featured tulisan

Teori Kontrol Kriminologi

10.13handreasstik66


Orang pada saat berada pada strain (kondisi strain yang sedemikian hebat) secara teoritis dia akan melakukan penyimpangan (kejahatan). Faktanya hampir semua anggota masyarakat sebenarnya berada pada posisi strain. Jadi pada waktu kita beruntung sekalipun, tetap kita akan mengalami strain dari kelompok dimana kita berada atau peer dimana kita tinggal. Katakanlah orang yang tidak berada pada posisi yang tidak beruntung itu adalah orang yang punya pekerjaan tetap, punya status sosial yang jelas, tapi bukan berarti strain tidak terjadi, strain tetap akan ada (akan muncul dari peer group, teman-teman dan kelompok), karena ternyata didalam setiap strata dalam kehidupan sosial itu ada strata lagi didalamnya. Kalau kita bicara tentang kelas atas, kelas atas itu tidak homogen, tapi didalam kelas atas itu terdapat kelas-kelas lain. Jadi ada upper higher class, upper middle class dan upper lower class. Artinya orang yang berada didalam strata ataspun dengan sendirinya mereka kemudian terkelompok lagi ke dalam strata-strata tertentu. Orang-orang yang berada pada posisi yang beruntung (pada strata atas tadi) tetap mengalami strain karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang walaupun berasal dari strata yang sama tapi juga berasal dari sub strata yang berbeda. Contoh misalkan Alumni Akademi Kepolisian didalam kelas STIK-PTIK satu angkatan sama-sama berpangkat IPTU (itukan kondisinya sama dan dalam strata sama) tapi ternyata didalam kelas satu angkatan tersebut yang berpangkat sama itu terjadi lagi kelas-kelas yang lain (ternyata ada kelompok-kelompok lagi). Ada kelompok yang lebih beruntung dari yang lain, itu adalah sumber strain bagi yang lain. Artinya tidak ada orang yang berada pada posisi yang tidak mengalami strain di dalam hidupnya.

Secara teoritis kalau posisinya demikian maka kita dapat menduga bahwa banyak orang mencari makna kejahatan, karena asumsinya orang yang mengalami strain adalah orang yang paling mudah untuk terjebak pada perilaku menyimpang. Tapi fakta lain menunjukkan hanya sedikit orang yang kemudian melakukan kejahatan atau penyimpangan dari sekian banyak orang yang mengalami strain. Berapa jumlah masyarakat miskin atau kelompok kelas bawah di Indonesia?

Menurut data statistik sekitar 30 juta orang. Tapi faktanya yang menjadi penjahat tidak sampai 30 juta. Dari populasi di Indonesia rata-rata pelaku kejahatan itu kisaran 1-5% yang melakukan kejahatan. Kenapa kemudian tidak terjadi situasi dimana banyak orang miskin tapi tidak banyak melakukan kejahatan? Jawabannya ada pada control theory. Jadi control theory berasumsi semua orang berada pada posisi memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan (siapapun itu). Jadi tidak ada orang yang tidak mempunyai potensi melakukan penyimpangan atau kejahatan, semua orang berada pada posisi yang sama. Tapi faktanya tidak semua orang yang melakukan kejahatan bahkan hanya sebagian kecil saja, kenapa demikian? Karena ada mekanisme kontrol yang bekerja dan membatasi perilaku orang (mengendalikan perilaku orang untuk tetap berada kelompok perilaku konformitas).

