tulisan

KONSTRUKSI ULANG HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA: ANTARA SENTRIPETALISME DAN SENTRIFUGALISME

01.05handreasstik66

Sumber : Pidato Pengukuhan Prof. Dr. Eko Prasojo sebagai Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Administrasi Publik pada FISIP Universitas Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,

Izinkanlah saya pada kesempatan ini menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar Tetap bidang Ilmu Administrasi Publik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia dengan judul:

“KONSTRUKSI ULANG HUBUNGAN PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA: ANTARA SENTRIPETALISME DAN SENTRIFUGALISME

 Hadirin yang saya hormati,

Ada dua alasan utama yang menyebabkan saya tertarik untuk menyampaikan pidato pengukuhan dengan judul tersebut.
Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, selanjutnya dalam pidato ini akan disingkat dengan hubungan pusat dan daerah, adalah masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar (sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan hancurnya eksistensi sebuah negara.
Kedua, dalam wacana akademik, gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentu saja pandangan yang keliru. Saya tidak bermaksud dengan pidato pengukuhan ini memprovokasi hadirin menerapkan konsep federalisme dalam struktur negara di Indonesia.

Hadirin yang saya hormati,

Negara nasional terlalu kecil untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat besar, tetapi terlalu besar untuk mengatur dan mengurus masalah-masalah yang sangat kecil (lihat misalnya Bell, 1988:2). Ungkapan ini mengisyaratkan, bahwa peran negara nasional sebagai pengatur dan penyelenggara akan semakin berkurang dan akan sangat tergantung dengan mekanisme koordinasi dan pembagian kekuasaan baik pada tingkat internasional maupun pada tingkat lokal (Fukuyama, 2004: 95). Konsekuensi logis dari hal ini adalah penyerahan sebagian kekuasaan kepada unit-unit sub nasional dan lokal. Karena itu, pengaturan dan penyelenggaraan tugas-tugas negara dan pemerintahan akan senantiasa berubah secara periodik, baik pada negara yang berstruktur federal maupun negara yang berstruktur unitaris (kesatuan).

Tendensi dinamika perkembangan hubungan pusat dan daerah dengan demikian tidak saja terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Austria dan Swiss. Di Jerman misalnya, perubahan hubungan antara pusat (Bund/federal) dengan negara bagian (Laender/state) berkaitan langsung dengan proses penyatuan Jerman Barat dan Jerman Timur, juga dengan proses integrasi Eropa. Defisit subtansi federalisme terjadi pada hampir semua kewenangan yang ditunjukkan dengan meningkatnya konsentrasi kewenangan mengatur dan mengurus pada pusat (Bund). Peningkatan konsentrasi kewenangan pada pusat telah menyebabkan hilangnya substansi kemandirian politik dan kualitas “negara” pada negara bagian.

Pada sisi lainnya juga terjadi ketergantungan negara bagian miskin pada bantuan keuangan pusat dan negara bagian (Prasojo, 2003:32). Tendensi ini yang disebut di Jerman sebagai cooperative federalism sampai kepada coercive federalism (Gunlick, Berlin, 2000: 46). Hal yang sama terjadi juga pada sistem federalisme Swiss yang dicerminkan dengan pengambilalihan kompetensi dasar negara bagian (Kantone) oleh pusat (Bund).

Demikian juga sentralisasi kewenangan yang terjadi di federal USA melalui proper and necessary clause. Ketentuan ini memberikan hak kepada pusat untuk mengatur dan menyelenggarakan kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi tetapi melekat secara inheren untuk melaksanakan kewenangan yang dimiliki.

Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal memberikan bukti kepada kita bahwa hubungan antara pusat dan daerah merupakan refleksi areal division of power (vertical distribution of power) yang bersifat dinamik, berada dalam suatu kontinum antara ekstrim sentral unitaris dan ekstrim liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam. Pembagian kekuasaan secara vertikal yang merupakan komplemen pembagian kekuasaan secara horizontal, tidak berada dalam ruang vakuum, tetapi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor internal nasional dan faktor-faktor eksternal internasional yang berkembang.

Derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Elemen hubungan antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya (Laufer dan Ursula, 1998: 14). Titik temu keseimbangan antara gerakan sentripetal dan sentrifugal dalam hubungan pusat dan daerah dapat dikaji dalam berbagai aspek, misalnya saja dalam aspek tingkatan dan kedudukan pemerintah daerah, pembagian kewenangan, aspek intervensi pusat terhadap daerah, aspek keterlibatan daerah di tingkat pusat, aspek pembagian (perimbangan) sumberdaya keuangan, dan aspek penyelesaian konflik yang terjadi antar level pemerintahan.

Dalam problem setiap negara bangsa, tugas terberat yang harus diselesaikan oleh para pembuat keputusan politik adalah menjaga titik keseimbangan antara gerakan yang bersifat sentrifugal dan gerakan yang bersifat sentripetal. Kekuatan sentrifugal yang terlalu besar akan mengakibatkan gerakan separatisme yang mungkin berakibat pada disintegrasi bangsa. Sedangkan kekuatan sentripetal yang berlebihan akan menciptakan pemerintahan yang berkharakter sentralistis, dimana diskresi dan partisipasi lokal dapat terabaikan. Kedua gerakan ini akan terus terjadi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, baik di negaranegara yang berbentuk federal maupun di negara-negara yang berbentuk unitaris. Keutuhan integrasi sebuah negara bangsa sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mencari pakem keseimbangan diantara dua gerakan tersebut.

Salah seorang sarjana politik dari the Australian National University, J.A.C. Mackie, pada tahun 1980 telah menggambarkan hubungan pusat dan daerah di Indonesia, dengan mempergunakan pendekatan sentripetalisme dan sentrifugalisme. Pada hari ini saya akan mempergunakan pendekatan yang sama, meskipun titik beratnya diletakkan pada aspek ilmu administrasi.

Hadirin yang saya hormati,

Untuk dapat merekonstruksi hubungan Pusat dan Daerah di Indonesia, marilah kita lihat berbagai situasi problematis yang terjadi pada praktek hubungan tersebut pada masa kekinian dalam kontek penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah sejatinya selalu mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Permesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power, disamping tentu saja memiliki keterkaitan dengan aspek horizontal distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasang surut hubungan ini tercermin dalam berbagai produk perundang-undangan yang mengatur mengenai pemerintahan daerah, sebagai amanat Pasal 18 UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen. Dalam kesempatan ini saya tidak akan membahas bagaimana pasang surut hubungan pusat dan daerah di Indonesia sejak kita merdeka, sebagaimana terlihat dalam UU No. 1 tahun 1945, UU No. 22 tahun 1948, UUD Republik Indonesia Serikat (RIS) tahun 1949, UU No. 1 tahun 1957, UU No. 18 tahun 1965, dan UU No. 5 tahun 1974.

Berbagai konstruksi hubungan Pusat dan Pemerintah dalam perundang-undangan tersebut telah banyak ditulis dan disampaikan oleh guru saya, yang terhormat Profesor Bhenyamin Hoessein (Hoessein, 1997, 1999, 2001, 2001). Dalam pidato pengukuhan Beliau sebagai Guru Besar tahun 1995, disebutkan roda desentralisasi di Indonesia telah mengalami lima kali perputaran (Hoessein, 1995: 15). Pada hari ini saya menambahkan telah terjadi satu kali perputaran roda desentralisasi ke arah demokrasi pada tahun 1999. Melalui karya-karya tulis Beliau berbagai aspek legal hubungan antara Pusat dan Daerah telah dipahami dan dijadikan sebagai referensi dalam penyusunan UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004.

