Oleh : Arif Wibowo[1] |
Pemilihan
Kepala Daerah Negara-Negara di Dunia
Kepala Daerah merupakan salah satu jabatan politik yang biasanya di hampir
semua negara pengisiannya dilakukan dengan cara dipilih langsung oleh rakyat.
Di negara-negara Eropa, Amerika Serikat dan Amerika Latin, pemilihan kepala
daerah dikenal dengan istilah local election atau regional election[2],
kecuali Australia dan Kanada yang menggunakan istilah Local Goverment Election.[3]
Walaupun menggunakan istilah berbeda, baik local election, regional
election maupun local goverment
election ketiganya merujuk pada pemilihan secara langsung.
Baik di negara-negara federal (federal states) maupun di negara-negara
kesatuan (unitary states) semua
kepala daerahnya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebab di kedua negara
tersebut walaupun bentuk negaranya berbeda namun pemerintah daerahnya berbentuk
sama yaitu sama-sama sebagai daerah otonom sebagai konsekuensi dari praktik desentralisasi.
Memang lazimnya desentralisasi politik (political
dezentralition) sebagai wujud penyerahan urusan dari pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah dalam rangka percepatan pelayanan publik lebih populer
di negara-negara kesatuan karena bentuk kedaulatannya tunggal. Pemerintah pusat
adalah satu-satunya penyelenggara pemerintahan dan daerah adalah bagian dari
pemerintah pusat. Untuk mempercepat pembangunan karena luasnya wilayah
administrasi, pemerintah pusat lalu menyerahkan sebagian urusannya kepada
daerah yang kemudian dikenal dengan istilah desentralisasi. Namun praktik ini
juga terjadi di negara berbentuk federal, misalnya Amerika Serikat. Setiap
negara bagian juga memiliki pemerintah daerah. Dan negara-negara bagian
tersebut juga menerapkan desentralisasi kepada pemerintah daerahnya dalam
rangka percepatan pembangunan. Perbedaan pokoknya sangat sederhana, jika negara
federal pemerintahnnya terpola ke dalam 3 (tiga) struktur tingkatan yaitu
pemerintah federal, pemerintah negara bagian dan daerah otonom, sedangkan
negara kesatuan terpola ke dalam 2 (dua) struktur tingkatan yaitu pemerintah
pusat dan daerah otonom.[4]
Perbedaannya hanya terletak apakah
pemilihan kepala daerah tersebut dilaksanakan secara serentak atau secara
sendiri-sendiri. Untuk pilkada serentak praktiknya dilakukan di negara-negara
Amerika Latin khususnya Brazil dan Filipina. Di Brazil maupun Filipina
pemilihan kepala daerahnya sama-sama diserentakkan dengan pemilihan presiden
dan pemilihan anggota parlemen nasional dan lokal. Perbedaannya hanya terletak
ditujuannya saja. Jika di Brazil tujuan
utamanya adalah dalam rangka penguatan sistem presidensial sementara di
Filipina adalah dalam rangka efisiensi biaya penyelenggaraan Pemilu.
Penguatan sistem presidensial sebagai tujuan utama keserentakan di Brazil
karena keserentakan tersebut membawa coattail
effect (efek mengikuti jejak) dimana pemilih cenderung akan ikut memilih parpol
dan kepala daerah pendukung presiden pilihannya. Dengan demikian dari
pemerintah pusat sampai pemerintah daerah, dari parlemen nasional sampai
parlemen lokal bersifat congruent (senafas) sehingga
penyelenggaraan pemerintahan dapat berjalan secara efektif dan stabil.[5]
Sementara di Filipina keserentakan tersebut dapat mereduksi biaya
penyelenggaraan pemilu khususnya pasca rejim
Ferdinand Marcos.[6]
Sepintas
tentang Metode Pengisian Jabatan
Jika mengkaji metode pengisian jabatan
sebagai alat untuk membantu dalam membedah metod pengisian jabatan kepala
daerah, rujukan referensi akan mengarah pada pendekatan Logeman, karena selain jabarannya
yang lengkap, juga penelitiannya didasarkan pada pemerintahan di Belanda dan
Hindia Belanda, yang kemudian teori jabatan Logeman tersebut diikuti oleh
sarjana-sarjana Indonesia seperti Harun Alrasid dan Bagir Manan.
