featured tulisan

Pemilihan Kepala Daerah Serentak: Praktik dan Potensi Konflik

06.19handreasstik66

Oleh : Arif Wibowo[1]
Pemilihan Kepala Daerah Negara-Negara di Dunia
Kepala Daerah merupakan  salah satu jabatan politik yang biasanya di hampir semua negara pengisiannya dilakukan dengan cara dipilih langsung oleh rakyat. Di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin, pemilihan kepala daerah dikenal dengan istilah local election atau regional election[2], kecuali Australia dan Kanada yang menggunakan istilah Local Goverment Election.[3] Walaupun menggunakan istilah berbeda, baik local election, regional election maupun local goverment election ketiganya merujuk pada pemilihan secara langsung.
Baik di negara-negara federal (federal states) maupun di negara-negara kesatuan (unitary states) semua kepala daerahnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebab di kedua negara tersebut walaupun bentuk negaranya berbeda namun pemerintah daerahnya berbentuk sama yaitu sama-sama sebagai daerah otonom sebagai konsekuensi dari praktik desentralisasi. Memang lazimnya desentralisasi politik (political dezentralition) sebagai wujud penyerahan urusan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam rangka percepatan pelayanan publik lebih populer di negara-negara kesatuan karena bentuk kedaulatannya tunggal. Pemerintah pusat adalah satu-satunya penyelenggara pemerintahan dan daerah adalah bagian dari pemerintah pusat. Untuk mempercepat pembangunan karena luasnya wilayah administrasi, pemerintah pusat lalu menyerahkan sebagian urusannya kepada daerah yang kemudian dikenal dengan istilah desentralisasi. Namun praktik ini juga terjadi di negara berbentuk federal, misalnya Amerika Serikat. Setiap negara bagian juga memiliki pemerintah daerah. Dan negara-negara bagian tersebut juga menerapkan desentralisasi kepada pemerintah daerahnya dalam rangka percepatan pembangunan. Perbedaan pokoknya sangat sederhana, jika negara federal pemerintahnnya terpola ke dalam 3 (tiga) struktur tingkatan yaitu pemerintah federal, pemerintah negara bagian dan daerah otonom, sedangkan negara kesatuan terpola ke dalam 2 (dua) struktur tingkatan yaitu pemerintah pusat dan daerah otonom.[4]
Perbedaannya hanya terletak apakah pemilihan kepala daerah tersebut dilaksanakan secara serentak atau secara sendiri-sendiri. Untuk pilkada serentak praktiknya dilakukan di negara-negara Amerika Latin khususnya Brazil dan Filipina. Di Brazil maupun Filipina pemilihan kepala daerahnya sama-sama diserentakkan dengan pemilihan presiden dan pemilihan anggota parlemen nasional dan lokal. Perbedaannya hanya terletak ditujuannya saja. Jika di Brazil tujuan utamanya adalah dalam rangka penguatan sistem presidensial sementara di Filipina adalah dalam rangka efisiensi biaya penyelenggaraan Pemilu. Penguatan sistem presidensial sebagai tujuan utama keserentakan di Brazil karena keserentakan tersebut membawa coattail effect (efek mengikuti jejak) dimana pemilih cenderung akan ikut memilih parpol dan kepala daerah pendukung presiden pilihannya. Dengan demikian dari pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, dari parlemen nasional sampai parlemen lokal bersifat congruent (senafas) sehingga penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan stabil.[5] Sementara di Filipina keserentakan tersebut dapat mereduksi biaya penyelenggaraan pemilu khususnya pasca rejim Ferdinand Marcos.[6]
Sepintas tentang Metode Pengisian Jabatan
Jika mengkaji metode pengisian jabatan sebagai alat untuk membantu dalam membedah metod pengisian jabatan kepala daerah, rujukan referensi akan mengarah pada pendekatan Logeman, karena selain jabarannya yang lengkap, juga penelitiannya didasarkan pada pemerintahan di Belanda dan Hindia Belanda, yang kemudian teori jabatan Logeman tersebut diikuti oleh sarjana-sarjana Indonesia seperti Harun Alrasid dan Bagir Manan.
Penelitian Logeman dalam hukum tata negara Hindia Belanda, pengisian jabatan dipraktikkan dalam beberapa cara, diantaranya pewarisan, pengangkatan, pemilihan, dan pemangkuan karena jabatan (ex officio). Metode lain adalah dengan cara undian, penggantian giliran menurut susunan tingkatan tertentu, juga bentuk campuran seperti pewarisan melalui pemilihan sebagaimana dikenal di Belanda. Bagi pengangkatan oleh suatu majelis sering dipakai isitilah pemilihan namun dalam peraturan pemilihan acapkali dipakai istilah pengangkatan.[7] Jika mengacu kepada Harun Alrasid, pengisian jabatan dapat dilakukan dengan  cara pengangkatan, pemilihan, pewarisan yang sifatnya turun menurun, penggiliran atau rotasi, pemangkuan karena jabatan (ex officio) dan lain sebagainya.[8] Diperkuat Bagir Manan, berdasarkan kriteria pertanggungjawaban, pengisian jabatan dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: pengisian jabatan dengan pemilihan; pengisian jabatan dengan pengangkatan, pengisian jabatan yang sekaligus mengandung pengangkatan dan pemilihan (yang berfungsi sebagai pernyataan dukungan).[9]
Dari berbagai varian metode pengisian jabatan tersebut pada dasarnya hanya ada 2 (dua) pilihan yakin pengisian jabatan dibuat dengan menggantungkan pada persetujuan kehendak rakyat atau tidak tergantung pada kehendak rakyat.[10]
Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

