tugas tulisan

Perbandingan Sistem Peradilan Pidana di Dunia

04.47handreasstik66


A. Sistem Peradilan Pidana Inggris
Sampai akhir 1986, proses penuntutan bagi perkara-perkara ringan di Inggris dilakukan oleh Polisi sendiri (Police Prosecutor). Sedangkan perkara yang agak berat dilakukan oleh pengacara yang disebut Solicitor. Dan perkara-perkara yang berat disidangkan di pengadilan tinggi (tingkat banding) dengan penuntut Umum pengacara yang disebut Barrister. Namun sejak 1986 yang menentukan apakah perkara yang disidik Polisi dapat diajukan ke pengadilan atau tidak adalah Jaksa yang tergabung dalam Crown Prosecution Secvice (CPS). Dan di Inggris terdapat 31 kejaksaan atau CPS yang terdiri dari Crown Prosecutor, senior Crown Prosecutor, Assistant branch CPS, Branch prosecutor (di Indonesia setingkat Kepala Kejaksaan Negeri), dan Chief Prosecutor (setingkat Kepala Kejaksaan tinggi).

Sumber hukum dalam sistem peradilan pidana di Inggris terdiri dari :
a. Custom, merupakan sumber hukum tertua. Tumbuh dan berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon pada abad pertengahan yang melahirkan Common Law. Sehingga sistem hukum Inggris disebut juga sistem anglo saxon.
b. Legislation/statute, berupa Undang-undang yang dibuat melalui parlemen.
c. Case law/judge made law, hukum kebiasaan yang berkembang di masyarakat melalui putusan hakim yang kemudian diikuti oleh hakim berikutnya melahirkan asas precedent.
Dalam sistem Common Law seperti di Inggris, adat istiadat atau kebiasaan masyarakat (custom) yang dikembangkan berdasarkan putusan Pengadilan mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena berlaku asas STARE DECISIS atau ASAS BINDING FORCE OF PRECEDENTS. Asas ini mewajibkan hakim untuk mengikuti putusan hakim yang ada sebelumnya. Bagian putusan hakim yang harus diikuti dan mengikat adalah bagian pertimbangan hukum yang disebut sebagai ratio decidendi sedangkan hal selebihnya yang disebut obiter dicta tidak mengikat.
Dalam sistem peradilan Inggris benar salahnya terdakwa ditentukan oleh juri yang direkrut dari masyarakat biasa. Tugas hakim hanya memastikan persidangan berjalan sesuai prosedur dan menjatuhkan hukuman sesuai hukum. Oleh karena itu, tugas jaksa dan pengacara dalam persidangan adalah meyakinkan juri bahwa terdakwa bersalah atau tidak. Berbeda dengan sistem civil law yang dianut di Indonesia sebagai kelanjutan dari sistem hukum yang dianut Belanda, maka tugas hakim di pengadilan lebih berat karena selain harus menentukan benar salahnya terdakwa juga menetapkan hukuman (vonis)nya.
Pada tahun 1994 telah terjadi pergeseran sistem akusator menjadi sistem inquisitor dalam hukum acara Pidana Inggris. Hal ini dilatarbelakangi karena Polisi di Inggris kesulitan untuk mengungkap atau menyelesaikan berbagai kasus yang menimbulkan ancaman serius bagi masyarakat terutama terorisme. Karena tersangka berlindung dibalik kekebalan hukum yang diberikan oleh UU antara lain hak untuk diam (right to remain silent). Perubahan tersebut dilihat dari konteks keberadaan sistem hukum yang ada di dunia (civil law dan common law) ternyata saat ini bukan saatnya lagi memperdebatkan secara tajam perbedaan antara kedua sistem hukum tersebut.

B. Sejarah Sistem Hukum Belanda dan Prancis
Walaupun Eropa Kontinental itu terdiri dari beberapa Negara, dan masing-masing mempunyai sistem hukum yang tersendiri, tetapi antara sistem-sistem hukum tersebut ada persamaannya, sistem hukum Belanda dan Prancis pada umumnya meresepsi hukum Romawi. Dengan demikian apabila menguraikan sejarah pertumbuhan hukum Belanda dan Prancis, maka kiranya dapat hal itu menggambarkan sejarah pertumbuhan hukum Eropa Kontinental pada umumnya.
Sistem hukum Belanda dan Prancis pada mulanya berasal dari hukum kebiasaan. Di Prancis kita kenal hukum kebiasaan yang dinamakan Droit de Coutumes, sedangkan di negeri Belanda kita kenal Gewoonterecht. Dengan adanya resepsi hukum Romawi maka disana perkembangan hukum kebiasaan yang sudah berkebang menjadi terputus.
Sebagaimana kita ketahui pada zaman jayanya kerajaan Romawi, eropa Barat dan Eropa Tenggara termasuk kedalam wilayah kekuasaan kerajaan Romawi. Dengan adanya penjajahan Romawi tersebut, maka hukum Romawi itupun dikenal oleh mereka. Hukum Romawi dianggap sebagai Ratio Sripta. Oleh sebab itu lama-kelamaan di daerah Eropa itu terjadi resepsi hukum Romawi, sehingga kemudian hukum Romawi itu tidak lagi dirasakan sebagai hukum asing.