Pasca jatuhnya Soeharto, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi sebuah ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Bermula dari kemerdekaan Timor Timur (atau Timor Leste) pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui referendum, berbagai gelombang tuntutan disintegrasi juga terjadi di beberapa daerah seperti di Aceh, Papua, Riau dan Kalimantan. Meskipun ada sejumlah kalangan yang menganggap bahwa kemerdekaan Timor Timur sudahseharusnya diberikan karena perbedaan sejarah dengan bangsa Indonesia dan merupakan aneksasi rezim Orde Baru, tetapi efek domino yang timbulkannya masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan antara pusat dan daerah. Gerakan ini bukan merupakan kejadian sesaat, karena merupakan akumulasi dari kegagalan sistem yang sangat sentralistis, sebagaimana juga terjadi di negara-negara Afrika. (Wunsch dan Olowu, 1995: 54).

Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan hubungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan UU No. 22 tahun 1999, maka UU No. 2 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum juga memperkuat posisi daerah dengan diterapkannya sistem pemilihan semi distrik pada bulan Juni 1999. Kedua UU ini sedikit banyak telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Kecenderungan menguatnya desentralisasi, sebagaimana tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999, merupakan refleksi gerakan sentrifugal yang terjadi di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Desentralisasi kewenangan yang serupa juga terjadi di beberapa beberapa negara Asia seperti di Filipina, Vietnam, Kamboja dan juga Cina (White and Smoke, 2005: 4). Gerakan ini menurut White dan Smoke dipengaruhi oleh bekerjanya faktor-faktor politik, faktor ekonomi dan faktor demografi.

Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah pasca kejatuhan Soeharto. UU No. 22 tahun 1999 menghapus pelaksanaan azas dekonsentrasi pada Daerah Kabupaten dan Kota, dimana azas ini hanya dilaksanakan pada daerah Propinsi. Dengan demikian semua kewenangan pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota pada prinsipnya merupakan kewenangan dalam rangka desentralisasi dan sebagian dalam rangka tugas pembantuan. Demikian juga makna desentralisasi tidak lagi dalam pemahaman administrativ tetapi dalam konteks politis, dimanapemerintah daerah Kabupaten dan Kota berhak mengatur (regulate, regeln) dan mengurus (manage, verwalten) rumah tangganya sendiri atas inisiatif dan kekuatan sendiri. UU No. 22 tahun 1999 juga menghapus hierarki antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan pemerintah Propinsi.

Konstruksi hubungan antara pusat dan daerah seperti diatur dalam UU No. 22 tahun 1999, telah menyebabkan beralihnya kekuasaan dari Pemerintah Propinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota. Kekuatan gerakan sentrifugal ini menjadi sangat lemah, karena para elite lokal yang menghendaki kemerdekaan propinsi menjadi terpecah. Para Bupati dan Walikota lebih tertarik untuk menjadi “raja kecil” di wilayahnya, daripada menjadi “hulu balang” di negara yang akan dibentuk. UU No. 22 tahun 1999 bahkan meletakkan dasar perubahan yang radikal (radical change) dalam hubungan antara Pusat dan Daerah, juga dalam Sistem Administrasi Publik Indonesia secara keseluruhan (Rohdewohld, 2003: 259).

Politik Sentralisme dan praktek ketidakadilan yang terjadi selama masa Soeharto telah menyebabkan gerakan separatisme di beberapa daerah. Ketidakseimbangan pembagian keuangan antara pusat dan daerah telah menyebabkan kecemburuan di beberapa daerah. Kekayaan alam di Aceh yang diekspor menghasilkan keuntungan US$ 2 Milyar pada tahun 1997 hanya memberikan manfaat kepada masyarakat Aceh sebesar 0,05% melalui APBN. Meskipun produksi minyak Caltex di Riau tahun 1999 mencapai 23 Trilyun, tetapi masyarakat Riau termasuk yang paling miskin di Indonesia. Sedangkan PT Freeport yang mengeruk keuntungan tahun 1997 US$ 1,1 Milyar, tetapi masyarakat Papua tetap hidup seperti pada zaman batu.

Hadirin yang saya hormati,

Konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah pasca kejatuhan Soeharto boleh jadi bisa memberikan obat penawar bagi kegelisahan dan kemarahan daerah. Tetapi dalam prakteknya tidak serta merta menyurutkan keinginan Aceh dan Papua untuk memerdekakan diri. Sebaliknya pemberian otonomi yang luas kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004, juga telah menyebabkan sejumlah paradoks dalam pembangunan dan pemerintahan.

Bahkan hasil penelitian di beberapa daerah mengarahkan kepada kesimpulan gagalnya otonomi daerah yang dicerminkan dari ketiadaan political equality, local responsiveness dan local accountability (Yappika, 2006; lihat juga untuk konsep ini Smith, 1985:24). Otonomi daerah yang sangat luas telah menyebabkan tensi politik yang lebih tinggi daripada upaya-upaya peningkatan pelayanan publik. Penyusunan organisasi perangkat daerah kabupaten/kota –tidak terkecuali propinsi- lebih banyak ditentukan oleh akomodasi kepentingan-kepentingan tertentu. Setelah Pilkada langsung, afiliasi ini menjadi lebih besar, karena politik akomodasi mewarnai proses pemilihan langsung kepala daerah. Bahkan pengisian jabatan-jabatan dalam struktur organisasi perangkat daerah sangat ditentukan oleh afilisasi seseorang dengan bupati/walikota. Disamping itu, alasan Dana Alokasi Umum dari pusat juga menjadi justifikasi perlunya pembengkakkan organisasi perangkat (budget maximizing).

Di beberapa daerah nepotisme berdasarkan kebangsawanan, sukuisme dan afiliasi politik masih mewarnai proses rekrutmen, penempatan, promosi dan mutasi jabatan tertentu. Bahkan “gelar kebangsawanan” secara sengaja diciptakan oleh bupati/walikota untuk memperkuat posisi jabatan, sekaligus membedakan masyarakat biasa dengan masyarakat yang memiliki status kebangsawanan tertentu. Hal ini muncul dengan istilah misalnya “laskar” dan “putera asli”. Istilah “anak daerah” sejatinya telah muncul pada tahun 1950-an sebagai antagonis dari orang pusat yang di drop daerah (Mackie, 1980:672).

Banyaknya urusan yang telah diserahkan kepada kabupaten/kota ternyata tidak diikuti oleh kemampuan dan jumlah SDM Aparatur yang tersedia. Terbatasnya kualifikasi dan jumlah SDM aparatur ini merupakan masalah utama yang dihadapi oleh Kabupaten/Kota. Di beberapa daerah bahkan pengisian jabatan dilakukan dengan mengatrol kepangkatan seseorang, karena keterbatasan SDM yang memenuhi persyaratan. Mekanisme Baperjakat (Badan Penilai Jabatan dan Kepangkatan) seringkali terbentur pada keterbatasan jumlah dan kualifikasi SDM yang tersedia, di samping juga politik afiliasi dan politik akomodasi. Keterbatasan SDM aparatur ini sangat dirasakan dalam pelayanan publik maupun dalam pengelolaan keuangan daerah. Tidak terkecuali adalah keterbatasan kemampuan anggota DPRD dalam proses penganggaran.