Penelitian Logeman dalam hukum tata
negara Hindia Belanda, pengisian jabatan dipraktikkan dalam beberapa cara,
diantaranya pewarisan, pengangkatan, pemilihan, dan pemangkuan karena jabatan (ex officio). Metode lain adalah dengan cara
undian, penggantian giliran menurut susunan tingkatan tertentu, juga bentuk
campuran seperti pewarisan melalui pemilihan sebagaimana dikenal di Belanda.
Bagi pengangkatan oleh suatu majelis sering dipakai isitilah pemilihan namun
dalam peraturan pemilihan acapkali dipakai istilah pengangkatan.[7] Jika
mengacu kepada Harun Alrasid, pengisian jabatan dapat dilakukan dengan cara pengangkatan, pemilihan, pewarisan yang
sifatnya turun menurun, penggiliran atau rotasi, pemangkuan karena jabatan (ex officio) dan lain sebagainya.[8] Diperkuat
Bagir Manan, berdasarkan kriteria pertanggungjawaban, pengisian jabatan dapat
dibedakan menjadi tiga, yaitu: pengisian jabatan dengan pemilihan; pengisian
jabatan dengan pengangkatan, pengisian jabatan yang sekaligus mengandung
pengangkatan dan pemilihan (yang berfungsi sebagai pernyataan dukungan).[9]
Dari berbagai varian metode pengisian
jabatan tersebut pada dasarnya hanya ada 2 (dua) pilihan yakin pengisian
jabatan dibuat dengan menggantungkan pada persetujuan kehendak rakyat atau
tidak tergantung pada kehendak rakyat.[10]
Pemilihan
Kepala Daerah di Indonesia
Jika melihat sistem pengisian jabatan
Kepala Daerah (dan Wakil Kepala Daerah) dalam sejarah pemerintahan Indonesia
ternyata tidak serta merta dipilih secara langsung oleh rakyat. Pengisian
jabatan pernah dilakukan dengan cara pengangkatan, penetapan, pemilihan tidak
langsung dan pemilihan secara langsung. Setidaknya terdapat 6 (enam) periodesasi
pengisian jabatan yang berbeda.
Periodesasi pertama, pengisian jabatan dengan
pengangkatan. Pada masa awal pemerintahan Indonesia, pengisian jabatan kepala
daerah dilakukan dengan pengangkatan, Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh
Presiden dan Kepala Daerah Kabupaten diangkat oleh Menteri Dalam Negeri.[11]
Periodesasi Kedua, pengisian jabatan Kepala Daerah
dipilih oleh DPRD dan disahkan oleh Presiden untuk Gubernur dan oleh Menteri
Dalam Negeri untuk Bupati/Walikota.[12]
Sedangkan pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah hanya berlaku untuk daerah
istimewa.
Periodesasi ketiga, pengisian jabatan kembali melalui
pengangkatan, Kepala Daerah Provinsi oleh Presiden, Kepala Daerah Kabupaten
oleh Menteri Dalam Negeri atas usulan DPRD.
Pengisian jabatan Wakil Kepala Daerah dilakukan dengan cara yang sama,
diambil 2 (dua) sampai 4 (empat) orang diantara anggota DPRD[13].
Periodesasi keempat, pengisian jabatan Kepala Daerah yang
dicalonkan dan dipilih oleh DPRD, akan tetapi DPRD harus memilih minimal 2 (dua)
orang untuk ditetapkan oleh Presiden untuk Kepala Daerah TK I dan oleh Menteri
Dalam Negeri untuk Kepala Daerah TK II. Sedangkan untuk pengisian jabatan Wakil
Kepala Daerah diangkat dari PNS yang memenuhi persyaratan, tanpa melalui
pemilihan oleh Presiden untuk daerah TK I dan oleh Menteri Dalam Negeri, dengan
persetujuan DPRD.[14]
Periodesai Kelima, pengisian jabatan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah secara bersamaan melalui pemilihan oleh DPRD.[15]
Periodesasi keenam, pengisian jabatan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah melalui pemilihan langsung oleh rakyat.[16]
Babak baru pengisian jabatan Kepala Daerah
dilakukan melalui pilkada (pemilihan Kepala Daerah) serentak saat ini adalah periode ke-7 dalam sejarah pengisian
jabatan Kepala Daerah di Indonesia melalui terbitnya Undang-undang Nomor 8
Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang
Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang.