Jika melihat sistem pengisian jabatan Kepala Daerah (dan Wakil Kepala Daerah) dalam sejarah pemerintahan Indonesia ternyata tidak serta merta dipilih secara langsung oleh rakyat. Pengisian jabatan pernah dilakukan dengan cara pengangkatan, penetapan, pemilihan tidak langsung dan pemilihan secara langsung. Setidaknya terdapat 6 (enam) periodesasi pengisian jabatan yang berbeda.

Periodesasi pertama, pengisian jabatan dengan pengangkatan. Pada masa awal pemerintahan Indonesia, pengisian jabatan kepala daerah dilakukan dengan pengangkatan, Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dan Kepala Daerah Kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.[11]

Periodesasi Kedua, pengisian jabatan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden untuk Gubernur dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Bupati/Walikota.[12] Sedangkan pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah hanya berlaku untuk daerah istimewa.

Periodesasi ketiga, pengisian jabatan kembali melalui pengangkatan, Kepala Daerah Provinsi oleh Presiden, Kepala Daerah Kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri atas usulan DPRD.  Pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah dilakukan dengan cara yang sama, diambil 2 (dua) sampai 4 (empat) orang diantara anggota DPRD[13].

Periodesasi keempat, pengisian jabatan Kepala Daerah yang dicalonkan dan dipilih oleh DPRD, akan tetapi DPRD harus memilih minimal 2 (dua) orang untuk ditetapkan oleh Presiden untuk Kepala Daerah TK I dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah TK II. Sedangkan untuk pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah diangkat dari PNS yang memenuhi persyaratan, tanpa melalui pemilihan oleh Presiden untuk daerah TK I dan oleh Menteri Dalam Negeri, dengan persetujuan DPRD.[14]

Periodesai Kelima, pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bersamaan melalui pemilihan oleh DPRD.[15]

Periodesasi keenam, pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah melalui pemilihan langsung oleh rakyat.[16]

Babak baru pengisian jabatan Kepala Daerah dilakukan melalui pilkada (pemilihan Kepala Daerah) serentak saat ini adalah periode ke-7 dalam sejarah pengisian jabatan Kepala Daerah di Indonesia melalui terbitnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang.

Pasal 1 angka 1 Undang-undang menyatakan bahwa Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”.  Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.  Kedua Pasal di atas menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia.

