dirumuskan ulang definisi seperti apa yang tidak hanya bisa menjaring
komuniti yang kecil dan tradisional, tapi komuniti global yang mengekspresikan
atribut-atribut kemelayuan tadi. Lihat panggungnya mulai dari local sampai
global. Pendefinisiannya yaitu :
- Penekanan pada kemelayuan, aspek bahasa, adat dan agama.
- Penekanan pada aspek Keriauan (geo politik dan narrative of origin).
Dua pendefinisian ini punya dua akar orientasi yang berbeda
ditambah lagi dengan pendefinisian yang dipanggung-panggung global tadi. Jadi
ada tiga tentang apa yang dimaksud atau siapa yang merupakan warga suku bangsa
melayu itu sendiri.
Riau adalah satu wilayah yang memiliki kebudayaan dominan
sehingga format relasi suku bangsa dalam kerangka relasi dominan minority
(konsep Prof. Gunner, tafsir terhadap kota yang ada diindonesia ini berdasarkan
pada kategori kota yang memiliki kebudayaan yang dominan dan kota yang tidak
memiliki kebudayaan dominan) juga ada karakter model interaksi antar suku
bangsa yang bercorak vertikal.
Contoh lain yaitu Kalimantan Timur, yang dalam wacana umum
dikategorikan sebagai sebuah kota yang tidak memiliki kebudayaan dominan, jadi
ada istilah Imagine equity (kesetaraan) dalam interaksi diantara warga
masyarakat. Imagine equity ini dibangun berdadsarkan policy bahwa posisi-posisi
masing-masing suku bangsa itu setara, disana suku bangsa populasinya besar itu
adalah orang Kutai, Bugis dan Dayak, disamping juga kota itu adalah kota
multicultural karena hampir semua suku bangsa yang ada diindonesia ini bernaung
disana tapi apakah persoalan fragmentasi suku bangsa ini tidak terjadi disana.
Kita mengambil kaltim ini untuk membuktikan juga apakah memang batas-batas suku
bangsa dikaltim itu cair. Persoalan menarik diantara suku bangsa di kaltim itu
hampir sama dengan Jakarta dan medan dimana masing-masing suku bangsa itu punya
kebebasan untuk mengekspresikan penanda2 kesuku bangsaanya itu (atribut) tapi
manakala analisisnya digeser pada persoalan penguasaan resource strategis maka
terjadi pengkategorisasian kesukubangsaan. Karena hasil-hasil kajian itu
menunjukkan posisi strategis bidang sosial politik dan ekonomi itu diluar kuasa
penduduk setempat. Orang bugis dan kutai lebih berperan di bidang pemerintahan
maupun bidang perdagangan, sedangkan orang dayak menghadapi kondisi the victim
of progress (dalam kajian antropologi) makin menciutnya sumber daya
ekonomi, baik yang bersumber dari hutan maupun lahan-lahan tempat praktek
pertanian diselenggarakan yang menjadi karakter mereka. Disini terjadi relasi
by dominan meskipun ada anggapan imagine of equity. Tapi kalau
ditarik dalam analisis power, persoalan-persoalan the victim of progress itu
menjadi isu menarik dalam pendefinisian identitas suku bangsa. Missal
Samarinda, kontruksi identitasnya adalah konstruksi identitas pendatang
(konstruksi identitas rujukannya adalah rujukan territorial) dan narrative of
origin karena samarinda adalah sebuah kota yang dibangun oleh pendatang (alur
pertemuan pendatang, khususnya orang bugis mereka datang terlebih dahulu kesana
dan mendirikan kota itu) tapi identity yang diaktifkan adalah identity sebagai
etnis Kalimantan. Jadi the origin narrative nya itu adalah
proses2 perdagangan yang terjadi dimasa lampau dan pengembangan kota pusat
perdagangan itu (Kota Samarinda) suku bangsa disana hampir 70-80% adalah orang
bugis. Jadi identitas dilingkungan perkotaan dibangun berdasarkan identity
orang kutai dan Bugis tadi, sedangkan identitas dipedalaman adalah indentitas
penduduk setempat yang digolongkan sebagai suku bangsa daerah. Narrative
of origin ini digunakan sebagai claim untuk penguasaan sumber daya
tadi. Orientasi masa lampau itu dipakai untuk melegitimasikan penguasaan resoursce dimasa sekarang dan dijadikan
rujukan untuk mendefinisikan identitas suku bangsa didaerah setempat, jelas teritorial
sangat berperan di Kaltim khususnya Samarinda. Ini merupakan bukti lain bahwa
ada fragmentasi (teritorialnya adalah
wilayah perkotaan dan wilayah pedalaman).