Pasal 1 angka 1 Undang-undang menyatakan bahwa “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah
pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis”. Selanjutnya Pasal 3 menyebutkan bahwa “Pemilihan dilaksanakan setiap 5 (lima)
tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia”. Kedua Pasal di atas
menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia.
Pemerintah dan DPR RI
mencapai kesepakatan dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang selanjutnya disahkan menjadi
Undang-Undang. UU terbaru tersebut juga telah mengatur sekaligus
menetapkan jadwal penyelenggaraan Pilkada secara langsung dan serentak sebagai norma hukum serta dilakukan secara
bergelombang sebagai berikut :
1. Pilkada
serentak gelombang pertama pada Desember 2015 untuk Kepala Daerah yang masa
jabatannya berakhir pada tahun 2015 dan pada semester pertama tahun 2016.
2. Pilkada
serentak gelombang kedua pada Februari 2017 untuk Kepala Daerah yang
masa jabatannya berakhir pada semester kedua tahun 2016 dan yang masa
jabatannya berakhir pada tahun 2017.
3. Pilkada
serentak gelombang ketiga pada Juni 2018 untuk Kepala Daerah yang masa
jabatannya berakhir pada tahun 2018 dan tahun 2019.
4. Pilkada
serentak gelombang keempat pada 2020 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan
Desember tahun 2015.
5. Pilkada
serentak gelombang kelima pada 2022 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan pada
Februari tahun 2017.
6. Pilkada
serentak gelombang keenam pada 2023 untuk Kepala Daerah hasil pemilihan tahun 2018.
7. Dilakukan
Pilkada serentak secara nasional pada tahun 2027.
Pilkada serentak Nasional di 541
daerah otonom (baik Provinsi, Kabupaten dan Kota) akan dilaksanakan pada Tahun
2027. Menuju Pilkada serentak secara
nasional pada tahun 2027 akan dimulai
dengan 3 (Tiga) gelombang yaitu 9 Desember 2015, Februari 2017 dan Juni 2018,
dengan rincian sebagai berikut :
Periode
Pilkada Serentak
|
Provinsi
|
Kabupaten
|
Kota
|
Jumlah
|
9
Desember 2015
|
9
|
224
|
36
|
269
|
Februari
2017
|
7
|
76
|
18
|
101
|
Juni
2018
|
17
|
115
|
39
|
271
|
Jumlah
|
33
|
415
|
93
|
541
|
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, KPU
adalah lembaga yang ditunjuk Undang-undang untuk menyelenggarakan Pilkada
serentak. Berdasarkan hukum KPU-lah yang kemudian memiliki kewenangan, tugas dan
tanggungjawab mengatur hal-hal teknis pelaksanaan pilkada serentak di
Indonesia.
Melalui Peraturan KPU, KPU mengatur
dan melaksanakan hal-hal teknis tahapan
Pilkada serentak di seluruh wilayah Indonesia.
Adapun peraturan teknis yang krusial terkait Pilkada serentak 2015 yang
sudah diterbitkan KPU adalah sebagai berikut :
- PKPU Nomor 2 Tahun 2015 – Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
- PKPU Nomor 4 Tahun 2015 – Pemutakhiran Data dan Daftar Pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
- PKPU Nomor 5 Tahun 2015 - Sosialisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
- PKPU Nomor 7 Tahun 2015 - Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
- PKPU Nomor 8 Tahun 2015 – Dana Kampanye Peserta Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
- PKPU Nomor 9 Tahun 2015 – Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
- PKPU Nomor 10 Tahun 2015 - Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota
- PKPU Nomor 11 Tahun 2015 - Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
- PKPU Nomor 12 Tahun 2015 - Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 9 Tahun 2015 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Tahapan
Pilkada serentak Tahun 2015
Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 4 Undang-undang
Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun
2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-undang, KPU memiliki kewenangan untuk menetapkan
rincian tahapan yang secara garis besar ditentukan dalam Pasal 5 Undang-undang
tersebut. Melalui Peraturan KPU
Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Tahapan,
Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur,
Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota KPU menetapkan
Tahapan krusial Pilkada serentak 2015 sebagai berikut :
No.