1. Resepsi hukum Romawi kedalam hukum Eropa Barat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu :
a. Mulai abad pertengahan banyak mahasiswa-mahasiswa dari Eropa Barat dan Utara belajar di Universitas-universitas di Itali dan Prancis selatan. Pada zaman ini yang dipelajari oleh ahli hukum hanya hukum Romawi.
b. Adanya kepercayaan pada hukum alam yang azasi, yang dianggap sebagai suatu hukum yang sempurna dan berlaku bagi setiap tempat dan waktu (zaman). Oleh karena mereka yang menerima hukum alam itu tidak dapat melepaskan dirinya dari hukum Romawi, maka biasanya mereka menyamakan hukum alam itu dengan hukum Romawi.
Sebelum unifikasi hukum oleh Napoleon Bonaparte di seluruh Prancis berlaku hukum Germania disamping hukum Romawi. Bagian Utara dan Tengah merupakan daerah hukum local (pays de droit coutumier) dan bagian Selatan merupakan daerah hukum Romawi (pays de droit eerit). Hukum yang berlaku dibagian Utara dan Tengah adalah hukum kebiasaan Prancis kuno yang tumbuh sebagai hukum lokal yang berasal dari hukum Germania. Hukum yang berlaku dibagian Selatan terutama hukum Romawiyang telah mengalami kodifikasi dalam Corpus Iuris Civilis dari Justianus.
Mengenai perkawinan di seluruh wilayah negeri Prancis berlaku hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katholik Roma yaitu hukum kanonik, dalam Codex Iuris Canonici. Begitulah keadaan hukum di Prancis sebelum diadakan kodifikasi, yaitu tidak ada kesatuan hukum.
Pada waktu pemerintahan Louis XV, pada akhir abad 17 dan bagian pertama abad 18, meskipun cita-cita untuk membukukan seluruh hukum perdata dalam Corps de Lois, belum berhasil tetapi terbentuklah tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus. Ketiga ordonansi itu dinamai Ordonansi Daguesseau, karena di buat oleh kanselir dari raja Louis XV, yang bernama Daguesseau, ordonansi-ordonansi tersebut adalah :
1. Lordonance sur les donations (1731).
2. Lordonance sur les testaments (1735).
3. Lordonance sur les substitutions fideicommisaires (1747).
Pada tanggal 12 agustus 1800, Napolen Bonaparte membentuk suatu panitia yang bertugas membuat kodifikasi yang terdiri dar Portalis, Trouchet, Bigot de Preameneu, dan Malleville. Yang menjadi sumber kodifikasi ialah :
1. Tulisan-tulisan Pothier, Domat, Bourjon.
2. Hukum kebiasaan, terutama kebiasaan Paris.
3. Ordonansi-ordonansi Gaguesseau.
4. Hukum yang dibentuk sejak revolusi Prancis sampai terbentuknya kodifikasi, yaitu hukum Intermediaire (hukum sementara waktu).
Hukum yang bahan-bahannya diperoleh dari sumber-sumber tersebut terdiri dari campuran azas-azas hukum Romawi, Germania dan azas-azas hukum Gereja (hukum kanonik). Kodifikasi hukum Prancis yang terbentuk pada tanggal 21 maret 1804 dengan nama Code Civil des Francais, pada tahun 1807 diundangkan lagi dengan nama Code Napoleon.
Belanda adalah salah satu Negara yang pernah dijajah oleh Prancis antara tahun 1806-1813 sehingga akibat itu disana berlaku pula Code Prancis. Setelah belanda merdeka pada tahun 1813, maka berdasarkan pasal 100 UUD Belanda tahun 1814, dibentuklah suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum Belanda yang diketuai oleh Mr.J.M.Kemper (1776-1824), yang pada tahun 1916 menyampaikan suatu rencana kodifikasi pada raja Belanda. Rencana tersebut didasarkan atas hukum Belanda kuno, sehingga tidak disetujui oleh para ahli hukum Belgia yang hendak mendasarkan kodifikasi pada Code Napoleon(pada waktu itu negeri Belanda dan Belgia bersatu).
Pada tanggal 22 november 1820 rencana Kemper ini setelah mendapat perobahan sedikit (tapi masih didasarkan atas hukum Belanda kuno), disampaikan pada Parlemen Belanda yang terkenal dengan nama Ontwerp Kemper. Ontwerp Kemper ini mendapat tantangan keras dari anggota-anggota bangsa Belgia yang dipimpin oleh Presiden pengadilan tinggi Belgia P.Th.Nicolai.
Karena Kemper meninggal dunia pada tahun 1824, maka selanjutnya pembuatan kodifikasi hukum perdata dipimpin oleh Nicolai. Nicolailah yang menyebabkan pembentukan kodifikasi hukum Belanda sebagian besar bersumberkan pada Code Napoleon dan hanya sebagian sangat kecil saja yang berdasarkan pada hukum Belanda kuno. Kodifikasi hukum perdata Belanda baru dapat diresmikan pada tahun 1838.