Konstruksi-konstruksi kesukubangsaan ini menimbulkan fenomena
hybrid (diaspori), dan hybrid ini adalah identitas-identiras
para perantau yang hilir mudik karena proses gloBalisasi. Contoh orang China,
ada yang mengaku “Saya orang China Amerika, beda dengan orang China Singapura,
beda dengan orang China Hongkong”, dasarnya adalah China tapi hybridnya adalah teritori dimana mereka
berasal. Ini yang disebut sebagai proses hybridisasi. “Saya orang minang, tapi orang minang Medan, beda saya
dengan orang minang Padang”, artinya ada konstruksi kesukubangsaan yang
membedakan karakter identitas suku bangsanya dengan daerah asal suku bangsanya.
Hybridisasi ini merupakan istilah
biologi tapi popular sekarang dalam antropologi untuk menunjukkan cairnya batas-batas
suku bangsa itu, jadi ada unsur pembeda. Aspek territorial itu dikuatkan
sebagai pembeda, jadi mencairnya itu karena ada batas-batas teritorial yang
baru (new traditionalism) artinya dari daerah asal dibawa kemudian di
daerah baru disesuaikan dengan kondisi yang ada setempat diaktifkan sebagai
corak kesukubangsaan yang berbeda dari akarnya, itulah inti fragmentasi. Nanti
pada saat ngobrol akan keluar itu istilah darimana orang itu berasal, “Saya
dari jawa, medan”. Apa karakter yang membedakan orang jawa yang dimedan dengan
orang jawa yang berada didaerah asalnya ? pasti ada karakter pembedanya. Dia
dibedakan dan membedakan diri. Jadi tingkah lakunya tidak sama dari mereka yang
benar-benar dari daerah asal, jadi tidak diskreit entity. Sama kalau kita bicara
Bali, kalau kita bicara Bali, identitas kesukubangsaannya itu pasti diperkuat
dengan agamanya yaitu Hindu, hindu itu diidentikkan dengan Pura dan
bangunan-bangunan konstruksinya menggambarkan konstruksi Bali. Tapi apa memang
semua orang Bali itu mengekspresikan Pura sebagai identitas kesukubangsaannya?
ini merupakan kajian Prof. James Dananjaya. Dia mengatakan disana tidak ada,
misalnya orang Bali aga juga tidak ada. Jadi apa identitas mereka disana, yaitu
bukan tentang sekitaran Pura (buku Trunyen). Ekpresi-ekpresi keBalian utama
yang tampak ditempat-tempat umum yang lain tidak kelihatan. Ini merupakan bukti
bahwa konstruksi identitas itu tidak fix, seperti Drs. Yulizar Safri, MA pada pertemuan kuliah di STIK-PTIK, desa-desa
di Bali menjadi rujukan identitas kesukubangsaan karena sejak ada kebijakan
perbekalan yang diperkenalkan oleh pemerintahan jajahan Belanda, desa di Bali
itu terpecah menjadi dua (Desa Dinas dan Desa Adat), kedua desa ini saling
berdampingan, jadi aturan-aturan pemerintah diberlakukan didesa dinas, aturan-aturan
adat/ religius dan kehidupan sosial budaya
diaktifkan didesa adat, itulah rujukan identitas adat kesukubangsaan mereka.
Sejak ada UU pedesaan No. 5 tahun 1979 tidak hanya di Bali, diberbagai daerah desa-desa
itu diseragamkan, penyeragaman yang terjadi pada kondisi masyarakat yang tinggi
diversitas suku bangsa dan kebudayaannya itu biasanya mendapat respon. Contoh
di Bali, respon ini muncul bukan hanya karena persoalan kebudayaan tapi
resource desa-desa beru ini disinyalir mengambil resource yang ada didaerah
desa adat, dipindahkan, ini yang menyebabkan terjadi pergolakan, penolakan terhadap
kebijakan-kebijakan yang sifatnya menghomogenisasikan kondisi masyarakat yang
majemuk yang merupakan fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa bangsa kita ini
dibangun oleh suku bangsa suku bangsa yang diversitas secara kebudayaan.
Di Sumatra barat, orang Nagari protes terhadap UU pedesaan,
dan daerah-daerah lainnya. Kalau desa dinas dan desa adat itu setara, artinya
ada pemisahan activity, tapi kalau UU pedesaan sekarang itu cenderung ingin
mendominasi bahkan menghilangkan tradisi-tradisi lokal tadi dan itu tentu saja
mendapat respon oleh masyarakat suku bangsa yang bersangkutan. Nanti kita juga
akan dihadapkan dengan situasi seperti ini diberbagai tempat tugas. Situasi
seperti ini tentu mengundang kebijakan-kebijakan yang mempertahankan keberagaman
ini. Memang dasar pengelolaan suku bangsa di Negara kita Bhineka Tunggal Ika,
tetapi Ika nya lebih kuat daripada Bhinekanya, penyeragamannya lebih kuat
daripada diversitasnya, ini yang menjadi problematik sehingga kita juga harus
bisa menyumbangkan pemikiran terhadap fenomena ini bangaimana mengembangkan
diversitas dalam struktur masyarakat yang memang multicultural.