Oleh karena itu teori kontrol berasumsi bahwa kalau kita ingin menjelaskan kejahatan maka penjelasan itu dapat kita cari dari perilaku yang tidak jahat, kalau kita ingin mengendalikan kejahatan jangan mengutak-atik kejahatannya, tapi carilah penjelasannya kenapa orang bisa taat hukum, ada apa dan apa yang terjadi disana. Karena asumsinya perilaku menyimpang itu adalah perilaku yang alamiah (natural). Perilaku tidak menyimpang atau perilaku yang konformitas adalah perilaku yang tidak alamiah. Kejahatanlah yang akan dipaksa oleh aturan. Coba kita perhatikan begitu ada jalan lurus dan mulus, tidak ada orang yang akan memperlambat laju kendaraannya, semua akan memacu kendaraannya dengan kecepatan tinggi (hal itu merupakan alamiah). Untuk memaksa orang agar tidak memacu kendaraannya kemudian dibuat tanggul (polisi tidur/ pita kejut) sehingga kemudian orang terpaksa memperlambat kendaraannya. Kita seolah-olah melihat mereka pelan itu alamiah, naum sebenarnya tidak mereka itu terpaksa untuk memperlambat kendaraannya. Seperti halnya di dalam kelas mahasiswa STIK-PTIK kalau kelas ini dibiarkan dan tidak ada aturan yang mengatakan harus menggunakan PDH, maka sudah pasti semua mahasiswa pakaiannya akan berbeda-beda. Jadi berpakaian PDH pada hari ini dan jam ini bukan perilaku alamiah. Ini adalah perilaku yang dikontrol sehingga kemudian taat semua. Jadi dalam penjelasan kontrol teori kalau ingin menjelaskan kenapa ada yang menyimpang, cari penjelasannya kenapa yang lain bisa taat hukum, ada mekanisme apa yang bekerja. Artinya kalau mekanisme itu bisa kita temukan kenapa orang lain itu taat hukum, kita dapat dengan mudah mengatakan orang yang tidak taat hukum ada mekanisme yang tidak bekerja pada dirinya. Mekanisme tersebut bermacam-macam dan beragam, instrument yang ada dalam kehidupan sosial juga bermacam-macam. Jadi apabila mahasiswa STIK-PTIK diberikan kebebasan berpakaian dan tidak ada aturan berpakain dalam perkualiahan, mungkin saja sepatu dan bajunya akan bermacam-macam dan yang pasti sikap egoismenya akan keluar (pasti mencari yang bermerek serta ada kecenderungan untuk tidak menggunakan pakaian yang tidak bagus) pasti itu pilihannya dan itu alamiah. Kalau sampai kemudian menggunakan baju seragam, itu tidak alamiah. Ini perlu penjelasan kenapa sampai mereka menggunakan baju seragam. Penjelasannya “oh ternyata ini PUD di STIK-PTIK yang mengatakan selama perkuliahan mahasiswa wajib menggunakan pakaian PDH dengan segala kelengkapannya, apabila itu tidak digunakan maka akan ada sanksi yang dikemudian diberlakukan, sanksi itulah yang kemudian memaksa (kekhawatiran terhadap sanksi) sehingga kemudian perilaku taat itu muncul. Dalam kehidupan sosial juga begitu, kalau tidak ada aturan tentang perkawinan dan perkosaan bisa dimana saja orang akan kawin dan memerkosa (begitu lihat perempuan cantik, naksir dan langsung kawin) begitu juga perempuan jika melihat laki-laki ganteng langsung kawin, itu alamiah. Kalau tidak percaya kita lihat kehidupan dunia hewan dimana mekanisme kontrolnya tidak ada, tapi apabila didunia hewan ada mekanisme kontrol, ada system territorial, tidak sembarangan singa betina dikawini oleh singa jantan (begitu ketemu langsung main), kenapa? Ada teritorial yang dijaga disitu. Didunia hewan juga ada mekanisme kontrol juga dan itu berlaku (jadi kalau singa itu dia menghargai wilayah kekuasaannya dengan menggesekkan badannya direrumputan atau di pohon-pohon yang ada disitu. Jantan lain yang datang, akan mencium aroma jantan yang tertinggal disitu dan kemudian dia akan menghindar dari wilayah tersebut karena itu adalah teritorial hewan lain dan dia tidak akan masuk. Karena kalau dia masuk, maka yang terjadi adalah konflik. Dunia kehidupan sosial juga sama, bahwa ada mekanisme-mekanisme yang berlaku yang mengendalikan kehidupan sosial.