Pemerintah dan DPR RI mencapai kesepakatan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang. UU terbaru tersebut juga telah mengatur sekaligus menetapkan jadwal penyelenggaraan Pilkada secara langsung dan serentak sebagai norma hukum serta dilakukan secara bergelombang sebagai berikut :
1.    Pilkada serentak gelombang pertama pada Desember 2015 untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan pada semester pertama tahun 2016.
2.   Pilkada serentak gelombang kedua pada  Februari 2017 untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada semester kedua tahun 2016 dan yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2017.
3.     Pilkada serentak gelombang ketiga pada Juni 2018 untuk Kepala Daerah yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019.
4.  Pilkada serentak gelombang keempat pada 2020 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan Desember tahun 2015.
5.   Pilkada serentak gelombang kelima pada 2022 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan pada Februari tahun 2017.
6.    Pilkada serentak gelombang keenam pada 2023 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan tahun 2018.
7.     Dilakukan Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2027.
Pilkada serentak Nasional di 541 daerah otonom (baik Provinsi, Kabupaten dan Kota) akan dilaksanakan pada Tahun 2027.  Menuju Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2027 akan dimulai dengan 3 (Tiga) gelombang yaitu 9 Desember 2015, Februari 2017 dan Juni 2018, dengan rincian sebagai berikut :

Periode Pilkada Serentak
Provinsi
Kabupaten
Kota
Jumlah
9 Desember 2015
9
224
36
269
Februari 2017
7
76
18
101
Juni 2018
17
115
39
271
Jumlah
33
415
93
541

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, KPU adalah lembaga yang ditunjuk Undang-undang untuk menyelenggarakan Pilkada serentak.  Berdasarkan hukum KPU-lah yang kemudian memiliki kewenangan, tugas dan tanggungjawab mengatur hal-hal teknis pelaksanaan pilkada serentak di Indonesia.

Melalui Peraturan KPU, KPU mengatur dan melaksanakan hal-hal teknis  tahapan Pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia.  Adapun peraturan teknis yang krusial terkait Pilkada serentak 2015 yang sudah diterbitkan KPU adalah sebagai berikut :
  1.  PKPU Nomor 2 Tahun 2015 – Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
  2. PKPU Nomor 4 Tahun 2015 – Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
  3. PKPU Nomor 5 Tahun 2015 - Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
  4. PKPU Nomor 7 Tahun 2015 - Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
  5. PKPU Nomor 8 Tahun 2015 – Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
  6. PKPU Nomor 9 Tahun 2015 – Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
  7. PKPU Nomor 10 Tahun 2015 - Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
  8. PKPU Nomor 11 Tahun 2015 - Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
  9. PKPU Nomor 12 Tahun 2015 - Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Tahapan Pilkada serentak Tahun 2015

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, KPU memiliki kewenangan untuk menetapkan rincian tahapan yang secara garis besar ditentukan dalam Pasal 5 Undang-undang tersebut.  Melalui Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota KPU menetapkan Tahapan krusial Pilkada serentak 2015 sebagai berikut :

No.
Tahapan
Waktu
1.
Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih
24 Juni 2014 s/d 2 Oktober 2015
2.
Pendaftaran Paslon sampai dengan penetapan Paslon
26 Juli s/d 24 Agustus 2015
3.
Sengketa TUN
24 Agustus s/d 17 Nopember 2015
4.
Kampanye
27 Agustus s/d 5 Desember 2015
5.
Masa Tenang
6 s/d 8 Desember 2015
6.
Pengadaan dan Pendistribusian Logistik Pilkada serentak
5 Oktober s/d 8 Desember 2015
7.
Pemungutan dan Penghitungan Suara
9 Desember 2015
8.
Rekapitulasi Hasil Penghitungan suara


-      PPK (tingkat Kecamatan)
10 s/d 16 Desember 2015

-      KPU Kabupaten/Kota
16 s/d 18 Desember 2015

-      KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur
18 s/d 19 Desember 2015
9.
Penetapan pasangan calon terpilih


-       Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota
21-22 desember 2015




-       Gubernur dan Wakil Gubernur
22-23 Desember 2015
10.
Sengketa Hasil Pemilihan (sejak pendaftaran s/d putusan)
18 desember s/d 12-13 Februari 2015
11.
Penetapan Pasangan calon terpilih Pasca Putusan MK


-      Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota
12-13 Februari 2015

-      Gubernur dan Wakil Gubernur
13-14 februari 2015

Tahapan-tahapan krusial di atas menjadi titik pijak bagi semua stakeholder pilkada dan terutama pihak Kepolisian Negara RI dalam rangka pengamanan wilayah dengan segala kemungkinan potensi konflik dilapangan.