Oleh karena itu dalam masyarakat multicultural ini tugas dan
fungsi kepolisian sedikit bergeser :
- Diminta untuk memahami kondisi-kondisi kultural dimana saudara nanti bertugas, artinya kondisi multicultural ini bagaimana kondisi ini tercipta dan bagaimana membangun sebuah pranata sosial bersama yang dapat menjadi rujukan bagi masyarakat yang multicultural secara suku bangsa.
- Untuk memahami itu minimal saudara mengerti bahasa setempat (minimal istilah-istilah penting/ dialek-dialeknya), itu jalan masuk untuk memahami tentang keanekaragaman kesukubangsaan dimana tempat saudara bertugas.
- Sambaing. Saudara juga harus aktif berinteraksi, berhubungan, mengenal patron-patron lokal. Sehingga kalau ada persoalan-persoalan ada kelompok-kelompok yang bisa dideteksi/ dihubungi terlebih dahulu. Mengenal dalam arti untuk membuat pemetaan dan penguasaan sumber daya local, karena bagaimanapun setiap konflik itu bermulai dari mereka berada dalam kompetisi perebutan sumber daya, baik alam maupun sosial atau posisi strategi dan penghinaan terhadap harga diri mereka khususnya harga diri suku bangsanya.
Pemetaan sumber daya itu diperoleh diperlukan
untuk mengenal potensi-potensi konflik yang ada, diredam agar jangan sampai
menjadi sebuah konflik nyata. Pemetaan sumber daya ini juga jalan untuk
mengenal apa yang namanya resistensi atau hidden transkrip
(pergolakan-pergolakan simbolik dan tersembunyi yang lama kelamaan akan
berakumulatif dan meledak menjadi pergolakan fisik. Itu makna dari ada
kewajiban saudara untuk mengenal kondisi kebudayaan local atau masyarakat
multicultural local tempat dimana saudara bertugas nanti. Ini perlu diketahui
dan dianalisis dan ini merupakan bagian kerja dari preemtif dan preventif.
Dalam bahasa Bugis,
“Siapa sih pemain2 nya dibidang ini
dan itu?”,
“Patronnya dan followersnya siapa?”,
“Resourcenya seperti apa?”,
“Rule of the game nya seperti apa?”,
“Sanksinya seperti apa kalau ada
terjadi missal pengambilalihan wilayah strategis pada kelompok suku bangsa?”.
Sampai pada tingkat kemungkinan
penyelesaian masalahnya. Ini yang namanya penyelesaian masalah berdasarkan
kultur local (based on local culture). Karena kedepan, politik kebudayaan ini
semakin hangat, politik kebudayaan ini adalah kontestasi antar posisi-posisi
sosial yang dimiliki oleh masing-masing suku bangsa dalam kehidupan masyarakat
luas. Jadi pertarungan-pertarungan kedepan makin terbuka apalagi resource
semakin terbatas keberadaannya, pertarungan ini terkait dengan penguasaan
resource tadi atau pemelihaan harga diri, multikulturalisme membuka peluang
itu, orang gk mau lagi diasimilasikan.
Bahwa Indonesia ini mempunyai diversitas yang sangat tinggi
baik suku bangsa, kebudayaan suku bangsa maupun golongan sosial. Ketika kita
tidak mampu mengelola dengan baik maka keberagaman (diversitas) yang kita
miliki justru menjadi kelemahan kita. Oleh karena itu yang namanya perpindahan
pemikiran atau ideologi masyarakat majemuk menuju masyarakat multikultur sangat
penting :
Perbedaan
itu adalah kodrat. Karena setiap satuan sosial mempunyai masalah-masalah
kehidupannya sendiri dan tinggal di teritori/ lingkungan yang berbeda satu sama
lain sehingga ini menumbuhkan perbedaan cara berfikir, pedoman hidup, keyakinan
dsb. jelas bahwa perbedaan itu adalah kodrat kenapa harus dihindari/ ditakuti?