Didalam dunia hewan mengapa hewan yang cantik dan menarik itu pasti yang jantan? Kalau manusia yang cantik itu perempuan? Coba lihat ayam yang cantik itu pasti ayam jago, singa yang cantik/ menarik itu pasti singa jantan (indah dipandang). Semua hewan rata-rata yang berjenis kelamin jantan adalah yang indah (burung). Jawabannya karena mereka tidak punya uang. Beda dengan manusia tidak perlu ganteng yang penting ada uangnya. Bagaimana dia memikat perempuan kalau dia tidak punya uang, jadi dia (hewan) mengandalkan kejantanannya dan keindahannya. Makanya manusia tidak ganteng pun tidak masalah, malah orang-orang tidak ganteng itu orang-orang yang sukses, kenapa? Karena orang-orang ganteng bukan saingan, karena yang ganteng itu umumnya ditaksir juga sama yang ganteng. Jadi orang yang tidak ganteng termasuk orang-orang yang beruntung karena saingannya sedikit, yang ganteng itu ada segmentnya sendiri.

Ahli sosiologi mengatakan “…all social processes which militate for conformity… as conformity is seen normal or natural…” (Williams, 1992) semua proses sosial itu tujuannya adalah untuk memaksa orang agar taat, agar konformitas. Proses sosial dijalankan untuk menimbulkan ketaatan. Kenapa begitu istri kita hamil, begitu kita USG dan diketahui jenis kelaminnya, kita lalu belanja macam-macam sesuai dengan jenis kelamin calon bayi (kalau dia perempuan serba pink, kalau laki-laki serba biru) maksudnya begitu dia lahir jangan sampai tertukar. Kalau dia perempuan berperilakulah sebagai anak perempuan. Proses sebelum lahirpun sudah mencoba untuk memaksa (to militate) agar paling tidak seorang anak akan tampil dalam berperilaku sebagaimana harapan terhadap perilaku sesuai jenis kelaminnya, jadi mekanisme kontrol itu jauh sebelum kita lahir sudah bekerja pada diri kita.

Pertanyaannya kenapa perempuan warnanya pink dan laki-laki warnanya biru? Filososinya pink itu adalah warna yang paling dekat dengan merah, biru itu adalah warna yang mencerminkan kelembutan. Kenapa laki-laki diberi warna lembut, perempuan malah diberi warna yang keras? Karena sifat perempuan itu adalah lemah, oleh karena itu dia diberikan symbol perilaku yang cenderung untuk mendekati warna yang keras (itu yang disebut sebagai dolphin strategy atau strategi lumba-lumba). Jadi ibaratkan ikan, konon (dari persoalan kelengkapan biologisnya/ bicara tentang naturalnya perempuan), kalau perempuan dia disimbolkan dengan golden fish (ikan mas) sebabnya lemah, mudah mati, cenderung tingkat survivenya rendah, begitu listrik mati dan gelembung udara tidak berfungsi dalam waktu 1-2 jam dia akan mati. Disatu sisi ada ikan yang ekstrem/ kebalikan dari ikan mas yaitu shark (ikan hiu) ikan yang ganas, tanpa toleransi punya kemampuan bertahan hidup, dan bersebrangan dengan sifat dari ikan mas. Dolphin strategy baik terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki adalah mencoba membawa 2 sifat tadi ketengah (yang perempuan tidak terlalu lemah dan yang laki-laki tidak terlalu agresif) maka yang muncul adalah symbol ikan yang disebut dengan dengan dolphin (lumba-lumba) dia tidak ganas tapi punya kemampuan bertahan hidup itu luar  biasa, dibadai sekali Dolphin bisa hidup (itu yang disebut sebagai dolphin strategy). Makanya perempuan diberikan warna yang mendekati warna merah, laki-laki diberikan warna yang cenderung lembut yaitu biru. Itu adalah pengharapan-pengharapan sosial terhadap sifat dari seseorang, itu adalah bagian dari mekanisme kontrol.