Akibatnya, perencanaan dan pengelolaan keuangan daerah serta proses penganggarannya masih jauh dari optimal. Hal ini dipersulit lagi oleh perubahan sistem anggaran dari pusat yang sangat cepat dan susul menyusul –bahkan seringkali tumpang tindih-, sehingga menyulitkan respon kemampuan SDM aparatur. Pada sisi lainnya, peran dan fungsi Gubernur sebagai wakil pusat pun tidak berjalan efektif, sehingga SDM aparatur tidak dapat didistribusikan secara merata kepada kabupaten/kota di propinsinya.

Hadirin yang saya hormati,

Otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Tujuan ini sangat paradoks dengan praktek otonomi daerah yang terjadi. Jaminan partisipasi masyarakat dalam bentuk peraturan daerah belum menjadi kebutuhan dan kewajiban bagi pemerintah daerah. Proses perencanaan pembangunan dan anggaran misalnya masih dipandang sebagai ekslusif domain pemerintah dan harus dirahasiakan atau ditutupi keberadaannya dari akses publik. Proses Musrenbang menjadi formalitas belaka, karena banyak usulan pembangunan yang akhirnya hilang karena peran pemerintah yang sangat besar (Muluk, 2006:139). Bahkan dokumen anggaran yang seharusnya menjadi dokumen publik hanya mungkin diakses dengan cara-cara ‘pintu belakang’. Pada sisi lainnya, kesempatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap kinerja pemerintah juga tidak terwujud. Tidak ada mekanisme dan prosedur yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan keluhan dan mengontrol kinerja pemerintah. Keluhan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan daerah tidak pernah diketahui hasilnya. Akibatnya, masyarakat tidak memperoleh informasi apakah keluhan yang disampaikan telah direspon dan ditindaklanjuti.

Potret suram otonomi daerah juga terjadi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Tidak ada peraturan daerah yang mengatur mengenai hak masyarakat atas informasi dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Tidak dapat juga dibantah bahwa kebijakan pelimpahan wewenang perizinan pemanfaatan SDA dari pusat kepada daerah justru meningkatkan eksploitasi SDA yang berlebihan dan tidak memperhatikan kelestariannya. Hal ini disebabkan karena pengelolaan SDA oleh pemerintah daerah semata-mata dalam rangka perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan transaksi ekonomi politik.

Proses AMDAL dalam pemberian izin pemanfaatan SDA faktanya hanyalah bersifat formalitas dan tidak dijadikan sebagai dasar yang objektive dalam pengambilan keputusan. Pemberian izin pemanfaatan SDA seringkali lebih menguntungkan pengusaha daripada masyarakat. Pemilihan langsung kepala daerah yang diharapkan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam prakteknya tidak terjadi. Proses penjaringan calon kepala daerah menjadi domain eklusif partai politik. Klaim partai politik bahwa jika pencalonan dilakukan hanya melalui partai politik akan memperkuat kelembagaan partai politik dalam prakteknya juga tidak menjadi kenyataan (Prasojo, 2005:101). Yang terjadi adalah praktek jual beli “perahu partai politik” dalam proses pencalonan kepala daerah. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk memilih calon yang telah dipilih oleh parpol tanpa proses penjaringan yang partisipatif.

Meskipun demikian, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan konstruksi UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tidaklah selalu menampakkan wajah yang suram, karena di sebagian kecil daerah juga dapat dilihat praktek-praktek best practices dan program-program inovasi. Salah satu faktor pengungkit dari terjadinya program-program inovasi ini adalah peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota. Kitapun sangat bangga dengan program-program yang telah memberikan kesejahteraan kepada masyarakat seperti di Kabupaten Jembrana (Prasojo dkk, 2004), di Kabupaten Sragen, di Kabupaten Solok, di Kabupaten Kebumen, di Kota Tarakan dan daerah-daerah lainnya. Tetapi peran kepemimpinan yang besar dari Bupati dan Walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sekaligus memberikan tanda tanya besar bagi keberlanjutan program-program inovasi tersebut.

Beberapa uraian diatas tentang situasi problematik penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menggambarkan dua pokok permasalahan besar dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah kekinian. Pada satu sisi, perubahan konstruksi hubungan pusat dan daerah berdasarkan UU 22 No. Tahun 1999, yang telah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 ternyata belum mampu secara optimal meredam kekuatan-kekuatan sentrifugal yang mengarah pada gerakan separatisme. Bahkan kekhususan-kekhususan yang diberikan kepada pemerintah Aceh melalui UU Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006 (sebagai hasil MOU Helsinki dan merupakan revisi terhadap UU No. 18 tahun 2001), dan kekhususan yang diberikan kepada Propinsi Papua berdasarkan UU No. 21 tahun 2001, telah memberikan tanda tanya besar tentang konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akankah setiap gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah harus direspon oleh pusat dengan memberikan kekhususan melalui/dalam UU tertentu, padahal terminologi otonomi daerah itu sendiri sejatinya telah mengandung makna kekhususan bagi daerah. Pada sisi lainnya, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah juga diwarnai dengan berbagai problem implementasi terkait dengan aspek efektivitas pemerintahan, pengelolaan Sumber Daya Alam, Pemilihan Kepala Daerah, Pelayanan Publik, Hubungan antara Pemerintah Daerah dan Masyarakatnya, Hubungan antara DPRD dan Pemerintah Daerah, serta berbagai problem lainnya sebagaimana telah saya singgung dimuka.

Hadirin yang saya hormati,

Tampaknya kedua pokok permasalahan tersebut menghendaki satu perubahan mendasar hubungan antara pusat dan daerah. Dengan kata lain, perlu dipikirkan konstruksi baru hubungan antara pusat dan daerah. Konstruk hubungan tersebut paling tidak memuat pemikiran ulang mengenai tingkatan pemerintahan, status dan kedudukannya; pembagian wewenang (atau urusan) antar berbagai tingkatan pemerintahan; perimbangan keuangan antar tingkatan pemerintahan; partisipasi daerah dalam pembuatan keputusan di tingkat nasional; dan intervensi pusat terhadap daerah.

Pembahasan berbagai muatan dalam konstruksi ulang hubungan antara Pusat dan Pemerintah tidak dapat dilepaskan dalam kerangka teori bentuk negara dan upaya untuk menselaraskan kekuatan sentripetal dan kekuatan sentrifugal yang senantiasa dinamis bergerak dalam sebuah negara bangsa. Sekali lagi, saya tidak bermaksud memprovokasi para hadirin yang terhormat untuk mengadopsi bentuk negara federal dan mengubah bentuk negara kesatuan yang telah menjadi konsensus para pendiri negara. Persoalannya bukan terletak pada perubahan bentuk negara, tetapi lebih besar pada upaya mencari format hubungan vertikal antara pusat dan daerah. Saya ingin mengatakan bahwa dalam praktek hubungan antara pusat dan daerah di berbagai negara, pendulum unitarisme dan federalisme saling bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan sejak tahun 1947 seorang sarjana hukum Jerman Bodo Denewitz mengatakan bahwa federalisme dan unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan satu tanpa membicarakan yang lainnya. “… so haben auch die bisherigen Untersuchungen über das Wesen des Föderalismus diesen fast ausschließlich und zumindest regelmäßig nur im Zusammenhang mit dem Begriff Unitarisme behandelt” (Denewitz, 1947: 81).