Tahap Pilkada serentak 2015 sudah memasuki tahapan Kampanye setelah sebelumnya KPU menetapkan Pasangan Calon yang dinyatakan lolos pada tahap verifikasi pencalonan.

Berdasarkan Data KPU RI, Pilkada serentak 2015 diikuti pasangan calon sebagai berikut.[17]

Wilayah
jumlah
Perseorangan
Parpol
Jumlah
Provinsi
9
1
19
20
Kabupaten
221
114
577
691
Kota
36
20
90
110
Total Paslon
266
135
586
821

Adapun 3 dari 269 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak 2015 belum melakukan penetapan karena hanya memiliki pasangan calon tunggal yaitu : (1). Kabupaten Blitar, Jawa Timur, (2). Kabupaten Timur Tengah Utara, NTT dan (3). Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Namun demikian, berdasarkan putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 untuk ketiga daerah tersebut akhirnya dapat dilangsungkan pilkada, tanpa perlu ditunda hingga tahun 2017.

Potensi masalah Pilkada serentak 2015

Secara umum, potensi permasalahan Pilkada serentak 2015 tidak jauh berbeda dengan pilkada sebelumnya.  Dengan demikian masalah yang dialami pada saat pilkada sebelum dilakukan secara serentak berpotensi sama serta berulang dalam Pilkada serentak 2015.  Kurang lebih potensi masalah pilkada serentak adalah sebagai berikut :

1.       Perubahan Regulasi yang berkejaran dengan Tahapan   

Masalah regulasi ini mencakup semua aspek baik Undang-Undang, Peraturan KPU maupun Putusan MK yang mau tidak mau berkonsekuensi mengubah aturan teknis pelaksanaan Pilkada serentak 2015

Setidaknya ada 5 (lima) Putusan MK yang mempengaruhi pelaksaan teknis Pilkada serentak 2015.  Beberapa pasal dalam Undang-undang  Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai UU yaitu :

No.
Pasal UU 8 Tahun 2015
Inti Amar Putusan MK
1.
Pasal 7 huruf r
Tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tanggal 8 Juli 2015 menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD Tahun 1945 & tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
2.
Pasal 7 huruf s
Memberitahukan pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota & Wakil Walikota kepada Pimpinan DPR bagi anggota DPR, kepada Pimpinan DPD bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tanggal 8 Juli 2015 menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota bagi anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD
3.
Pasal 7 huruf g
Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015 menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD Tahun 1945 & tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana
4.
Pasal 7 huruf t
Mengundurkan diri sebagai anggota TNI, Polri, dan PNS sejak mendaftarkan diri sebagai calon
Pasal 7 huruf u
Berhenti dari jabatan pada BUMN atau BUMD sejak ditetapkan sebagai calon



Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli 2015 menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD Tahun 1945 & tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota
5.
Pasal 49 Ayat (9), Pasal 50 Ayat (9), pasal 51 Ayat (2) dan pasal 52 Ayat (2).
Dalam putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015, pasal-pasal tersebut menjadi pasal kondisional bersyarat dan demi hukum menjadi dasar bagi penetapan pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak. 

Putusan-putusan MK di atas, secara yuridis dan sosiologis secara nyata berdampak pada pelaksanaan tahapan pilkada serentak dilapangan, baik dalam arti positif maupun negatif.

Yang patut dicermati adalah munculnya masalah akibat ketidaksempurnaan regulasi (UU maupun PKPU) sehingga berpotensi memicu konflik yang tidak mampu diakomodir secara damai, terutama terkait masalah pencalonan yang disertai isu politik uang.

2.   Masalah teknis administrasi data pemilih sebagai dasar bagi pelaksanaan Pilkada serentak yang bersih dan demokratis.

Masalah daftar pemilih dalam setiap penyelenggaraan pilkada maupun pemilu selalu sama yang meliputi sumber data, pemutakhiran data yang tidak optimal hingga selalu memunculkan data ganda dan pemilih yang tidak terdapat dalam data pemilih yang berpotensi digunakan sebagai instrumen kecurangan dan atau bahkan ada kesengajaan membuat “data pemilih siluman”Kecurangan dengan menggunakan data pemilih secara tehnis hanya mungkin dilakukan oleh paslon petahana bekerjasama dengan penyelenggara.