|
Tahapan
|
Waktu
|
1.
|
Pemutakhiran
Data dan Daftar Pemilih
|
24 Juni 2014 s/d 2 Oktober 2015
|
2.
|
Pendaftaran
Paslon sampai dengan penetapan Paslon
|
26 Juli s/d 24 Agustus 2015
|
3.
|
Sengketa
TUN
|
24 Agustus s/d 17 Nopember 2015
|
4.
|
Kampanye
|
27 Agustus s/d 5 Desember 2015
|
5.
|
Masa
Tenang
|
6 s/d 8 Desember 2015
|
6.
|
Pengadaan
dan Pendistribusian Logistik Pilkada serentak
|
5 Oktober s/d 8 Desember 2015
|
7.
|
Pemungutan
dan Penghitungan Suara
|
9 Desember 2015
|
8.
|
Rekapitulasi
Hasil Penghitungan suara
|
|
- PPK (tingkat Kecamatan)
|
10 s/d 16 Desember 2015
|
|
- KPU Kabupaten/Kota
|
16 s/d 18 Desember 2015
|
|
- KPU Provinsi untuk Pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur
|
18 s/d 19 Desember 2015
|
|
9.
|
Penetapan
pasangan calon terpilih
|
|
- Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota
|
21-22 desember 2015
|
|
- Gubernur dan Wakil Gubernur
|
22-23 Desember 2015
|
|
10.
|
Sengketa
Hasil Pemilihan (sejak pendaftaran s/d putusan)
|
18 desember s/d 12-13 Februari 2015
|
11.
|
Penetapan
Pasangan calon terpilih Pasca Putusan MK
|
|
- Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota
|
12-13 Februari 2015
|
|
- Gubernur dan Wakil Gubernur
|
13-14 februari 2015
|
Tahapan-tahapan krusial di atas menjadi titik pijak bagi
semua stakeholder pilkada dan terutama pihak Kepolisian Negara RI dalam rangka
pengamanan wilayah dengan segala kemungkinan potensi konflik dilapangan.
Tahap
Pilkada serentak 2015 sudah memasuki tahapan Kampanye setelah sebelumnya KPU
menetapkan Pasangan Calon yang dinyatakan lolos pada tahap verifikasi
pencalonan.
Berdasarkan
Data KPU RI, Pilkada serentak 2015 diikuti pasangan calon sebagai berikut.[17]
Wilayah
|
jumlah
|
Perseorangan
|
Parpol
|
Jumlah
|
Provinsi
|
9
|
1
|
19
|
20
|
Kabupaten
|
221
|
114
|
577
|
691
|
Kota
|
36
|
20
|
90
|
110
|
Total
Paslon
|
266
|
135
|
586
|
821
|
Adapun 3 dari 269 daerah yang akan melaksanakan
pilkada serentak 2015 belum melakukan penetapan karena hanya memiliki pasangan
calon tunggal yaitu : (1). Kabupaten Blitar, Jawa Timur, (2). Kabupaten Timur Tengah Utara,
NTT dan (3). Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Namun demikian, berdasarkan
putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 untuk ketiga daerah tersebut akhirnya dapat
dilangsungkan pilkada, tanpa perlu ditunda hingga tahun 2017.
Potensi
masalah Pilkada serentak 2015
Secara umum, potensi permasalahan
Pilkada serentak 2015 tidak jauh berbeda dengan pilkada sebelumnya. Dengan demikian masalah yang dialami pada
saat pilkada sebelum dilakukan secara serentak berpotensi sama serta berulang
dalam Pilkada serentak 2015. Kurang
lebih potensi masalah pilkada serentak adalah sebagai berikut :
1. Perubahan Regulasi yang berkejaran
dengan Tahapan
Masalah regulasi ini mencakup semua
aspek baik Undang-Undang, Peraturan KPU maupun Putusan MK yang mau tidak mau berkonsekuensi mengubah aturan teknis
pelaksanaan Pilkada serentak 2015.