Kombinasi berbagai instrumen unitarisme dan federalisme tersebut bahkan membentuk kharakter khusus konstruk hubungan antara pusat dan daerah. Sayapun memahami kekhawatiran dari sejumlah kalangan terhadap ide dan keinginan perubahan bentuk negara kesatuan ke negara federal. Karena perubahan yang sangat radikal dalam tatanan negara seringkali dapat menyebabkan situasi anomali dan chaos. Perubahan yang evolutif, dilakukan secara komprehensif dengan agenda setting yang bertahap merupakan pilihan yang mungkin dilakukan. Fakta bahwa berbagai instrumen yang digunakan dalam negara kesatuan dan negara federal dapat saling bertukar tidaklah dapat dipungkiri. Jika pembahasan lebih lanjut diarahkan pada perbandingan berbagai bentuk negara federal, maka niscaya akan kita dapatkan berbagai perbedaan yang signifikan antara federal Jerman, federal Austria, federal USA, federal Australia, federal Kanada, federal India, dan mungkin juga federal Malaysia. Berbagai instrumen yang dipergunakan di masingmasing negara memiliki keunikan dari kontinum yang bersifat sangat federalis-liberal sampai pada federalis unitaris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran untuk mengadopsi instrumen yang lazimnya dipergunakan di negara federal, tanpa merubah bentuk negara kesatuan menjadi federal, adalah sesuatu yang mungkin. Sayangnya, ide dan pemikiran dasar federalisme dan negara federal di Indonesia sudah terlanjur layu sebelum berkembang. Dalam forum yang sangat terhormat ini, sungguh suatu kebahagian jika saya diperkenankan menjelaskan beberapa kharakter negara federal agar kita dapat secara cermat memahami esensi ikatan Pusat dan Daerah yang bercorak federalis. Hal ini akan membantu kita mengkonstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dengan kacamata yang lain, yaitu bentuk negara federal.

Seperti telah menjadi pemahaman umum, bahwa pusat dalam negara federal adalah struktur bentukan negara-negara bagian. Kewenangan yang dimiliki oleh pusat lazimnnya merupakan kewenangan yang diserahkan dalam konstitusi federal (Prasojo, 2005:105). Dalam hal ini terdapat dua kelaziman cara untuk memberikan kewenangan kepada struktur federal yang terbentuk. Pertama, konstitusi mengatur secara detail kewenangan yang dimiliki oleh pusat (federal). Kewenangan tersebut dapat berupa kewenangan mengatur dan kewenangan mengurus. Kewenangan yang tidak diatur dalam konstitusi sebagai kewenangan pusat, dengan sendirinya merupakan kewenangan negara bagian. Prinsip inilah yang dikenal dengan kewenangan sisa untuk negara bagian (residu of powers to state). Diantara negara-negara federal yang menganut prinsip residu of powers to state adalah USA, Jerman, Swiss dan Austria. Cara kedua dengan menetapkan di dalam konstitusi federal kewenangan yang dimiliki oleh negara bagian, sedangkan sisanya dimiliki oleh pusat. Penetapan kewenangan sisa semacam ini disebut dengan residu of powers to federal. Negara yang menganut cara kedua ini adalah Kanada dan India.

Hadirin yang saya hormati,

Dalam teori dan praktek hubungan pusat dan daerah di kebanyakan negara federal, kekuasaan dan kewenangan pusat tidak hanya berasal dari konstitusi, melainkan juga dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi yang diberikan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi. Sekedar menyebut contoh kewenangan pusat yang lahir dari interpretasi dan komentar terhadap konstitusi adalah “implied powers” dan “necessary and proper clause” di Amerika Serikat, dan “stillschweigende Kompetenzen kraft Natur der Sache” dan “kraft Zusammenhang” di Jerman. Kekuasaan inilah yang menyebabkan terjadinya kecenderungan sentralisasi di negara-negara federal (Prasojo, 2003:403).

Selanjutnya, termasuk elemen penting dalam negara federal adalah pengawasan federal (federal control), intervensi federal (federal intervention), dan eksekusi federal (federal execution). Di area kekuasaan dan kewenangan murni negara bagian, pengawasan federal bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum negara bagian (baik konstitusi maupun undang-undang) dengan norma hukum konstitusi dan Undang-Undang federal. Dalam kewenangan yang secara konstitutional ditetapkan sebagai kewenangan pusat, tetapi penyelenggaraannya dilimpahkan kepada negara bagian, maka pengawasan pusat tidak saja bertujuan menjamin kesesuaian norma hukum negara bagian terhadap konstitusi federal, tetapi juga menjamin kesesuaian pencapaian tujuan yang telah ditetapkan federal.

Pengawasan pusat dapat berujung kepada eksekusi federal, jika menurut pusat, negara bagian melukai dan melanggar konstitusi federal. Namun demikian, untuk menjamin eksistensi soverenitas dan karakter “state” pada negara bagian, maka eksekusi pusat hanya dapat dilakukan jika tahapan berikut ini dilalui; Pertama, negara bagian jelas-jelas melukai dan melanggar norma hukum konstitusi; Kedua, pusat (federal) telah memberi peringatan dan ancaman terhadap pelanggaran tersebut; dan Ketiga, negara bagian tetap tidak melakukan koreksi terhadap pelanggaran norma hukum.

Konstruksi hubungan struktur pusat dan negara bagian dalam sebuah negara federal dengan demikian mengizinkan eksekusi oleh pusat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh negara bagian, sekalipun dalam bentuk ekstrim melalui tindakan militer. Pengaturan tindakan militer dalam eksekusi pusat terhadap negara bagian semacam ini terdapat antara lain di dalam Konstitusi Federal Swiss Artikel 173, meskipun dalam prakteknya belum pernah diterapkan.

Dengan ulasan ini saya ingin mempertegas, bahwa prinsip homogenitas (kesesuaian norma hukum yang lebih rendah terhadap norma hukum yang lebih tinggi) dalam hubungan antara pusat dan daerah dilakukan oleh pusat, dan bukan sebaliknya oleh negara bagian (atau oleh pemerintah daerah). Sehingga persetujuan terhadap sebuah produk perundang-undangan di tingkat pusat yang terkait dengan daerah, di negara federal sekalipun –apalagi di negara kesatuan– tidaklah melalui konsultasi dan persetujuan dengan Lembaga Perwakilan Lokal (Parlemen Lokal), sebagaimana kesepakatan dalam MOU Helsinki butir 1.1.2..”Decisions with regard to Aceh by Legislature of the Republic of Indonesia will be taken in consultation with and with consent of the legislature of Aceh”. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan kebijakan dan perundang-undangan di tingkat pusat dilakukan melalui lembaga Kamar Kedua Parlemen.

Berbeda dengan eksekusi federal, intervensi federal tidaklah bersifat sanksi, karena intervensi federal tidak berkaitan dengan pelanggaran norma hukum. Tetapi sebaliknya, intervensi federal merupakan instrumen federal yang bertujuan menjamin kemampuan negara bagian untuk melaksanakan kewenangannya. Intervensi federal adalah bagian dari pengawasan federal yang bersifat bantuan. Intervensi federal hanya dapat dilaksanakan, jika negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya dan atau terjadinya kondisi yang menyebabkan negara bagian tidak berkemampuan untuk melaksanakan kewenangan tersebut.

Contoh konkret intervensi federal adalah dalam kasus bencana alam yang melanda satu negara bagian, dimana negara bagian tersebut tidak dapat mengatasi bencana tersebut dan atau tidak dapat melaksanakan kewenangannya karena gangguan dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana tersebut. Intervensi federal dapat dilakukan atas inisiatif federal dan dapat juga dilakukan atas permintaan negara bagian. Konteks substansi hubungan pusat dan negara bagian dalam hal intervensi adalah jaminan bantuan yang diberikan oleh pusat kepada negara bagian terhadap pelaksanaan kewenangan atau urusan yang dimiliki oleh negara bagian. Tidak saja dalam keadaan darurat bencana, tetapi juga keadaan normal dimana negara bagian tidak mampu melaksanakan kewenangan yang dimiliki. Keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang dan kebijakan nasional (federal) juga menjadi elemen penting dalam negara federal. Secara mendasar hal ini bertujuan memberikan jaminan perlindungan kepada negara bagian dari eksekusi dan intervensi federal yang dapat menyebabkan defisit soverenitas dan otonomi negara bagian.