3.       Masalah Pencalonan

Masalah pencalonan selalu menjadi isu sentral dalam setiap pilkada.  Dalam Pilkada serentak 2015 isu pencalonan bersifat politis yang muncul terkait konflik kepengurusan internal partai maupun langkah politik pragmatik partai atau gabungan partai dalam rangka menjegal paslon lainnya dengan memanfaatkan celah hukum yang ada.

Secara faktual, isu pecalonan, terutama fenomena calon tunggal tidak jarang berkait dengan penyelenggara. Pada konteks ini, independensi penyelenggara dipertaruhkan. Tak pelak, konpromi politik lantas tak terhindarkan yang tercermin oleh adanya “perlakuan khusus terhadap paslon tertentu” pada tahap pendaftaran pasangan calon. 

Masalah calon tunggal yang baru saja diputuskan oleh MK setelah penetapan pasangan calon bersamaan dengan berlangsungnya masa kampanye tentu berpotensi memantik masalah politik baru terkait pengaturan kampanye.

Penting untuk digarisbawahi bahwa sengketa pencalonan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara damai berpotensi memicu konflik kekerasan antar pendukung kandidat dengan penyelenggara.

4.       Masalah Politik Uang

Masalah penegakan hukum terhadap politik uang selalu menjadi masalah yang sama dalam setiap penyelenggaraan pilkada dan bahkan pemilu.  Selain aturan yang lemah, secara sosiologis dan politis, politik uang agaknya dianggap sebagai kelaziman, diperlakukan secara permisif sebagai konsekuensi sistem demokrasi berbasis pemilihan langsung dengan suara terbanyak.

5.   Masalah Penggunaan Fasilitas jabatan serta pengerahan dukungan PNS yang berpotensi menimbulkan konflik di lapangan.

Kompas pernah melansir nama-nama Petahana yang akan bertarung dalam Pilkada serentak 2015 yang bersumber dari website KPU.  Setidaknya ada 125 pasangan calon Petahana yang memiliki potensi menggunakan jabatannya untuk memenangkan pertarungan politik dalam Pilkada Serentak.[18]

6.       Masalah konflik dan kekerasan

Secara umum konflik dan kekerasan dalam pilkada selalu bersumber dari ketidakpuasan kandidat dan atau pendukungnya terhadap kinerja penyelenggara terutama pada tahapan pencalonan dan penetapan hasil pemilihan.  Konflik dan kekerasan terjadi karena pasangan calon merasa diperlakukan “tidak adil”.  Isu pemicunya biasanya adalah pembiaran terhadap politik uang dan keterlibatan aparatus pemerintah yang mendukung pasangan calon petahana sebagai salah satu kontestan.

Terkait potensi konflik dan kekerasan, patut diberikan perhatian khusus bagi daerah-daerah sebagai berikut :
-          Daerah yang memiliki riwayat kekerasan tinggi;
-       Daerah dimana para petahana bertarung berhadapan maupun melawan non petahana, terutama yang sebelumnya pernah dikalahkan
-          Daerah dimana hanya ada 2 (dua) pasangan calon.

7.       Masalah Sengketa Hasil Pemungutan Suara di MK

Ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 2015 mengamanatkan penyelesaian perkara perselisihan penetapan perolehan suara hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus.

Seakan menjadi “ konsensus dan tradisi ” bagi setiap kontestan pilkada bahwa muara ketidakpuasan politik adalah dengan bersengketa di MK.  Membayangkan MK memeriksa dan mengadili kemungkinan ratusan permohonan perselisihan penetapan suara hasil pilkada di 269 daerah dengan hasil yang adil dan demokratik pasti tidaklah mudah. 

Berkaca dari pengalaman masa lalu besar harapan diletakkan dipundak MK agar mampu memutus perkara dengan adil dan demokratik agar tidak terulang kasus Pilkada Kotawaringin Barat dan Bali. Kita semua tentu tidak menginginkan betapa konflik dan kekerasan justeru hadir paska terbitnya putusan MK terkait sengketa hasil. Untuk itu MK seyogyanya konsisten pada norma-norma yang telah ditentukan oleh UU bahwa yang diadili dan diputus adalah perselisihan hasil, bukan yang lain.
 