Kapan kegagalan mekanisme kontrol terkait dengan jenis kelamin?
Bisa kita lihat di taman lawang, Itu adalah kegagalan mekanisme kontrol terhadap harapan-harapan terkait jenis kelamin. Atau rekan-rekan bisa lihat disalah satu club di Jakarta, kalau rekan-rekan masuk itu bisa muntah kalau yang tidak biasa. Begitu masuk toilet kondom bertebaran dimana-mana, tapi kok isinya laki-laki semua padahal kondom banyak sekali. Dalam kehidupan sosial itu adalah fenomena-fenomena yang menggambarkan bahwa harapan terhadap jenis kelamin itu gagal. Orang berperilaku tidak sesuai dengan harapan dari jenis kelaminnya, representasinya ya tempat-tempat seperti itu. Oleh karena itu semua proses sosial itu adalah mencoba memaksa semua orang taat hukum sehingga konformitas itu terlihat normal, natural, padahal itu tidak normal dan tidak natural. Tapi akhirnya kita melihat bahwa perilaku mahasiswa STIK-PTIK yang normal, yang natural kalau kuliah pakai pdh itu normal sehingga begitu ada yang bajunya lain itu kita anggap tidak normal. Ini adalah cara berfikir statistik. Statistik itu mengatakan sesuatu itu normal atau tiak normal tergantung dari banyak tidaknya populasinya. Kalau rata-rata populasi berperilaku X maka perilaku Y adalah tidak normal (statistik itu gampang menandainya). Jadi karena dari kecil kita dibiasakan sosialisasi terhadap nilai, terhadap harapan-harapan sosial masyarakat, kita seolah-olah melihat perilaku-perilaku taat hukum (dalam sosiologi disebut dengan conformity itu) itu adalah perilaku yang normal, padahal itu tidak normal atau perilaku yang semulanya dipaksakan. Kalau rekan-rekan mengendarai kendaraan sport tidak ngebut dan jalanan lurus, itu kenapa, ada mekanisme yang bekerja tetapi mekanismenya bukan mekanisme yang bersifat eksternal tapi internal dalam diri kita (kekhawatiran kalau saya ngebut dan tabrakan lalu anak/ istri saya bagaimana). Jadi itu adalah bagian dari sarana pengendalian.

Oleh Karena itu dalam strategi militer rasa takut itu adalah anugrah karena perang yang berhasil adalah perang yang dilandasi rasa takut. Karena perang apapun kalau sudah tidak dilandasai rasa takut maka perang itu tidak akan pernah menang. Kenapa? Karena tidak memerlukan strategi apapun, cukup maju tembak selesai. Tapi orang yang takut dia akan berkalkulasi, membangun strategi/ rancangan sedemikian rupa itu adalah orang yang berhasil (adalah orang yang selalu memiliki rasa takut dalam dirinya). Asuransi itu tidak akan laku kalau orang tidak takut/ khawatir. Coba kita banyangkan kita beli kendaraan mahal, kalau kita tidak takut kecurian buat apa kita beli asuransi. Dan itulah yang membuat kita menjadi orang yang selamat dari rasa takut itu, begitu benar terjadi pencurian, kita tidak akan rugi apa-apa. Inilah yang disebut strategi orang yang tidak punya rasa takut adalah orang yang kalah dalam perang karena biasanya dia tidak menyusun rencana dalam perang. Pertempuran dan perang itu adalah dua hal yang berbeda, orang inggris mengatakan perang itu adalah war sedangkan pertempuran itu adalah battle. Masuk kedalam battle kita perlu/ butuh keberanian rasa takut tidak penting, tapi begitu kita masuk kedalam pemikiran perang maka disitu kita butuh rasa takut untuk menyusun rencana, mengatur strategi dll.

Itulah yang disebut konformitas itu karena sudah dibiasakan dari kecil (sebelum kita lahir) dia akan terkesan normal, terkesan natural. Dalam memahami teori kontrol kemudian itu “It is criminality which is natural, and      conformity needs explanation jadi kejahatan itulah yang normal sebenarnya, kalau ada orang taat hukum brarti disitu butuh/ perlu penjelasan yang banyak. Tapi begitu orang melakukan kejahatan ya wajar memang sejatinya manusia, pasti mengikuti egoisnya, cenderung untuk menerapkan prinsip survival of the fittest (yang kuat dan mampu bertahan akan tetap lestari).