Setidaknya
ada 5 (lima) Putusan MK yang mempengaruhi pelaksaan teknis Pilkada serentak
2015. Beberapa pasal dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati
dan Walikota Menjadi Undang-Undang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD
1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagai UU yaitu :
No.
|
Pasal
UU 8 Tahun 2015
|
Inti
Amar Putusan MK
|
1.
|
Pasal 7 huruf r
Tidak
memiliki konflik kepentingan dengan petahana
|
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015 tanggal 8 Juli 2015
menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD Tahun 1945 &
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
|
2.
|
Pasal 7
huruf s
Memberitahukan
pencalonannya sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota
& Wakil Walikota kepada Pimpinan DPR bagi anggota DPR, kepada Pimpinan
DPD bagi anggota DPD, atau kepada Pimpinan DPRD bagi anggota DPRD
|
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIII/2015
tanggal 8 Juli 2015 menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan
UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mengundurkan diri sejak calon
ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai Calon Gubernur, Calon
Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon
Wakil Walikota bagi anggota DPR, anggota DPD, atau anggota DPRD
|
3.
|
Pasal 7 huruf g
Tidak
pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih
|
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 42/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli
2015 menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD Tahun
1945 & tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan
jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana
|
4.
|
Pasal 7 huruf t
Mengundurkan
diri sebagai anggota TNI, Polri, dan PNS sejak mendaftarkan diri sebagai
calon
Pasal 7 huruf u
Berhenti
dari jabatan pada BUMN atau BUMD sejak ditetapkan sebagai calon
|
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIII/2015 tanggal 9 Juli
2015 menyatakan ketentuan pasal dimaksud bertentangan dengan UUD Tahun
1945 & tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mengundurkan
diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU/KIP sebagai Calon
Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon
Walikota, dan Calon Wakil Walikota
|
5.
|
Pasal
49 Ayat (9), Pasal 50 Ayat (9), pasal 51 Ayat (2) dan pasal 52 Ayat (2).
|
Dalam putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015,
pasal-pasal tersebut menjadi pasal kondisional bersyarat dan demi hukum
menjadi dasar bagi penetapan pasangan calon tunggal dalam Pilkada serentak.
|
Putusan-putusan MK di atas, secara
yuridis dan sosiologis secara nyata berdampak pada pelaksanaan tahapan pilkada
serentak dilapangan, baik dalam arti positif maupun negatif.
Yang
patut dicermati adalah munculnya masalah akibat ketidaksempurnaan regulasi (UU
maupun PKPU) sehingga berpotensi memicu konflik yang tidak mampu diakomodir
secara damai, terutama terkait masalah pencalonan yang disertai isu politik
uang.
2. Masalah teknis administrasi data
pemilih sebagai dasar bagi pelaksanaan Pilkada serentak yang bersih dan
demokratis.
Masalah daftar pemilih dalam setiap
penyelenggaraan pilkada maupun pemilu selalu sama yang meliputi sumber data,
pemutakhiran data yang tidak optimal hingga selalu memunculkan data ganda dan
pemilih yang tidak terdapat dalam data pemilih yang berpotensi digunakan
sebagai instrumen kecurangan dan atau bahkan ada kesengajaan membuat “data pemilih siluman”. Kecurangan
dengan menggunakan data pemilih secara tehnis hanya mungkin dilakukan oleh
paslon petahana bekerjasama dengan penyelenggara.
3. Masalah Pencalonan
Masalah pencalonan selalu menjadi isu
sentral dalam setiap pilkada. Dalam
Pilkada serentak 2015 isu pencalonan bersifat politis yang muncul terkait konflik
kepengurusan internal partai maupun langkah politik pragmatik partai atau
gabungan partai dalam rangka menjegal paslon lainnya dengan memanfaatkan celah
hukum yang ada.