Meskipun kodifikasi hukum perdata Belanda itu bagian terbesar meniru Code Civil Prancis, tapi susunan yang terdiri dari empat buku itu tidak berasal dari Code Civil Prancis (yang terdiri dari tiga kitab), melainkan meniru susunan dari Instituones dalam Corpus Iuris Civilis.
Kalau tadi hukum perdata Belanda atau Prancis, banyak meresepsi hukum Romawi, maka tidak demikian halnya dengan Hukum Dagang. Perkembangan hukum dagang (1000-1500), ditandai dengan di Prancis Selatan dan Itali lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan internasional.
Ternyata bahwa hukum Romawi tidak dapat memberi penyelesaian untuk perkara-perkara yang ditimbulkan oleh perniagaan pada waktu itu lebih modern sifatnya. Karena itu di kota-kota Eropa tersebut dibuatlah peraturan-peraturan hukum baru, yang lama kelamaan menjadi himpunan peraturan-peraturan hukum yang berdiri sendiri. Hukum yang baru ini menjadi hukum bagi golongan pedagang, yang dinamakan hukum dagang. Inilah permulaan daripada timbulnya kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional.
Sampai meletusnya revolusi Prancis, hukum dagang itu hanya berlaku bagi pedagang saja, karena golongan pedagang itu merupakan suatu kelas yang tertutup yang dinamakan Gilde. Perkembangan hukum dagang ini sangat cepat sekali. Ternyata bahwa pada abad ke-16 dan ke-17 banyak kota-kota di Prancis mengadakan pengadilan istimewa hanya untuk menyelesaikan perkara-perkara yang ditimbulkan dalam lapangan perniagaan, sehingga dinamakan pengadilan saudagar. Dengan adanya pengadilan saudagar ini maka hukum dagang itu menjadi hukum istimewa yaitu hukum kaum pedagang.
Hukum dagang ini pada mulanya belum ada kesatuan, tetapi lama-kelamaan diadakan kesatuan hukum dagang. Karena hubungan dalam perniagaan internasional makin erat. Sehingga pada abad ke-17 di Prancis diadakan kodifikasi hukum dagang. Oleh Colbert dibuat Ordonance du Commerce (1678), yang mengatur hukum dagang yang hanya berlaku bagi pedagang. Kemudian pada tahun 1681 diadakan Ordonance de la Marine yang mengatur hukum perniagaan laut.
Sesudah revolusi Prancis, gilde itu dihapuskan. Maka sejak itu tidak ada alasan untuk mengadakan pemisahan antara hukum perdata yang berlaku umum bagi tiap penduduk Prancis, dengan hukum yang berlaku bagi pedagang saja, apalagi karena hukum dagang ini kemudian banyak digunakan oleh bukan saudagar.
Meskipun demikian pemisahan antara hukum dagang dengan hukum perdata masih juga diteruskan. Pada tahun 1807 dibuat suatu undang-undang hukum dagang yaitu Code de Commerce, disamping Code Civil des Francais. Yang menjadi dasar dari Code de Commerce itu antara lain Ordonance de la Marine dan Ordonance du Commerce.
Hukum dagang ini mulai berlaku pada tahun 1838, yang hanya berlaku bagi pedagang saja. Tetapi sejak pertengahan kedua abad ke-19, hukum dagang ini dianggap berlaku juga bagi bukan pedagang.
Baik kodifikasi hukum Prancis, meskipun kodifikasi hukum Belanda dimaksudkan agar supaya ada kepastian hukum. Karena itu dibuatlah kodifikasi supaya tidak ada hukum diluar undang-undang (faham legisme).
Revolusi Prancis kita kenal sebagai suatu revolusi yang menumbangkan kekuasaan absolut dari raja-raja yang sebelumnya terjadi revolusi sangat merajalela, sedangkan dilain pihak hak rakyat sungguh tidak seimbang dengan kemutlakan raja. Sehingga revolusi Prancis merupakan akibat daripada aliran pikiran liberal, yang berpokok pada paham, bahwa manusia itu dilahirkan bebas dan masing-masing mempunyai hak yang sama. Aliran pikiran Liberalisme ini sangat besar pengaruhnya di Eropa, dan Amerika, dengan semboyannya Laissez faire, laissez passer.
Aliran pikiran ini menjelma dalam pembentukan hukum yang terjadi setelah revolusi Prancis, seperti misalnya pembentukan kodifikasi hukum Prancis, maupun kodifikasi hukum Belanda yang meniru dari Prancis.
Sifat individualistis ini dapat kita lihat misalnya pada ketentuan hak milik dalam hukum perdata Belanda dimana hak milik itu merupakan hak mutlak dan orang bebas menggunakan miliknya. Misalnya dapat kita lihat pada Lantaarnpaal arrest, 14 Maret 1904, dimana pada waktu itu hak milik masih begitu mutlak dan hakimnya pun masih individualistis. Sehingga perbuatan kotapraja yang pada waktu itu memerintahkan penyediaan kurang lebih satu meter persegi tanah dari seorang pemilik tanah untuk menancapkan tiang lentera untuk penerangan jalan umum, oleh hakim dianggap bertentangan dengan undang-undang, karena membatasi hak milik perseorangan.