Dalam praktek penyelenggaraannya, bentuk dan cara keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang di tingkat pusat ini sangat beragam. Tetapi demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa semua negara federal menganut sistem dua kamar dalam proses artikulasi politik nasional, yaitu sistem parlemen dua kamar; satu kamar terdiri dari wakil rakyat yang dipilih dalam pemilihan umum, dan kamar yang lain terdiri dari wakil-wakil negara bagian. Metode pemilihan dan keterikatan politik antara wakil-wakil negara bagian dan negara bagian yang bersangkutan juga sangat variatif. Para senator di Amerika Serikat dipilih secara langsung oleh rakyat negara bagian dan tidak memiliki keterikatan politik secara formal dengan eksekutif dan legislatif di negara bagian dalam keputusan politiknya di Senat.

Di Jerman sebaliknya, anggota Bundesrat terdiri dari kepala dan anggota-anggota pemerintahan negara bagian (Länder) dan keputusan politik setiap anggota adalah terikat dengan keputusan pemerintah negara bagian. Dalam kasus federal Swiss, disamping melalui sistem dua kamar, negara bagian juga dapat mempengaruhi keputusan politik dan undang-undang nasional lainnya melalui institusi demokrasi langsung (Ständemehr dan referendum). Juga dalam hal pemberian suara, terdapat variasi antara Senat di USA dan Bundesrat di Jerman. Setiap senator memiliki satu suara dan dapat berbeda dengan senator lainnya dari negara bagian yang sama. Sedangkan anggota Bundesrat tidak memiliki hak suara individu karena setiap negara bagian hanya dihitung satu suara dan harus diberikan secara sama. Terlepas dari sistem pemilihan dan keterikatan politik anggotanya, sistem dua kamar merupakan elemen sentral keterlibatan negara bagian dalam proses pembuatan undang-undang nasional (Bothe, Berlin, 1977:84). Sistem parlemen dua kamar telah diadopsi di Indonesia dengan kewenangan yang bersifat konsultatif.

Pembicaraan hubungan pusat dan daerah di negara berstruktur federal tidak pula terlepas dengan perimbangan keuangan baik secara vertikal antara negara bagian dan negara pusat maupun antara negara bagian dengan negara bagian. Pembagian sumber-sumber keuangan dan pembiayaan kewenangan antara pusat (federal) dan negara bagian diatur secara detail dalam konstitusi federal. Menurut kelaziman, konstitusi menetapkan jenis-jenis pajak yang dimiliki secara terpisah oleh Pusat dan Negara Bagian. Disamping itu, karena sifat otonomi yang dimiliki oleh “state” yang bukan merupakan bentukan pusat, maka sumber-sumber penerimaan terbesar dari sektor pajak maupun non pajak dapat dimiliki secara paralel oleh pusat maupun negara bagian, sehingga dimungkinkan terjadinya double taxation bagi warga negara.

Dalam negara berstruktur federal yang lain, beberapa pajak potensial seperti pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan dan pajak penjualan dipungut oleh negara pusat dan hasilnya dibagi secara bersama antara pusat, negara bagian dan municipal. Konstitusi atau Undang-Undang menetapkan besarnya bagi hasil pajak-pajak tersebut. Jika karena alasanalasan tertentu parlemen telah bersepakat, maka besarnya prosentase bagi hasil dapat direvisi.

Di Jerman misalnya, prosentasi bagi hasil Pajak Penghasilan adalah 42,5% Pusat, 42,5% Negara Bagian dan 15% Kommune. Sedangkan pajak pertambahan nilai dibagi 50,5% pusat dan 49,5% negara bagian. Disamping pembagian secara terpisah dan bagi hasil, sistem federal Jerman juga menganut perimbangan keuangan horizontal antara negara bagian kaya kepada negara bagian miskin.

Hadirin yang saya hormati,

Uraian yang saya sampaikan terkait dengan problem kekikinian yang dihadapi Indonesia dalam konteks hubungan antara pusat dan daerah, juga uraian tentang teori dan praktek penyelenggaraan hubungan pusat dan daerah di beberapa negara federal dimaksudkan untuk membentangkan pemahaman dalam upaya mencari format konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia pada masa yang akan datang. Seperti yang telah disinggung dimuka, gerakan dinamis sentripetal dan sentrifugal selalu terjadi dalam semua negara dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, baik di negara kesatuan maupun negara federal. Sehingga semakin jelaslah bagi kita bahwa instrumen yang lazim dipergunakan di negara federal dapat saja diadopsi di negara kesatuan, jika dilakukan secara cermat dan berhati-hati.

Akan halnya konstruksi ulang hubungan antara pusat dan daerah pada masa yang akan datang, saya mengusulkan pemikiran-pemikiran berikut agar dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam menyusun grand design hubungan tersebut.

Tingkatan Pemerintahan Daerah, Peran, Kedudukannya

Sebagaimana telah maklum dan telah pula kita dipahami, tingkatan pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya telah berubah dari satu kurun ke kurun waktu lain di Indonesia. Berdasarkan UU No. 22 tahun 1999, tingkatan pemerintahan daerah di Indonesia dibagi atas Propinsi dan Kabupaten/Kota yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Perlu saya catat disini, penggunaan terminologi dibagi yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945 perubahan kedua tahun 2000, dalam wacana akademik masih menimbulkan polemik.

Polemik ini bertitik tolak dari kata dibagi yang dapat dimaknai bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini dibagi-bagi layaknya konsepsi dan praktek di negara federal.  Pandangan ini antara lain dikemukakan oleh Prof. Bhenyamin Hoessein. Saya pun menyetujui pandangan beliau. Meskipun demikian, saya tidak akan melanjutkan polemik ini dalam pidato pengukuhan, melainkan akan menekankan pada konstruksi tingkatan pemerintahan daerah, peran dan kedudukannya.

Perjalanan panjang penelitian saya di beberapa daerah mengarahkan pada kesimpulan, bahwa praktek otonomi daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 jo UU No. 32 tahun 2004 telah menyebabkan fragmentasi administrasi (fragmanted administration) yang berlebihan di kabupaten dan kota. Kondisi ini dalam derajat tertentu kontradiktif dengan tujuan-tujuan otonomi daerah. Ketentuan pasal 4 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 yang menyebutkan tidak adanya hirarki satu sama lain antara propinsi dan kabupaten/kota dalam prakteknya telah menyebabkan lemahnya peran dan fungsi Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah. Gubernur tidak dapat melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Kabupaten dan Kota. Hubungan antara pemerintah kabupaten/kota ke pusat dilakukan secara langsung, tanpa melalui Gubernur. Peran dan fungsi Gubernur menjadi mandul. Sehingga terlihat kesan, pemerintahan daerah menjadi sentralistis kembali. Pada tataran ideal, seharusnya problem-problem penyelenggaraan pemerintahan daerah berhenti dan dapat diselesaikan di tingkat Propinsi. Pada sisi lainnya batas-batas budaya di level kabupaten/kota berhimpit dengan batas-batas administratif yang mengakibatkan kuatnya egoisme daerah dan kesukuan. UU No. 32 tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mengurangi masalah-masalah yang muncul dalam implementasi UU No. 22 tahun 1999, ternyata belum mampu merubah paradigma bupati/walikota yang terlanjur sudah terbentuk.