There Is Nothing Natural About Conformity (tidak ada yang alamiah pada saat ada orang yang taat aturan). Sebagaimana kita ketahui banyak waktu yang dihabiskan (bertahun-tahun) dalam hidup kita kemudian hanya untuk mengetahui mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dalam hidup itu. Dari kecil kita hanya diajari itu saja (ini boleh dan ini tidak boleh, ini pantas dan ini tidak pantas), seorang anak perempuan apalagi/ dalam kehidupan tradisional kita banyak sekali pantangannya sampai duduk didepan pintu pun itu jadi masalah. Jadi sepanjang hidup kita itu yang diajari hanya itu (mana yang boleh dan mana yang tidak boleh). Bahkan kita kuliah pun itu berbicara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam dunia praktis diajarkan di dunia akademik. Jadi itu yang dimaksud dengan as most of our formative years are spent learning what is permitted behavior and what is not (mana perilaku yang boleh dan mana yang tidak boleh).

Teori-teori kontrol menjelaskan bagaimana Kontrol theories explains how societies persuade people to live within these rules” (Williams, 1992) (masyarakat mengarahkan/ memaksa orang-orang untuk hidup berdasarkan aturan yang boleh atau tidak boleh). Jadi teori kontrol ini adalah cara berfikir yang terbalik dari teori yang sebelumnya dibahas dimana orang sibuk mencari kejelasan tentang mengapa orang berbuat jahat, tapi teori kontrol justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk berfikir mengapa orang taat hukum, sehingga kalau ada ketidaktaatan itu pasti mekanisme yang bekerja pada orang yang taat hukum itu tidak berlaku/ berjalan pada orang-orang yang tidak taat hukum. oleh karena itu kalau kita ingin mengintrvensi kejahatan maka berlakukanlah semua hal yang berlaku pada orang yang taat hukum.

Teori kontrol pada masa awal itu dikembangkan oleh Albert J. Reiss (1951). Beliau mengajukan konsep kontrol yang disebut dengan personal kontrol dan social kontrol.
Personal kontrol adalah kemampuan orang untuk bertahan untuk tidak mempergunakan metode yang tidak disetujui dalam kehidupan sosial dalam mencapai tujuan. Jadi orang yang personal kontrolnya baik adalah orang yang punya kemampuan atau resistensi untuk tidak menggunakan cara-cara yang tidak disukai dalam masyarakat dalam mencapai tujuan. Jadi orang-orang yang resistensinya tinggi tidak menggunakan cara-cara yang menyimpang dalam mencapai tujuan itulah orang yang personal kontrolnya baik. Resistensi itu umumnya muncul karena persepsi-persepsi dalam dirinya, apa yang membangun persepsi dalam diri tadi mulai dari moral, pemahaman agama, nilai dan lain-lain. Kapan itu kita dapatkan? Yaitu pada saat kita menjalani proses sosialisasi dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu George Herbert Mead mengatakan sosialisasi itu adalah semua proses sosial (all social process  learn to be a participant member of society), jadi yang dimaksud sosialisasi itu adalah proses belajar dimana seorang anak akan mulai memahami atau apa yang menjadi persyaratan bagi dirinya untuk menjadi seorang warga dalam sebuah masyarakat. Jadi kalau masuk kesebuah masyarakat pasti kita belajar disitu (apa sih disini yang boleh dan tidak boleh, apa sih yang beharga disini dan yang tidak berharga).
Social kontrol itu kebalikan dari personal kontrol. Kalau personal kontrol adalah kemampuan individual untuk resist/ menolak/ bertahan dari godaan-godaan menggunakan metode atau cara yang tidak disukai dalam mencapai tujuan. Sementara konsep social kontrol adalah kemampuan kelompok kemampuan kelompok atau lembaga sosial tertentu untuk mengefektifkan norma atau aturan tertentu. Jadi social kontrol itu adalah kemampuan dari kehidupan diri kita untuk memastikan aturan-aturan itu berjalan, missal tempat tinggal kita dimana kita tinggal disitu masyarakat begitu ada penyimpangan tidak diam saja. bentuknya adalah penolakan, pergunjingan, gossip dll itu adalah bagian dari sosial kontrol, yang bahaya itu adalah ketika masyarakat tidak bereaksi artinya sosial kontrol disitu lemah. Tapi sepanjang masyarakat itu bereaksi, apapun bentuk reaksinya sepanjang reaksi itu penolakan maka dapat kita katakana bahwa masyarakat itu sosial kontrolnya bekerja baik. Derajat penolakan itu tidak harus selalu dalam bentuk tindakan-tindakan keras (mulai tidak respek, bergunjing, mencemooh, gosip, menebar isu itu adalah bagian dari cara masyarakat menolak perilaku-perilaku yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan sosial.