Di Eropa sejak sekitar tahun 1900 hubungan-hubungan sosial telah mengalami perubahan yang besar sekali. Anggapan hidup yang individualistis telah diganti dengan anggapan hidup yang lebih sosialistis.
Dalam bidang hukum pun terjadi pembaharuan yaitu dengan terjadinya penyosialan hukum, yang berpendapat bahwa tiap-tiap kaidah hukum itu hendaknya sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sehingga hak milik itu harus dipergunakan sesuai dengan kepentingan masyarakat.
Dengan demikian karena adanya perubahan srtuktur masyarakat yang melahirkan suatu struktur masyarakat baru, maka dirasakan perlunya perubahan kodifikasi yang telah ada. Perubahan kodifikasi di Prancis dan Belanda mula-mula terjadi dengan adanya yurisprudensi yang melengkapi kodifikasi.
Di Prancis misalnya terdapat putusan dari Pengadilan Tinggi Colmar tanggal 2 Mei tahun 1855, yang menyatakan bahwa hak seseorang itu tidak boleh digunakan sampai mengganggu orang lain, tanpa adanya kepentingan yang layak. Juga dinegeri Belanda kita kenal arrest 31 Januari 1919, yang memutuskan bahwa perbuatan melawan hukum itu bukan saja perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga perbuatan yang bertentangan dengan kaidah sosial lainnya, seperti kesusilaan seperti azas-azas pergaulan kemasyarakatan mengenai penghormatan pada orang lain atau pada barang orang lain.
Kemudian mengenai hak milik terdapat arrest 8 November 1937 Gelderse Reclameverordening, yang mengizinkan penebangan-penebangan pohon dan tanaman lain, apabila tanaman itu membahayakan keamanan umum.
Jadi yurisprudensi tadi merupakan pelengkap daripada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kodifikasi yang selalu terbelakang oleh perkembangan zaman, sehingga tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan.
Maka keadaan masyarakat sesudah perang dunia ke-II telah begitu berubah, juga kodifikasi Belanda sendiri mengalami perubahan dengan mulai diubahnya sebagian dari B.W tahun 1938 dengan B.W tahun 1951, yang merupakan konsepsi Meyyers yang terkenal.
Dengan demikian di negeri Belanda, kita melihat cara pembentukan hukum yang terbalik daripada cara-cara yang dipergunakan di Inggris. Sebab di negeri Belanda ini pada mulanya kodifikasi, jadi undang-undang, merupakan satu-satunya sumber hukum (legisme). Tetapi terdesak oleh kebutuhan-kebutuhan yang baru, kini kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai produk yang mengatur masyarakat secara lengkap dan sempurna.
Pengalaman membawa pengakuan, bahwa juga didalam kodifkasi terdapat Leemten, terdapat hal-hal yang belum diatur. Hal mana adalah wajar sesungguhnya, oleh karena ratio manusiapun juga tidak sempurna adanya. Akibat terlalu tegangnya undang-undang dan kodifikasi itu yurisprudensi datang membantu memerdekakan kegelisahan masyarakat, mula-mula dengan penggunaan fiksi-fiksi, tetapi mulai dengan arrest yang terkenal mengenai perbuatan yang melawan hukum itu diakuilah penggunaan penafsiran secara teleologis.
Sekalipun di negeri Belanda tidak berlaku azas Stare Decisis, akan tetapi adanya kontrol tidak langsung oleh Pengadilan-pengadilan yang lebih tinggi terhadap Pengadilan yang lebih rendah, ternyata dapat menjamin suatu Vaste Jurisprudentie di negeri itu.
Kemudian segala pembaharuan oleh yurisprudensi ini diakui, dan disempurnakan lagi dengan perubahan B.W dalam tahun 1951. Sehingga juga di negeri Belanda dan Eropa Kontinental pada umumnya, sekalipun bertitik tolak pada cara pembentukan hukum yang lain daripada sistem hukum Inggris, namun disitupun hukum, selain terdapat dalam undang-undang, kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang berdasarkan hukum yang berlaku, juga dalam yurisprudensi dan hukum kebiasaan.
Ini berarti bahwa jika kita hendak mengetahui hukumnya mengenai suatu hal yang tertentu, maka tidak cukuplah untuk hanya melihat kepada undang-undang saja. Sebaliknya, ketentuan dalam undang-undang ini harus ditinjau dalam hubungan dengan yurisprudensi tertentu mengenai hal yang bersangkutan ini. Inilah yang akan menunjukan keadaan hukum yang sebenarnya.

C. Sistem Hukum Belanda
Di negara Belanda, hukum yang mula-mula berlaku adalah hukum kebiasaan yaitu hukum Belanda kuno. Namun akibat penjajahan Perancis (1806 1813) terjadilah perkawinan hukum Belanda kuno dengan Code Civil.
Tahun 1814, setelah Belanda merdeka dibentuklah panitia yang dipimpin oleh J.M. Kemper untuk menyusun kode hukum Belanda berdasarkan Pasal 100 Konstitusi Belanda. Konsep kode hukum Belanda menurut Kemper lebih didasarkan pada hukum Belanda kuno, namun tidak disepakati oleh para ahli hukum Belgia (pada saat itu Belgia masih bagian dari negara Belanda), karena mereka lebih menghendaki Code Napoleon sebagai dasar dari konsep kode hukum Belanda.