Secara faktual, isu pecalonan,
terutama fenomena calon tunggal tidak jarang berkait dengan penyelenggara. Pada
konteks ini, independensi penyelenggara dipertaruhkan. Tak pelak, konpromi
politik lantas tak terhindarkan yang tercermin oleh adanya “perlakuan khusus
terhadap paslon tertentu” pada tahap pendaftaran pasangan calon.
Masalah calon tunggal yang baru saja diputuskan
oleh MK setelah penetapan pasangan calon bersamaan dengan berlangsungnya masa
kampanye tentu berpotensi memantik masalah politik baru terkait pengaturan
kampanye.
Penting untuk digarisbawahi bahwa sengketa
pencalonan yang tidak bisa diselesaikan dengan cara damai berpotensi memicu
konflik kekerasan antar pendukung kandidat dengan penyelenggara.
4. Masalah Politik Uang
Masalah penegakan hukum terhadap
politik uang selalu menjadi masalah yang sama dalam setiap penyelenggaraan pilkada
dan bahkan pemilu. Selain aturan yang
lemah, secara sosiologis dan politis, politik uang agaknya dianggap sebagai kelaziman,
diperlakukan secara permisif sebagai konsekuensi sistem demokrasi berbasis pemilihan
langsung dengan suara terbanyak.
5. Masalah Penggunaan Fasilitas jabatan serta
pengerahan dukungan PNS yang berpotensi menimbulkan konflik di lapangan.
Kompas pernah melansir nama-nama
Petahana yang akan bertarung dalam Pilkada serentak 2015 yang bersumber dari website
KPU. Setidaknya ada 125 pasangan calon
Petahana yang memiliki potensi menggunakan jabatannya untuk memenangkan
pertarungan politik dalam Pilkada Serentak.[18]
6. Masalah konflik dan kekerasan
Secara umum konflik dan kekerasan dalam
pilkada selalu bersumber dari ketidakpuasan kandidat dan atau pendukungnya
terhadap kinerja penyelenggara terutama pada tahapan pencalonan dan penetapan
hasil pemilihan. Konflik dan kekerasan
terjadi karena pasangan calon merasa diperlakukan “tidak adil”. Isu pemicunya biasanya adalah pembiaran
terhadap politik uang dan keterlibatan aparatus pemerintah yang mendukung
pasangan calon petahana sebagai salah satu kontestan.
Terkait potensi konflik dan kekerasan,
patut diberikan perhatian khusus bagi daerah-daerah sebagai berikut :
-
Daerah yang memiliki riwayat kekerasan
tinggi;
- Daerah dimana para petahana bertarung
berhadapan maupun melawan non petahana, terutama yang sebelumnya pernah
dikalahkan
-
Daerah dimana hanya ada 2 (dua) pasangan
calon.
7. Masalah Sengketa Hasil Pemungutan
Suara di MK
Ketentuan Pasal 157 ayat (3) UU Nomor
8 Tahun 2015 mengamanatkan penyelesaian perkara perselisihan penetapan
perolehan suara hasil pilkada diperiksa dan diadili oleh MK sampai dibentuknya badan peradilan khusus.
Seakan menjadi “ konsensus dan tradisi
” bagi setiap kontestan pilkada bahwa muara ketidakpuasan politik adalah dengan
bersengketa di MK. Membayangkan MK
memeriksa dan mengadili kemungkinan ratusan permohonan perselisihan penetapan
suara hasil pilkada di 269 daerah dengan hasil yang adil dan demokratik pasti
tidaklah mudah.
Berkaca dari pengalaman masa lalu
besar harapan diletakkan dipundak MK agar mampu memutus perkara dengan adil dan
demokratik agar tidak terulang kasus
Pilkada Kotawaringin Barat dan Bali. Kita semua tentu tidak menginginkan betapa
konflik dan kekerasan justeru hadir paska terbitnya putusan MK terkait sengketa
hasil. Untuk itu MK seyogyanya konsisten pada norma-norma yang telah ditentukan
oleh UU bahwa yang diadili dan diputus adalah perselisihan hasil, bukan yang
lain.
8. Independensi Penyelenggara
Penyelenggara Pilkada serentak adalah
KPU beserta jajarannya serta Bawaslu dan jajarannya sebagaimana diatur oleh UU.