Kemudian teori Albert J. Reiss ini dikembangkan kembali oleh Walter Reckless (1967, 1973). Walter Reckless mengajukan konsep tentang pencegahan dari perilaku menyimpang.
Yang dimaksud dengan pencegahan adalah kemampuan baik individu maupun kehidupan sosial untuk mengaktifkan faktor-faktor kontrol yang menjauhkan bagi terjadinya perilaku yang menyimpang. Apa saja faktor-faktor yang perlu diaktifkan itu? Sosial kohesifitas (kepatuhan sosial) adalah cara/ salah satu mekanisme yang bisa diaktifkan.

Kemudian secara individual Reckless menerapkan apa yang disebut dengan self concept (konsep diri). Konsep diri itu adalah hal yang secara personal punya kemampuan menangkal perilaku yang menyimpang. Jadi semakin baik konsep diri yang dimiliki seseorang biasanya semakin tinggi resistensinya untuk melakukan penyimpangan. Oleh karena itu dalam kehidupan sosial itu kita harus punya konsep yang jelas tentang siapa kita (siapa saya). Konsep diri itu biasanya muncul dari status yang kita miliki dan status itu bisa beragam. Karena umumnya status itu terkait dengan semakin banyak peran yang kita jalankan maka semakin banyak peran status yang kita miliki. Sebagai laki-laki kita punya status bisa jadi seorang ayah, seorang suami, anak dari seorang ibu (itu adalah status). Dari sisi pekerjaan status sebagai polisi, sebagai mahasiswa. Sekarang kita mendefinisikan diri kita masuk ke status yang mana. Status utama kita dalam hidup (kalau ditanya orang anda itu siapa?) apa kira-kira itu, itulah yang disebut master status. Pemahaman terhadap master status yang kita miliki kemudian akan memunculkan konsep diri, begitu akan melakukan pelanggaran lalu lintas (wah saya ini kan polisi, malu kalau sampai melanggar lalu lintas), itu adalah onsep diri. Begitu akan melakukan sesuatu yang negative kita ingat “wah janganlah saya ini kan punya anak, kalau sampai anak-anak tahu saya kan akan malu”, itu merupakan konsep diri.

Menurut Reckless konsep diri ini adalah sarana pengendalian yang paling efektif. Oleh karena itu orang yang konsep dirinya tidak terbentuk biasanya orang ini akan bermasalah. Konsep diri “saya ini kan mahasiswa” apa yang kemudian terjadi? Karena konsep dirinya mahasiswa ya tugas nya belajar, maka kalau sampai ada yang tidur itu konsep diri sebagai mahasiswa ya tidak terbentuk. Harus dikaji ulang statusnya.