Setelah Kemper meninggal (1824), ketua panitia diganti oleh Nicolai dari Belgia. Akibatnya kode hukum Belanda sebagian besar leih didasarkan pada Code Napoleon dibandingkan hukum Belanda kuno. Namun demikian susunannya tidak sama persis dengan Code Napoleon, melainkan lebih mirip dengan susunan Institusiones dalam Corpus Juris Civils yang terdiri dari empat buku.
Dalam hukum dagang Belanda tidak berdasar pada hukum Perancis melainkan berdasar pada peraturan-peraturan dagang yang dibuat sendiri yang kemudian menjadi himpunan hukum yang berlaku khusus bagi para golongan pedagang. Sejarah perkembangan hukum dagang Belanda ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan hukum dagang yang di Perancis Selatan dan di Italia.
Sampai meletusnya Revolusi Perancis, hukum dagang hanya berlaku bagi golongan pedagang saja (kelompok gilde). Perkembangan hukum dagang ini cepat sekali yaitu sebagai berikut pada abad XVI-XVII adanya Pengadilan Saudagar guna menyelesaikan perkara-perkara perniagaan, pada abad XVII adanya kodifikasi hukum dagang yan belum sepenuhnya dilaksanakan, tahun 1673 dibuat Ordonance du Commerce oleh Colbert, dan tahun 1681 lahir Ordonance du Marine.
Sesudah revolusi Perancis, kelompok gilde dihapus dan hukum dagang juga diberlakukan untuk yang bukan pedagang, sehingga hukum dagang dan hukum perdata menjadi tida terpisah. Walau dalam kenyataannya pemisahaan tersebut tetap terjadi.
Mengenai kodifikasi dapat diketengahkan, bahwa maksud dari kodifikasi adalah agar adanya kepastian hukum secara resmi dalam suatu sistem hukum tertentu. Akan tetapi masyarakat terus berkembang, sehingga hukumnya dituntut untuk ikut terus berkembang. Dengan metode kodifikasi dalam suatu sistem hukum yang terjadi adalah hukum selalu tertinggal di belakang perkembangan masyarakat, karena banyak masalah-maslaah yang tak mampu diselesaikan oleh kodifikasi hukum.
Kodifikasi tidak lagi dianggap sebagai suatu produk yang dapat mengatur masyarakat secara keseluruhan dan secara sempurna, melainkan masih tercipta kekosongan hukum dalam arti masih banyak hal-hal yang belum diatur. Maka alam menyelesaikan masalah-masalah yang belum diatur tersebut dipergunakan yurisprudensi dan penafsiran teleologis di samping kodifikasi. Meskipun di negara Belanda tidak berlaku asas stare decisses seperti di Inggris, yurisprudensi tetap dapat terjamin karena adanya kontrol dari pengadilan yang lebih tinggi terhadap pengadilan yang lebih rendah.
Dengan demikian bila dibandingkan dengan perkembangan hukum di Inggris, maka perkembangan hukum di Belanda adalah terbalik. Mula-mula kodifikasi yang kemudian menjadi undan-undang menjadi bukanlah satu-satunya sumber hukum (legisme), karena kodifikasi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul kemudian, selain itu yurisprudensi juga mempunyai tempat yang penting dalam sistem hukum Belanda.
Jadi, Sistem Hukum Belanda menganut sistem kodifikasi sebagaimana juga kita mengenalnya dengan beberapa kitab, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Peraturan Kepailitan. Sistematika yang dipakai merupakan adopsi dari hukum Napoleon.
Burgerlijk Wetboek (BW) merupakan Kodifikasi dari hampir keseluruhan aturan mengenai hubungan pribadi dengan pribadi. BW ini dibuat berdasarkan system konkordansi sejak pemerintahan Napoleon di Perancis. Sebelum dilakukan kodifikasi, setiap wilyah di Belanda memiliki aturannya masing-masing yang sebagian besar mengacu pada aturan Roma. Tidak ada kesatuan hukum. Namun hal ini tidak bertahan lama karena setiap aturan tidak mampu mengikuti dinamisme perkembangan pemerintahan dan politik. Pada tahun 1531, Charles V, Raja Spanyol di Belanda, memerintahkan agar dilakukan suatu kodifikasi dari hukum-hukum yang berlaku di masyarakat untuk membentuk suatu unifikasi hukum. Perintah tersebut lah merupakan awal dibentuknya BW yang memakan waktu cukup lama hingga akhirnya disahkan oleh Parlemen Belanda pada tahun 1838.