Dengan memperhatikan problem yang dihadapi pada tataran praktek, juga konstruksi teoritis yang saya pelajari, maka konsensus untuk menghilangkan status daerah administratif di tingkat kabupaten/kota, dan keinginan untuk tetap mempertahankan dual role dan dual status dari Gubernur, harus diikuti dengan penguatan peran Gubernur sebagai Wakil Pusat di daerah untuk melakukan pengawasan, pembinaan dan koordinasi. Para bupati/walikota tidak perlu merasa khawatir kewenangannya akan berkurang dengan hal ini, karena locus dan focus otonomi daerah harus tetap berada di tingkat kabupaten dan kota. Undang-undang harus memberikan seperangkat instrumen kepada Gubernur untuk secara aktif melakukan fungsinya sebagai WPP. Pemikiran ini menurut saya sejalan dengan semangat otonomi daerah, yaitu untuk mengurangi peran pusat dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan mempercayakan Gubernur untuk melakukan tugas-tugas koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap Kabupaten dan Kota di wilayahnya. Kekhawatiran bahwa Gubernur akan lebih condong sebagai Wakil Pusat katimbang sebagai Kepala Daerah tidaklah beralasan, karena Gubernur dipilih oleh rakyat secara langsung. Inilah yang saya maksudkan sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan antara gerakan sentrifugal dan gerakan sentripetal dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.

Pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan

Salah satu perubahan besar konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah berdasarkan UU No. 22 tahun 1999 dan juga UU 32 No. 32 tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya adalah dianutnya prinsip kewenangan sisa (residu of powers) dalam pembagian kewenangan antar tingkatan pemerintahan. Kewenangan Kabupaten dan Kota mencakup semua kewenangan pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik, luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lainnya yang ditetapkan sebagai kewenangan pusat. Dengan demikian semua kewenangan pada dasarnya sudah ada pada kabupaten dan kota, sehingga tidak perlu dilakukan penyerahan secara aktif oleh pusat. Dalam penjelasan pasal 11 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999 disebutkan bahwa pada dasarnya seluruh kewenangan sudah berada pada daerah Kabupaten dan Kota. Oleh karena itu, penyerahan kewenangan tidak perlu dilakukan melalui pengakuan oleh pemerintah. Secara material ketentuan penjelasan pasal 11 ini memiliki makna dan semangat yang dianut oleh konstitusi dalam kebanyakan negara federal. Pada sisi lainnya, ketentuan pasal 7 dan pasal 11 UU No. 22 tahun 1999 dapat pula ditafsirkan sebagai kewenangan yang tabu untuk di desentralisasikan (Hoessein, 2001:18). Kewenangan yang secara renumeratif diserahkan kepada pusat dalam pasal 7 dengan demikian, hanya dapat dilaksanakan melalui asas sentralisasi atau dekonsentrasi. Ketentuan rinci mengenai bidang-bidang pemerintahan yang disebutkan dalam pasal 7 dan pasal 9, ditetapkan oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (pasal 12).

Bentuk pembagian wewenang dengan azas residu of powers pada daerah Kabupaten dan Kota ini, menyerupai pembagian wewenang yang lazim dilakukan oleh beberapa negara federal, seperti USA, Jerman, Austria dan Swiss, dimana wewenang pemerintah federal dirinci dalam Konstitusi, sementara wewenang lain yang tidak disebutkan sebagai wewenang federal secara otomatis menjadi wewenang negara bagian (Prasojo, 2005:163). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa secara substansial UU No. 22/1999 menganut prinzip kelaziman yang diterapkan di negara federal dalam hal pembagian wewenang. Salah satu masalah yang dihadapi dalam implementasi otonomi daerah yang berakar dari konstruksi hubungan antara Pusat dan Daerah adalah ketidakjelasan model pembagian kewenangan antar tingkat pemerintahan.

Secara teoritik dan praktek internasional di beberapa negara, terdapat dua prinsip dasar yang dapat dilakukan dalam membagi kewenangan yaitu berdasarkan kepada fungsi dan berdasarkan kepada politik. Atas dasar fungsi kewenangan dibagi menurut fungsi mengatur dan fungsi mengurus. Artinya, untuk suatu jenis kewenangan, fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan dan dibagi secara tegas untuk setiap tingkatan pemerintahan. Sebaliknya, jika prinsip dasar yang dianut adalah berdasarkan pembagian politik, maka fungsi mengatur dan mengurus ini tidak secara tegas dibagi antara tingkatan pemerintahan. Sehingga untuk satu jenis kewenangan sektoral bisa terdapat fungsi mengatur dan mengurus yang sama dan dimiliki oleh dua tingkatan pemerintahan yang berbeda. Ketidakjelasan model pembagian kewenangan ini, dalam prakteknya terefleksi dalam dua wajah.

Pertama, untuk sektor-sektor yang bersifat profit seringkali terjadi tumpang tindih antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota. Kedua untuk sektor-sektor yang bersifat pembiayaan, seringkali terjadi kevakuman kewenangan. Secara khusus, problem pembagian kewenangan juga terletak pada inkonsistensi berbagai produk perundang-undangan di negeri ini. Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden bisa mereduksi kewenangan yang sudah diberikan Undang-Undang. Bagi daerah,
inkonsistensi ini membingungkan dan cenderung menyebabkan resentralisasi. Ujung dari inkonsistensi ini adalah konflik sektoral antar tingkat pemerintahan. Dalam kesempatan berpartisipasi menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang pembagian kewenangan, saya juga turut merasakan ketegangan antara sektor dengan pemerintah daerah. Bahkan beberapa pemerintah daerah menuduh pusat tidak bersungguh-sungguh mendesentralisasikan
kewenangan.

Dilihat dari akar permasalahan tersebut, maka konstruksi hubungan pusat dan daerah pada masa yang akan datang diarahkan pada dua hal. Pertama, dalam praktek di negara-negara kesatuan model pembagian kewenangan yang dianut adalah berdasarkan fungsi. Titik berat fungsi mengatur yang bersifat nasional dilakukan oleh pusat. Sedangkan Propinsi dan Kabupaten/Kota mengatur sesuai dengan tingkat kewenangan yang dimiliki. Selaras dengan kewenangan mengatur yang dimiliki, fungsi mengurus dilakukan oleh masing-masing tingkatan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.
Menurut hemat saya, beberapa kewenangan yang dapat dikembangkan adalah:
(1) kewenangan mengatur oleh pusat,
(2) kewenangan mengatur oleh provinsi,
(3) kewenangan mengatur oleh kabupaten/kota,
(4) kewenangan mengurus dalam rangka desentralisasi, 
(5) kewenangan mengurus dalam rangka dekonsentrasi,
(6) kewenangan mengurus dalam rangka tugas pembantuan, dan
(7) kewenangan mengurus dalam rangka sentralisasi.
Dalam catatan saya, dalam praktek di negara-negara federal, pembagian kewenangan antara federal dan negara bagian dilakukan secara tuntas di Konstitusi, inkonsistensi dan ketidakjelasan tersebut dapat dikurangi. Dalam kesempatan ini saya mengusulkan agar pembagian kewenangan berdasarkan kepada fungsi mengatur dan mengurus ditetapkan secara tuntas di dalam Undang-undang. Pengaturan melalui Peraturan Pemerintah sebagaimana yang dianut pada saat ini, cenderung menguntungkan pusat dan melemahkan daerah.