Teori kontrol ini lebih bersifat psikologis.
Kemudian teori kontrol yang bersifat sosiologis dikemukakan oleh Travis Hirschi (1969). Hirschi mengatakan bahwa Kejahatan itu normal dan hanya dapat dicegah dengan mencegah munculnya kesempatan guna melakukannya. Filosofinya itu, bagaimana untuk cara mencegahnya? Ya kesempatan untuk melakukannya yang dihilangkan. Bagaimana cara menghilangkan kesempatannya? Maka efektifkan lingkungan, buat orang terikat pada lingkungannya. Maka teori dari Hirschi kemudian dikenal dengan “sosial warms theory” (teori ikatan sosial). Jadi kalau orang terikat dalam kehidupan sosial maka cendrrung untuk tidak melakukan penyimpangan.
Apa saja ikatan sosial itu? Ada 4 komponen yaitu :
1.     Attachment. Bagaimana kita attach dengan orang lain, dengan keluarga, family dll. Attachment itu adalah kedekatan, bagaimana kita merasa bahwa diri kita penting bagi orang lain, kita diharapkan oleh banyak orang. Idealisme dengan ketidakinginan untuk mengecewakan orang-orang dekat.  Biasanya attach itu landasannya adalah empati, rasa sayang (saying kepada anak dan istri). Jadi attach itu mencegah kita untuk melakukan penyimpangan. Dalam kehidupan sosial attachment itu penting, bagaimana kita membuat diri kita kemudian merasa dibutuhkan oleh lingkungan tempat tinggal kita. Kita bisa membanyangkan lingkungan seperti apa yang membuat kita attach dengan lingkungan disekitar kita. Yang jelas bukan lingkungan tempat tinggal kita dimana kita datang pagi, datang malam, pagi2 sudah hilang lagi. Itu tidak akan ada attachment.
2.  Commitment. Tapi adalah lingkungan dimana kita bisa membuat kita berkomitmen. Coba bayangkan kalau kita sayang, dekat terhadap seseorang kalau kemudian kita intens berhubungan dengan seseorang pasti kemudian akan tumbuh komitmen. Bagaimana ciri2 orang yang komit? Orang yang komit adalah orang yang merasa kehilangan apabila dia dipisahkan dari orang yang menyayanginya. Jadi kalau kita merasa, alah kalau putus dengan istri saya besok saya bisa cari lagi (itu tidak punya komitmen), orang yang punya komitmen “saya tidak bisa membayangkan jika hidup saya pisah dengan pacar saya”, “saya tidak bisa apa yang terjadi dengan diri saya jika saya berpisah dengan anak-anak saya” itu adalah komitmen. Kita apabila ingin menguji komitmen sebagai anggota polisi gampang, bayangkan kalau dipecat. Apa yang akan terjadi? Semakin tidak banyak alternative yang dimiliki maka semakin tinggi komitmennya, tapi apabila berfikir “alah dipecat dari polisi gak papa, saya ini kan jadi polisi Cuma hobi saja” itu orang yang lemah komitmennya. Dalam lingkungan/ dalam kehidupan sosial juga begitu, orang yang komitmen pada lingkungannya baik adalah orang yang tidak bisa membayangkan kalau tetangga-tetangganya tidak suka dengan dia, kalau tetangga-tetangganya sudah mulai cuek sama dia karena dia dianggap bukan lagi orang yang terhormat, itu adalah orang yang komitmennya tinggi dalam kehidupan sosial. Jadi komitmen itu bisa diukur dari seberapa banyak kehilangan-kehilangan sosial yang akan kita alami apabila kita dipisahkan dari lingkungan. Sama dengan di organisasi polri, apabila rekan-rekan ingin menguji seberapa banyak komitmen rekan-rekan terhadap organisasi polri maka bayangkan seberapa banyak kerugian-kerugian yang akan rekan-rekan alami kalau rekan-rekan dikeluarkan dari polri. Kalau brimob tidak diragukan komitmennya, biasanya harga mati bagi brimob, karena rata-rata anggota brimob komitmennya terbentuk dan dibentuk. Situasi pekerjaan itu membuat komitmen menjadi tinggi soliditas, kepaduan, saling tergantungan dari anggota membuat komitmen kemudian menjadi tinggi sehingga pada saat dia merasa akan keluar dari komunitas itu dia akan merasa begitu banyak kehilangan yang dia alami secara psikologis dan sosial.