Sejak terbentuk, pada tahun 1838, Burgerlijk Wetboek telah mengalami beberapa kali amandemen dan reformasi besar pada tahun 1992 mengikuti pergerakan hukum dengan dinamismenya. Tetapi penerapan di Indonesia, sebagai konsekuensi logis dari asas konkordansi, masih tetap menggunakan BW yang dibuat pada tahun 1838 (kecuali dicabutnya aturan mengenai Hipotik dan beberapa perubahan pada pasal-pasal sebagai konsekuensi dari lahirnya UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria di Indonesia) dan masih dapat mencakup hampir keseluruhan aspek yang diperlukan oleh masyarakat Indonesia. Setiap pasal dalam BW membahas secara detail mengenai aturan yang membatasi setiap hubungan antar individu. Meskipun BW ini bersifat terbuka yakni dapat membuat aturan baru selama tidak bertentangan dengan undang-undang; ketertiban umum; dan kesusilaan, seperti halnya diatur dalam pasal 1338 BW, namun tetap melindungi dan memberikan batasan hubungan individu sampai hal terkecil. Kita ambil contoh aturan mengenai batas pekarangan sehingga apabila terjadi suatu hal, dapat diketahui konsekuensi hukumnya. Hal ini lah yang membuat saya benar-benar kagum. Bagaimana bisa orang-orang pada tahun 1800 membuat aturan sedetail itu yang masih dapat mengikuti dinamisme dan perkembangan zaman hingga saat ini.
Selain itu, berdirinya Peradilan Internasional seperti Mahkamah Internasional, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, International Criminal Justice serta International Criminal Court di Belanda juga membuat saya semakin kagum karena membuktikan bahwa system peradilan mereka, terutama Criminal Justice System, diakui secara Internasional.
Ada asumsi bahwa hukum Belanda sama dengan hukum prancis. Padahal setiap negara mempunyai karakter hukum masing-masing. Di Prancis, Gereja tidak punya hak atas tanah dan hak atas tanah dijadikan uniform. Sedangkan di Belanda, gereja memiliki hak atas tanah yang mutlak. Sejarah Prancis dimana pemerintah sangat kuat dan masyarakat berlapis lapis maka parlemen dan peradilan menjadi perwakilan dan alat dr negara yang abusif. Sebaliknya di belanda peradilan adalah alat masyarakat dalam mendukung ekonomi dan perdagangan.
Pengadilan Belanda lebih mengutamakan kepastian hukum dan peradilan menjadi identitas wilayah. Belanda mengutamakan organisasi masyarakat, sedangkan di Prancis atau portugal organisasi masyarakatnya sangat lemah. Pelaksanaan sistem hukum di Belanda lebih mirip dengan di Inggris. Sedangkan di Perancis, hakimnya kurang mendapat kepercayaan karena trauma sejarah bahwa sistem peradilan adalah sistem yang mengokohkan kekuasaan penguasa.
Sebaliknya, kondisi di Belanda, hakim merupakan profesi yang mendapatkan kepercayaan dari publik. Bahkan dalam pelaksanaan putusan di belanda dilakukan oleh juru sita yang bersifat otonom dan pengadilan tidak berhubungan sama sekali dg pelaksanaan putusan. Sampai batas nilai 25ribu euro, juru sita bisa mengambil tindakan apapun atas pelaksanaan putusan. Namun setiap minggu juru sita harus melaporkan tentang harta kekayaan dan laporan2 lainnya. Termasuk harta kekayaan istri dan anaknya. Sementara di banyak negara pelaksanaan putusan dipegang oleh pengadilan. Jika pelaksanaan putusan tidak sesuai dengan panduan pengadilan maka juru sita harus selalu meminta petunjuk pada pengadilan.

D. Sistem Hukum Perancis
Menurut Soenaryati (1986 : 108) secara kronologis perkembangan Hukum di Prancis adalah sebagai berikut:
Prancis adalah salah satu Negara di Eropa Kontinental yang meresepsi Hukum Romawi. Sebelum adanya unifikasi hukum oleh Kaisar Napoleon Bonaparte, Hukum yang berlaku di Perancis bermacam-macam yaitu hukum Germania (Jerman) dan hukum Romawi. Di bagian utara dan tengah berlaku hukum lokal (pays de droit coutumier) yakni hukum kebiasaan Perancis kuno yang berasal dari hukum Jerman, sedangkan pada daerah selatan yang berlaku adalah hukum Romawi (pays de droit ecrit) yakni telah dikodifikasi dalam Corpus Juris Civils dari Kaisar Romawi Justinian I. Di samping hukum perkawinan adalah hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik ialah hukum Kanonik dalam Codex Iuris Canonici dan berlaku di seluruh Perancis.
Dengan berlakunya berbagai hukum tersebut, maka di Perancis dirasakan tidak adanya kepastian hukum dan kesatuan hukum. Oleh karena itu timbul kesadaran akan pentingnya kesatuan hukum/unifikasi hukum. Unifikasi hukum ini akan dituangkan ke dalam suatu buku yang bernama Corpus de lois Gagasan unifikasi hukum ini sesungguhnya telah timbul sejak abad XV (Raja Louis XI) yang kemudian dilanjutkan oleh berbagai parlemen propinsi pada abad XVI dan para ahli hukum seperti Charles Doumolin (1500 1566), Jean Domat (1625 1696), Robert Joseph Pothier (1699 1771), dan Francois Bourjon.