Hadirin yang saya hormati,

Dilihat dari esensi tujuannya, maka desentralisasi dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pembangunan dan pelayanan. Tujuan ini hanya akan tercapai jika pemerintah daerah dapat membiayai pelaksanaan seluruh kewenangan yang diserahkan kepadanya. Bertalian dengan hal tersebut perlu adanya keselarasan antara kewenangan yang diserahkan, sumber-sumber penerimaan yang dimiliki dan kewajiban untuk membiayainya. Kerangka hukum konstruksi hubungan antara pusat dan daerah di Indonesia dari kurun waktu ke waktu yang lain selalu diwarnai oleh kecenderungan sentralisasi sumber-sumber penerimaan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan terjadinya hal tersebut. Pertama, desentralisasi fiskal (keuangan) adalah persoalan krusial dan kritis menyangkut pertanyaan bagaimana menciptakan dan mempertahankan ketergantungan daerah terhadap pusat. Kedua, UUD 1945 tidak secara tegas mengatur dan mengamanatkan satu perimbangan dan hubungan keuangan antara pusat dan daerah. Dan ketiga, kecenderungan keinginan dan harapan pusat untuk mendistribusikan pembangunan ke seluruh pelosok tanah air secara adil, merata dan efisien. Faktor faktor ini telah menyebabkan ketergantungan daerah yang besar terhadap pusat dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah (Crane, 1995:140, juga De Mello, 1999:8).

Reformasi perimbangan keuangan melalui UU No. 25 tahun 1999 dan direvisi melalui UU No. 33 tahun 2004 ternyata belum mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pusat. Sumber-sumber penerimaan negara yang penting masih dikuasai oleh negara, meskipun sebagian besar kewenangan sudah diberikan kepada daerah. Pada sisi lainnya, ketidakseimbangan antara satu daerah dengan daerah lain juga terjadi.

Berbagai persoalan hubungan keuangan antara pusat dan daerah, menurut hemat saya bersumber dari semrawutnya berbagai jenis perimbangan yang ada, disamping juga disebabkan oleh ketiadaan jaminan yang tegas tentang hubungan ini dalam UUD 1945.

Daerah berada dalam kondisi yang rentan. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut, saya menawarkan pengungkit yang dapat dijadikan sebagai kebijakan. Pertama, komponen perimbangan keuangan antara pusat dan daerah harus meliputi 4 hal yaitu (1) pembagian penerimaan pajak dan bukan pajak secara terpisah antar level pemerintahan, (2) bagi hasil penerimaan pajak dan bukan pajak, (3) perimbangan horisontal antar daerah, dan (4) dana subsidi perimbangan dari pusat kepada daerah. Kedua, keempat jenis perimbangan tersebut harus disusun secara bertahap, dimana setiap tahapan memiliki perhitungan yang mencerminkan angka kekuatan keuangan setiap daerah. Pada tahapan keempat, yaitu dana subsidi perimbangan pusat merupakan instrumen pengangkat daerah yang memiliki kekuatan keuangan yang lemah. Sehingga demikian, kesenjangan horisontal antar daerah dapat dikurangi. Ketiga, prinsip money follow function dan money follow ressource harus berjalan selaras sehingga tidak boleh menimbulkan kecemburuan daerah terhadap pusat dan daerah satu terhadap daerah lain. Keempat, perlunya memperluas jenis dan prosentase bagi hasil pajak. Kelima, perlunya mempertegas dan memperjelas ketentuan perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam konstitusi untuk menjamin kedudukan hukum pemerintah daerah.

Hadirin yang saya hormati,

Berdasarkan UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, maka Daerah diberikan wadah institusional untuk terlibat dalam pembuatan kebijakan di tingkat pusat. Dewan Perwakilan Daerah berkedudukan sebagai “parlemen kedua” bersama-sama dengan DPR. Meskipun demikian beberapa pemikiran perlu dikembangkan untuk memperkuat DPD sebagai perwakilan daerah. Bahwa anggota-anggota DPD diplih secara langsung oleh rakyat daerah dan tidak harus merupakan anggota pemerintahan daerah dapat menyebabkan kontradiksi keputusan pemerintahan daerah dengan keputusan anggota-anggota DPD yang mewakili Daerah.

Demikian juga dengan jumlah anggota DPD yang sama untuk setiap daerah, dapat menyebabkan over representasi daerah daerah-dengan penduduk sedikit terhadap daerah-daerah berpenduduk banyak. Pada sisi lainnya, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD hanya terbatas pada produk Undang undang yang memiliki keterkaitan langsung dengan kepentingan daerah, misalnya berkaitan dengan otonomi daerah dan perimbangan daerah. Dalam keputusan terhadap produk Undang undang yang lain DPD tidak memiliki hak Veto. Dalam jangka panjang, kekuasaan yang dimiliki oleh DPD harus bersifat veto dan diperluas tidak saja pada produk Undang-Undang yang berkaitan dengan kepentingan daerah, tetapi juga Undang-undang yang lainnya.

Hadirin yang saya hormati,

Pada bagian akhir pidato pengukuhan ini, izinkanlah saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berjasa terhadap karir akademik saya di FISIP UI. Kepada Pemerintah RI saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan dalam jabatan Guru Besar ini. Sayapun berharap amanah yang berat ini senantiasa dapat dilaksanakan dengan baik. Saya juga yakin, bahwa jabatan ini adalah awal dari karir panjang yang harus diisi dengan prestasi yang lebih baik lagi. Ucapan terima kasih saya sampaikan saya sampaikan kepada Dewan Guru Besar FISIP UI dan Dewan Guru Besar UI yang telah menyetujui dan meneruskan pengusulan jabatan Guru
Besar bagi saya. Kepada Rektor Universitas Indonesia, Prof. dr. Usman Chatib Warsa, Sp.MK, Ph.D. secara khusus saya ucapkan terima kasih atas kesediaan untuk hadir dan memimpin sidang pengukuhan pada pagi hari ini. Kepada Dekan FISIP UI, Dr. Gumilar R. Somantri, para Wakil Dekan dan para manajer saya ucapkan terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya yang baik sehingga acara ini berlangsung dengan baik. Khusus kepada Dr. Gumilar, terima kasih saya atas bantuan dan dorongannya sehingga saya diberikan kesempatan oleh DAAD Jerman untuk melanjutkan program S2 dan S3 di Jerman. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Prof. Dr. Bhenyamin Hoessein, yang secara khusus memberikan bimbingan dan terus mentransfer ilmu yang dimilikinya, juga terhadap perkembangan karir akademik saya. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan dan balasan pahala kepada beliau. Dalam kesempatan ini saya sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Azhar Kasim, MPA dan Prof. Dr. Martani Huseini, MBA yang telah memberikan dukungan dan kesempatan yang besar dalam pengembangan karir akademik saya. Kepada Ibu Dra. Amy S. Rahayu, MSi., saya mengucapkan terima kasih atas dedikasinya bagi awal perjalanan karir saya.

Terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh staf Pengajar di Departemen Ilmu Administrasi yang penuh dengan kebersamaan dan kerjasama dalam membangun kualitas dan daya saing. Saya tidak bisa menyebutkan satu persatu dalam kesempatan ini. Juga kepada kawan-kawan panitia dan mahasiswa yang turut membantu terselenggaranya acara pengukuhan ini. Kepada Doktorvater saya, Prof. Dr. Rainer Pitschas, ucapan terima kasih atas bimbingan dan dukungannya yang luar biasa sehingga Program Magister dan Doktor saya di Deutsche Hochschule fuer Verwaltungswissenschaften Speyer Jerman dapat selesai tepat waktu. Prof. Dr. Karl-Peter Sommerman, bimbingan beliau dan buku-buku yang diberikannya terkait dengan Staats- und Verfassungslehre, sangat membantu saya dalam memahami konstruksi negara. Lebih khusus lagi kepada Dr. Dorothea Rueland, kepala perwakilan DAAD Jakarta pada masa itu, dimana saya bekerja keras untuk mendapatkan beasiswa DAAD. Juga kepada teman-teman di GTZ SfGG dan SfDM, Mr. Peter Rimmele, Dr. Bernhard May, Mr. Guenter Felber, terima kasih atas kesempatan yang diberikan bagi saya untuk berpartisipasi dalam program bantuannya di Indonesia.

Ucapan terima kasih juga disampaikan Kepada Prof. Dr. Ir. Nurpilihan Bafdal, MSc., yang juga mertua saya, atas bimbingan dan dukungannya dalam semua hal termasuk karir akademik saya. Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala kepada beliau. Terima kasih yang tidak terhingga tentu saja kepada kedua orang tua saya yang tercinta, Ayahanda Sanen Martowikromo dan Ibunda Yatini juga kepada seluruh kakanda, yang karena bimbingan dan dorongannya karir akademik ini dapat tercapai. Semoga Allah SWT memberikan kesehatan, ampunan dan balasan pahala kepada beliau.

Last but not least, ucapan terima kasih sebesar-besarnya saya sampaikan kepada Isteri tercinta Ir. Ceffi Jenivita, dan anakku tersayang Umniah Salsabila Prasojo atas kesabaran dan dorongan moral yang sangat berharga. Maafkan suami dan ayah atas detik-detik berharga yang senantiasa hilang karena kesibukan. Kepada seluruh hadirin, saya mengucapkan terima kasih atas kedatangannya dan kesabarannya mendengarkan pidato pengukuhan Guru Besar kami.

Daftar Kepustakaan

Arthur B. Gunlicks. 2000. “Föderative Systeme im Vergleich: Die USA und Deutschland “, in: Von Arnim, Hans Herbert/Färber, Gisela/Fisch, Stefan (Eds). Föderalismus – Hält ernoch, was er verspricht?, Berlin: h. 41-62
Bothe, Michael. 1977. Die Kompetenzverteilung des modernen Bundesstaates inrechtsvergleichender Sicht. Berlin.
Bell, Daniel. 1988: “The World in 2013“, Journal Dialogue.
Crane, Randal. 1995. “The Practice of Regional Development in Indonesia: Resolving Central-local Coordination Issues in Planning and Finance”. Public Administration and Development. Vol. 15. hal. 140.
De Mello, Luiz R. JR. 1999. “Intergovernmental Fiscal Relation: Coordination Failures and Fiscal Outcomes”. Public Budgeting and Finance. Vol. 19/1. Hal. 8.
Denewitz, Bodo. 1947. Der Föderalismus. Sein Wesen und Seine Geschichte. Hamburg.
Deuerlein, Ernst. 1972. Föderalismus. Die historischen und philosophischen Grundlagen des föderativen Prinzips. Bonn.
Esterbauer, Fried und Thöni, Erich. 1981. Föderalismus und Regionalismus in Theorie und Praxis. Wien.
Frenkel, Max. 1984. Föderalismus und Bundesstaat, 1st Ed.. Bern.
Fukuyama, Francis. 2004. State Building: Governance and World Order in the Twenty-First Century. London.
Hoessein, Bhenyamin. 1995. Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Akan Berputarkah Roda Desentralisasi dari Efisiensi ke Demokrasi.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Indonesia. Depok.
Hoessein, Bhenyamin. 2001. “Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan sebagai Tanggap terhadap Aspirasi Kemajemukan Masyarakat dan Tantangan Globalisasi”. Usahawan 04/April, Jakarta.
Hoessein, Bhenyamin. 2001 “Pembagian Kewenangan antara Pusat dan daerah, Paper seminar Konstruksi Hukum dan Politik kemandirian dan demokrasi Otonomi Daerah“, paper dipresentasikan di Malang.
Kuttenkeuler, Benedikt. 1998. Die Verankerung des Subsidiaritätsprinzips im Grundgesetz. Ein Beitrag zur Bedeutung des Subsidiaritätsprinzips für die Kompetenzabgrenzung im Bundesstaat. Frankfurt.
Laufer, Heinz dan Münch, Ursula.1988. Das Foedarative System der Bundesrepublik Deutschland, Opladen.
Mackie, J.A.C. (editor). 1980. “Integrating and Centrifugal Factors in Indonesian Politic since 1945“. The Making of Nation. ANU. Canberra.
Muluk, M.R. Khairul. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Pemerintahan Daerah dengan Pendekatan Berpikir Sistem (Studi Administrasi Publik di Kota Malang). Disertasi tidak diterbitkan. FISIP UI. Jakarta.
Pitschas, Rainer. 2001. “Dezentralisierung und Good Governance - Zivilgesellschaftliche Entwicklung im Konflikt mit dem effizienten Staat” di dalam: Thomi, Walter/Steinich,
Markus/Polte, Winfried (editor), Dezentralisierung in Entwicklungslandem. Jungere Ursachen, Ergebnisse und Perspektiven staatlicher Reformpolitik, Baden-Baden, h..125-149.
Prasojo, Eko. 2003. Politische Dezentralisierung in Indonesien. Die Föderalismusdebatte in Politik und Rechtsvergleich. Frankfurt.
Prasojo, Eko. 2005. “Problem dan Prospek NAD Pasca MOU Helsinki”. Jurnal Intelijen dan Kontraintelijen. Vol. II No. 9 Desember-Januari. Centre for Study of Intelligence and Counterintelligence BIN. Jakarta. Hal. 22-31.
Prasojo, Eko. 2005. “Pilkada, Demokratisasi dan Good Governance: Rekonseptualisasi Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan”. Jurnal Bisnis dan Birokrasi No. 2/Vol. XIII/Mei. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta. Hal 101-109.
Prasojo, Eko. 2005. Federalisme dan Negara Federal. Sebuah Pengantar. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Prasojo, Eko; Kurniawan, Teguh; Hasan, Azwar. 2004. Reformasi Birokrasi dalam Praktek. Kasus di Kabupaten Jembrana. Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI. Jakarta.
Rohdewohld, Rainer. 2003. “Decentralization and The Indonesian Bureaucracy: Major Changes, Minor Impact?”, di dalam Aspinal, Edward dan Fealy, Greg. Local Power and Politics in Indonesia: Decentralization and Democratization. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore.
Smith, Brian C.. 1985. Decentralization. The Teritorial Dimension of the State. London.
White, Roland dan Smoke, Paul. 2005. East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. The World Bank. Washington DC.
Wunsch, James S dan Olowu, Dele. 1995. “Centralization and Development in Post-Independence Africa”. di dalam Wunsch dan Olowu. The Failure of the Centralized State. Institutions and Self Governance in Africa. San Francisco, California.
Yappika. 2006. “Studi Pelaksanaan Desentralisasi yang Membukan Ruang Partisipasi Politik Rakyat, Efektivitas Tata Pemerintahan, dan Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Ekonomi Masyarakat”, hasil penelitian tidak dipublikasikan. Jakarta.

http://ekoprasojo.com/2008/04/08/konstruksi-ulang-hubungan-pemerintah-pusat-dan-pemerintah-daerah-di-indonesia-antara-sentripetalisme-dan-sentrifugalisme/

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Flickr Images

Formulir Kontak