Jadi yang penting adalah bagaimana
kita memahami dan mengelola perbedaan itu, sehingga yang namanya perbedaan itu
banyak para ahli mengatakan bukan sumber konflik. Buktinya kita bisa duduk satu
ruangan disini dengan berbagai macam perbedaan yang ada diantara kita, kuliah
bersama, menjadi satu korps juga dari asal yang berbeda-beda. Perbedaan dan
persamaan yang dijelaskan oleh pak Yulizar adalah sebuah strategi dalam
menghadapi kehidupan, perebutan sumber daya, menjaga sumber daya, menjaga
eksistensinya. Disini persamaan dan perbedaan ini akan diaktifkan termasuk tadi
muncul identitas. Dengan mengaktifkan persamaan yang berbeda dengan orang lain
berarti kita sudah menentukan batas sosial kita. Jadi ketika manusia dalam
memenuhi kebutuhannya ada 3 wujud, yaitu kerjasama, persaingan atau konflik.
Ketika tidak tercapai disini yang namanya perbedaan dan persamaan itu
dimunculkan seperti tadi di Riau yang ingin membangun Riau Baru (melayu Riau)
ini dalam rangka kerjasama persaingan menghadapi kelompok sosial yang lain
sehingga perlu mengaktifkan melayu riau. Sama juga seperti contoh yang ada
dijakarta ini dengan berbagai suku bangsa dan kebudayaan misalnya Arek, Arek
hanya ada di Surabaya, dimalang pun Surabaya dan Malang areknya bermusuhan.
Atau ditempat lain tidak diakui arek suroboyo. Tapi ketika dijakarta mereka
memperluas batas sosialnya, arek itu bisa seluruh Jawa Timur masuk, Madura pun
ikut masuk. Jadi ini terjadi perluasan/ cair tadi. Meluas, batas-batasnya
dikendurkan supaya bisa mencakup banyak golongan untuk menghadapi kelompok
sosial lain dalam rangka kerjasama, persaingan atau konflik.
Jadi perbedaan dan persamaan yang
diaktifkan bukan hal yang menjadi masalah, tapi disini sebagai strategi dalam
rangka mendapatkan dukungan sosial, menghadapi kelompok sosial yang lain untuk
memperebutkan sumber daya strategis. Oleh karena itu dalam mengelola
keberagaman tadi kalau kita masih berpegang pada konsep masyarakat majemuk,
maka ada kecenderungan bicara hanya soal perbedaan saja, sehingga Negara itu
cenderung untuk melakukan penyeragaman seperti tadi ada hybridasi, kawin
campur, dsb. Sehingga perbedaan itu tanpa disadari sebagai momok dan sumber
konflik, padahal perbedaan itu sendiri memang ada dan tidak pernah hilang, dan
ini yang harus dipikirkan. Sedangkan multikultur tidak hanya
berbicara perbedaan tetapi juga bicara kesetaraan, jadi masing-masing yang
berbeda tadi dalam posisi yang setara, suku bangsa apapun, kebudayaan apapun,
golongan sosial apapun mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Dan ini yang kita
harapkan bisa menuju kesana karena kalau kita masih berpegang kepada ideologi
masyarakat majemuk ini cenderung seperti jaman Orde baru, perbedaan sedikit
dilarang, mengekspresikan diri juga banyak larangan. Untuk memperjelas ini
banyak juga para ahli Indonesia mengambil dan menerapkan teori-teori dari
Negara lain, terutama soal multikultur. Ini yang harus kita cermati karena
Indonesia berbeda dengan diversitas yang ada di amerika. Contoh di amerika itu
hanya sebagian besar pendatang, tidak punya ikatan terhadap tanah, tidak punya
teritori, sedangkan Indonesia dibangundari keberagaman yang masing-masing
masyarakat itu punya teritori, orang minang ada tanahnya disana, orang Madura ada
tempatnya, orang Sulawesi (Makasar), Bali punya tanahnya, tapi kalau diamerika
tidak. Jadi tanah kosong, hijrah dari eropa, memperebutkan wilayah masing-masing
lalu terbentuklah suatu Negara, bedanya dengan Indonesia itu. Ini seringkali
jika hanya menerapkan dari luar saja, seringkali terjadi konflik dengan
masyarakat yang punya teritori. Tanah adat berkonflik dengan Negara dan ini
hampir merata diseluruh Indonesia, ini yang perlu dipahami oleh kita semua.
Apalagi Kepolisian, tidak ikut membuat aturan, tidak ikut berbuat masalah tapi
mendapat tugas untuk menyelesaikan atau menciptakan ketertiban. Saya kira
diwaktu kedepan usul saya agar pihak kepolisian juga ikut berembuk mengenai
aturan pengaturan pendistribusian sumber daya berkaitan dengan ideology
masyarakat multikultur. Kalau tidak ya polisi hanya meredam, gak tau masalahnya
dan tidak ikut-ikut, tapi kadangkala kalau bermasalah ya menangani ketika sedang
konflik menjadi sasaran (pindah sasaran), dan menjadi pelanggaran HAM, tidak
prosedural dan segala macam. Inilah yang perlu kita pikirkan kedepan.
0 komentar