Namun pada akhir abad XVIII dapat diterbitkan tiga buah ordonansi mengenai hal-hal yang khusus dan yang diberi nama ordonansi daguesseau. Ordonansi yang dimaksud adalah Lordonance sur les donations (1731), Lordonance sur les testaments (1735), dan Lordonance sur les substituions fideicommisaires (`1747).
Tanggal 21 Maret 1804 terwujudlah kodifikasi Perancis dengan nama Code Civil des Francais yang diundangkan sebagai Code Napoleon pada tahun 1807. Kodifikasi hukum ini merupakan karya besar dari Portalis selaku anggota panitia pembentuk kodifikasi hukum tersebut, selain itu kodifikasi hukum ini merupakan kodifikasi hukum nasional yang pertama dan terlengkap serta dapat diterapkan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada. Sehingga pada saat itu timbulah paham Legisme dengan mottonya Di luar undang-undang tidak ada hukum.
Sumber hukum kodifikasi tersebut merupakan campuran asas-asas hukum Jerman dan hukum Gereja (hukum Kanonik) yaitu hukum kebiasaan (coutumes), terutama kebiasaan Paris (coutume de Paris), ordonansi-ordonansi Daguesseau, tulisan-tulisan dari pakar hukum seperti Poithier, Domat, dan Bourjon, serta hukum yang dibentuk sejak revolusi Perancis sampai terbentuknya kodifikasi hukum tersebut.
Dari uraian tersebut di atas dapat dikatakan bahwa di negara Perancis yang semula memberlakukan bermacam-macam hukum dengan berbagai tahap, akhirnya pada tahun 1807 dapat memproklamirkan/diundangkan buku Code Civil des Francais atau Code Napoleon yang merupakan kodifikasi hukum yang pertama di dunia.
Perancis menggunakan sebuah sistem hukum sipil; yang berarti, hukum berasal dari peraturan tertulis, oleh sebab itu hakim tidak membuat hukum, tapi mengartikannya (meskipun jumlah penerjemahan hakim dalam beberapa hal menjadikannya sama dengan hukum kasus). Prinsip dasar peraturan hukum tercantum dalam Kode Napoleon. Dalam perjanjian dengan prinsip Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara hukum seharusnya hanya mlarang aksi yang merugikan masyarakat. Seperti Guy Canivet, presiden pertama Mahkamah Kasasi, menulis mengenai pengelolaan penjara:
Kebebasan adalah peraturan, dan larangannya adalan pengecualian; larangan kebebasan apapun harus dibuat oleh Hukum dan harus mengikuti prinsip kewajiban dan perbandingan.
Berarti, Hukum harus mengeluarkan larangan hanya apabila dibutuhkan, dan bila ketidaknyamanan disebabkan oleh larangan ini tidak melebihi ketidaknyamanan yang diwajibkan larangan untuk pemulihan. Dalam praktik, tentunya, ideologi ini sering gagal ketika hukum dibuat.
Hukum Perancis terbagi menjadi dua bagian utama: hukum pribadi dan hukum umum. Hukum pribadi meliputi, biasanya, hukum sipil dan hukum kriminal. Hukum umum meliputi, hukum administratif dan hukum konstitusional. Tetapi, dalam praktik, hukum Perancis terdiri dari tiga bagian utama: hukum sipil, hukum kriminal dan hukum administratif.
Perancis tidak mengakui hukum agama, ataupun pengakuan keyakinan religius atau moralitas sebagai motivasi untuk penetapan larangan. Sebagai konsekuensi, Perancis tidak lagi memiliki hukum pengumpatan atau hukum sodomi (terakhir dihapus tahun 1791). Tetapi “serangan terhadap kesusilaan umum” (contraires aux bonnes murs) atau perusak perdamaian (trouble l’ordre public) telah digunakan untuk menekan kembali ekspresi publik atas homoseksualitas atau prostitusi jalanan.

Kesimpulan
Sistem yang dianut oleh Negara-negara Eropa Kontinental khususnya Belanda dan Prancis yang didasarkan atas hukum Romawi disebut sebagai sistem Civil law.
Disebut demikian karena Hukum Romawi pada mulanya bersumber kepada karya agung Kaisar Iustinianus Corpus Iuris Civilis. Sistem Civil Law dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental sehingga kerap disebut juga sistem kontinental.
Sistem Hukum Eropa Kontinental awalnya diterapkan pada masa Romawi, kemudian dimasukkan ke dalam sistem hukum di negara-negar Eropa Barat, seperti Jerman, Perancis dan di negara-negara jajahannya seperti Belanda, Belgia dan sebagainya.
Ciri-cirinya :
1. Membedakan secara tajam antara hukum perdata dan hukum publik
2. Membedakan antara hak kebendaan dan perorangan
3. Menggunakan kodifikasi
4. Keputusan hakim terdahulu tidak mengikat
Seperti yang berlaku di negara-negara Eropa yang lebih mementingkan kodifikasi, ilmu hukum kontinental ini sangat dipengaruhi oleh hukum Romawi. Sering dikenal juga sebagai sistem hukum Civil Law. Sebagian besar negara-negara Eropa daratan dan daerah bekas jajahan atau koloninya; ex: Jerman, Belanda, Perancis, Italia, negara-negara Amerika Latin dan Asia.