Derajad independensi penyelenggara akan sangat menentukan apakah konflik bakal
manifes atau tidak pada setiap tahapan Pilkada serentak 2015 ini. Semakin
tinggi derajad independensi penyelenggara, maka akan menghindarkan kemungkinan
munculnya konflik dan kekerasan, begitu pula sebaliknya.
Penutup
Meneropong berbagai masalah yang
mungkin timbul dalam pilkada serentak 2015, kita dapat berpijak dari pengalaman
setiap penyelenggaraan pilkada dan pemilu sebelumnya. Masalah yang sama
senantiasa muncul berulang, dan biasanya muncul pada tahap pencalonan dan
penetapan hasil pemilihan.
Kunci utama agar setiap daerah dapat
melaksanakan Pilkada serentak 2015 dengan sukses, lancar dan tanpa kekerasan terutama
adalah sangat tergantung pada derajad independensi penyelenggara, berikut
penegakkan aturan dalam pelaksanaannya.
Selebihnya sukses berikut aman tidaknya pilkada serentak tidak mungkin
tercapai tanpa kerja cerdas, managable, dan kerja keras bahu membahu antar seluruh
stakeholder pilkada, baik KPU dan Bawaslu beserta jajarannya, para pasangan
calon, pemerintah dan pemerintah daerah, partai-partai, aparat keamanan maupun masyarakat
itu sendiri.
[1] Anggota Komisi II dan Badan
Legislasi DPR RI, Fraksi PDI Perjuangan
[2] Lihat Andrew Coulson dan
Adrian Campbell, Local Government in Central
and Eastern Europe: The Rebirth of Local Democracy Books(London: Routlege,
2008) dan lihat LCC, 2005 Elections in
Europe: Portuguese Local Election, 2005, Polish Parliamentary Election, 2005,
Danish Parliamentary Election 2005 (General Books LLC, 2010).
[3] Lihat Report for the South Australian Local
Government Elections May 2003 (South Australian Government - State
Electoral Office, 2003).
[4] Bhagat and Butiong, Federal Versus Unitary, http://www.lewishistoricalsociety.com/wiki/tiki-print_article.php?articleId=136,
diunduh 4 Oktober 2015.
[5] Lihat
Scott Mainwaring (1), Dilemmas of Multiparty Presidential
Democracy: The Case of Brazil (Helen Kellogg Institute for International
Studies, University of Notre Dame, New York: 1992)
[6] Lihat Jennifer Conroy
Franco, Election and Democratization in
Phillippines (London: Routlege, 2001).
[7] JHA Logman, Tentang
Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif.
Edisi Terjemahan, Jakarta: Penerbit Ichtiar Baru-Van Hoeve. Hal.130
[8] Harun Alrasid, Pengisian
Jabatan Presiden, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti), hal.5
[9] Bagir Manan, Teori dan
Politik Onstitusi, Jakarta (Dirjen Dikti Depdiknas, 2000) hal.41
[12] Sejak berlakunya UU No.
1 Tahun 1957, selama belum terbentuknya UU tentang Pemilihan Kepala Daerah maka
pengisian jabatan Kepala Daerah dipilih melalui DPRD, lihat ketentuan Pasal 24
UU No. 1 Tahun 1957
[13] Periodesasi ini berlaku
sejak keluarnya UU No. 18 tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.
[14] Periodesasi ini berlaku
sejak UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, lihat Pasal
15 dan Pasal 16
[15] Periodesasi ini berlaku
sejak UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, lihat Pasal 34.
[16] Periodesasi ini berlaku
sejak UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
[17] Sumber ebsite KPU http://infopilkada.kpu.go.id/index.php?r=Dashboard/paslon&tahap=3
[18] http://nasional.kompas.com/read/2015/08/26/10582321/Ini.Calon.Petahana.yang.Lolos.Verifikasi.di.Pilkada.Serentak?page=all
Tulisan diatas merupakan tulisan dari Key Note Speaker pada Seminar Sekolah Sespimmen Dikreg Ke-55 T.A. 2015 dengan Tema "Pilkada Serentak, Permasalahan dan Pemecahannya", pada hari Selasa, 6 Oktober 2015 di Auditorium STIK-PTIK.
0 komentar