8.       Independensi Penyelenggara

Penyelenggara Pilkada serentak adalah KPU beserta jajarannya serta Bawaslu dan jajarannya sebagaimana diatur oleh UU. Derajad independensi penyelenggara akan sangat menentukan apakah konflik bakal manifes atau tidak pada setiap tahapan Pilkada serentak 2015 ini. Semakin tinggi derajad independensi penyelenggara, maka akan menghindarkan kemungkinan munculnya konflik dan kekerasan, begitu pula sebaliknya.

Penutup

Meneropong berbagai masalah yang mungkin timbul dalam pilkada serentak 2015, kita dapat berpijak dari pengalaman setiap penyelenggaraan pilkada dan pemilu sebelumnya. Masalah yang sama senantiasa muncul berulang, dan biasanya muncul pada tahap pencalonan dan penetapan hasil pemilihan. 

Kunci utama agar setiap daerah dapat melaksanakan Pilkada serentak 2015 dengan sukses, lancar dan tanpa kekerasan terutama adalah sangat tergantung pada derajad independensi penyelenggara, berikut penegakkan aturan dalam pelaksanaannya.  Selebihnya sukses berikut aman tidaknya pilkada serentak tidak mungkin tercapai tanpa kerja cerdas, managable,  dan kerja keras bahu membahu antar seluruh stakeholder pilkada, baik KPU dan Bawaslu beserta jajarannya, para pasangan calon, pemerintah dan pemerintah daerah, partai-partai, aparat keamanan maupun masyarakat itu sendiri.




[1] Anggota Komisi II  dan Badan Legislasi DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan
[2] Lihat Andrew Coulson dan Adrian Campbell, Local Government in Central and Eastern Europe: The Rebirth of Local Democracy Books(London: Routlege, 2008) dan lihat LCC, 2005 Elections in Europe: Portuguese Local Election, 2005, Polish Parliamentary Election, 2005, Danish Parliamentary Election 2005 (General Books LLC, 2010).
[3] Lihat Report for the South Australian Local Government Elections May 2003 (South Australian Government - State Electoral Office, 2003).
[4] Bhagat and Butiong, Federal Versus Unitary, http://www.lewishistoricalsociety.com/wiki/tiki-print_article.php?articleId=136, diunduh 4 Oktober 2015.
[5] Lihat Scott Mainwaring (1), Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy: The Case of Brazil (Helen Kellogg Institute for International Studies, University of Notre Dame, New York: 1992)
[6] Lihat Jennifer Conroy Franco, Election and Democratization in Phillippines (London: Routlege, 2001).
[7] JHA Logman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara  Positif. Edisi Terjemahan, Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru-Van Hoeve. Hal.130
[8] Harun Alrasid, Pengisian Jabatan Presiden, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti), hal.5
[9] Bagir Manan, Teori dan Politik Onstitusi, Jakarta (Dirjen Dikti Depdiknas, 2000) hal.41
[10] JHA Logman, Ibid.
[11] Periodesasi ini berlaku pada saat UU Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Peraturan Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur Dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, lihat Pasal 18.
[12] Sejak berlakunya UU No. 1 Tahun 1957, selama belum terbentuknya UU tentang Pemilihan Kepala Daerah maka pengisian jabatan Kepala Daerah dipilih melalui DPRD, lihat ketentuan Pasal 24 UU No. 1 Tahun 1957
[13] Periodesasi ini berlaku sejak keluarnya UU No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
[14] Periodesasi ini berlaku sejak UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, lihat Pasal 15 dan Pasal 16
[15] Periodesasi ini berlaku sejak UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, lihat Pasal 34.
[16] Periodesasi ini berlaku sejak UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[17] Sumber ebsite KPU http://infopilkada.kpu.go.id/index.php?r=Dashboard/paslon&tahap=3
[18] http://nasional.kompas.com/read/2015/08/26/10582321/Ini.Calon.Petahana.yang.Lolos.Verifikasi.di.Pilkada.Serentak?page=all

Tulisan diatas merupakan tulisan dari Key Note Speaker pada Seminar Sekolah Sespimmen Dikreg Ke-55 T.A. 2015 dengan Tema "Pilkada Serentak, Permasalahan dan Pemecahannya", pada hari Selasa, 6 Oktober 2015 di Auditorium STIK-PTIK. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Flickr Images

Formulir Kontak