Berkembang di negara-negara Eropa (istilah lain Civil Law = hukum Romawi). Dikatakan hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di Kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527-565 M). Kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut Corpus Juris Civilis (hukum yang terkodifikasi).
Corpus Juris Civilis dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda). Artinya adalah menurut sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai daar berlakunya hukum dalam suatu negara.
Hukum sipil dapat didefinisikan sebagai suatu tradisi hukum yang berasal dari Hukum Romawi yang terkodifikasi dalam Corpus Juris Civilis Justinian dan tersebar keseluruh benua Eropa dan seluruh Dunia. Kode sipil terbagi ke dalam dua cabang, yaitu Hukum Romawi yang terkodifikasi dan Hukum Romawi yang tidak dikodifikasi.
Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim tidak terikat kepada presiden sehingga Undang-undang menjadi sumber hukum yang terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial. Bentuk-bentuk sumber hukum dalam arti formal dalam sistem hukum Civil Law berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi.
Peraturan perundang-undangan mempunyai dua karakteristik, yaitu berlaku umum dan isinya mengikat keluar. Sifat yang berlaku umum itulah yang membedakan antara perundang-undangan dan penetapan. Penetapan berlaku secara individual tetapi harus dihormati oleh orang lain.
Hukum Romawi-Jerman merupakan hukum yang berlaku di Eropa Kontinental yaitu negara-negara yang dahulunya mengikuti hukum Romawi. Ciri-ciri daripada hukum Romawi-Jerman ini adalah terbaginya hukum ini ke dalam dua kelompok hukum yaitu Pertama, hukum yang mengatur kesejahteraan masyarakat dan kepentingan umum. Kedua, hukum yang mengatur hubungan perdata (hubungan antar perorangan).
Terbentuknya hukum Romawi-Jerman ini di Eropa daratan itu disebabkan oleh beberapa faktor yakni :
1. Terjadinya penjajahan negara-negara di Eropa Kontinental oleh bangsa Romawi,
2. Karena bangsa di Eropa Kontinental menganggap hukum Romawi lebih sempurna,
3. Banyaknya mahasiswa yang mempelajari hukum Romawi di Italia yang setelah kembali menerapkan hukum tersebut di negaranya sendiri,
4. Universitas di Jerman mempunyai peran yang besar dalam mengembangkan serta menyebarluaskan hukum romawi di Eropa Kontinental.
Oleh karenanya, negara-negara di Eropa Kontinental yang semula menggunakan hukum kebiasaan meresepsi hukum Romawi sehingga hukumnya sendiri menjadi lenyap.
Di negara Perancis yang semula memberlakukan bermacam-macam hukum dengan berbagai tahap, akhirnya pada tahun 1807 dapat memproklamirkan buku Code Civil des Francais atau Code Napoleon yang merupakan kodifikasi hukum yang pertama di dunia.
Perkembangan hukum di Belanda adalah mula-mula berdasar pada kodifikasi yang kemudian menjadi undang-undang menjadi bukanlah satu-satunya sumber hukum (legisme), karena kodifikasi tidak dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul kemudian, selain itu yurisprudensi juga mempunyai tempat yang penting dalam sistem hukum Belanda.

E. Sistem Peradilan Pidana Terpadu di Indonesia
Sistem peradilan pidana di Indonesia sebagaimana diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) atau Undang-undang No.8 tahun 1981, sebenarnya identik dengan penegakan hukum pidana yang merupakan suatu sistem kekuasaan/kewenangan dalam menegakkan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pidana ini sesuai ketentuan dalam KUHP dilaksanakan oleh 4 sub sistem yaitu :
1. Kekuasaan Penyidikan oleh Lembaga Kepolisian.
2. Kekuasaan Penuntutan oleh Lembaga Penuntut Umum atau Kejaksaan.
3. Kekuasaan mengadili oleh Badan Peradilan atau Hakim.
4. Kekuasaan pelaksanaan hukuman oleh aparat pelaksana eksekusi (jaksa dan lembaga pemasyarakatan).
Keempat subsistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah integrated criminal justice system atau sistem peradilan pidana terpadu. Menilik sistem peradilan pidana terpadu yang diatur dalam KUHAP maka keempat komponen penegakan hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan seharusnya konsisten menjaga agar sistem berjalan secara terpadu. Dengan cara melaksanakan tugas dan wewenang masing-masing sebagaimana telah diberikan oleh Undang-undang. Karena dalam sistem Civil Law yang kita anut, Undang-undang merupakan sumber hukum tertinggi. Karena disana (dalam Hukum Acara Pidana) telah diatur hak dan kewajiban masing-masing penegak hukum dalam subsistem peradilan pidana terpadu maupun hak-hak dan kewajiban tersangka/terdakwa.

Referensi :
1. http://wahidabdurahman.blogdetik.com/?p=10#more-10, diakses pada hari Kamis, 28 Agustus 2014, pukul 21.00Wib.

2. http://ilmu-hukum-indonesia.blogspot.com/2010/08/hukum-pidana-perbandingan.html, diakses pada hari Kamis, 28 Agustus 2014, pukul 21.20Wib.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Flickr Images

Formulir Kontak