3.      Involvement. Kalau kita sudah punya komitmen, biasanya kita akan juga mempunyai keterlibatan (involment). Jadi orang-orang yang punya involvement sudah pasti dia punya attachment dan komitmen makanya dia mau involve, kalau dia tidak involve dia bakal stress. Coba bayangkan sebagai anggota polisi yang menjadi polisi hanya sekedar hobi saja, dia dilibatkan atau tidak dalam kegiatan pasti dia santai-santai saja, begitu membaca sprin dan tidka ada namanya langsung berucap “Alhamdulillah”. Berbeda dengan yang komitmennya bagus, begitu membaca sprin dan tidak ada namanya ya dia pasti akan stress. “Ada apa ini? Kok pimpinan tidak memasukkan nama saya ini kenapa?”, dia akan bingung. Jadi kalau orang yang komitmen dan attachmentnya tinggi biasanya kemauan untuk keterlibatan dalam sebuah kegiatan biasanya juga tinggi. Jadi orang yang mau kerumah tetangga, orang yang datang saat diundang arisan, yasinan, itu adalah orang yang pasti mempunyai komitmen baik terhadap lingkungannya. Kalau orang yang komitmennya tidak baik terus diundang “siapa sih bapak ini, sering banget sih ngadain acara”, itu komitmen dan involvementnya rendah. Menurut Hirschi semakin banyak keterlibatan orang dalam lingkungan itu akan semakin baik kemampuan mencegah dari lingkungan untuk membuat dia tidak melakukan penyimpangan.
Kenapa demikian? Karena involve itu membuat kita dikenal (lingkungan itu akan kenal dengan kita). Begitu mau mampir ketempat yang dia lihat, kita sudah mulai mikir “wah nanti ada tetangga yang melihat mobil saya” akhirnya gak jadi. Tapi kalo kita involvenya rendah, begitu papas an dengan tetangga juga tidak kenal, begitu sudah didalam masuk “bapak kan yang dijalan itu”, “iya saya tetangga bapak”, “wah ketemu tetangga disini”. “Kalu begitu kita sama-sama kompak ajalah dan sama-sama tau sajalah pak”. Tapi bayangkan kalau involvenya tinggi, jadi rekan-rekan kalau kita mau mencegah penyimpangan buatlah involvement kita tinggi dalam kehidupan sosial. Semakin banyak kita dikenal orang semakin banyak lingkungan dimana kita terlibat dalam kegiatan, itu akan mempunyai kemampuan yang membuat kita mempertimbangkan ulang setiap akan mengambil keputusan yang tidak disukai banyak orang, pasti menjadi bahan pertimbangan. Orang yang stress itu adalah orang yang pada saat mengalami kesalahan dan dia tahu, semua orang tahu. Makanya kalau penjahat tidak dikenal orang, ditangkap 10 kalipun santai saja dia (tidak ada yang kenal dirinya). Makanya pelaku kejahatan paling senang melakukan kejahatan diluar negeri (kampungnya) karena begitu ditangkap tidak ada yang kenal disana, dia masuk penjara pun keluarganya tidak tahu. Jadi dia terbebas dari komitmen dan sanksi-sanksi sosial yang muncul dimana kelompok dia tinggal, Itu nyaman buat dia. Karena yang paling tidak nyaman bagi kita itu adalah sanksi yang muncul dari lingkungan, itu jauh lebih tegas dan mengena daripada sanksi pidana.
4.     Belief. Apabila kita sudah attach, komit dan involve dengan lingkungan maka akan muncul juga apa yang disebut sebagai keyakinan terhadap nilai, norma. Kita validitas terhadap nilai itu kuat, apabila kita menyimpang kita akan terkena sanksi.

Kemudian Hirschi diluar konsep ikatan sosial mengatakan kejahatan dapat dicegah dengan mengatur perilaku tersebut melalui prinsip rewards and punishment, jadi attachment dan lain-lain tadi merupakan bagian dari reward. Tapi juga disitu tersedia sejumlah punishment kalau orang melakukan penyimpangan. Kan enak kalau kita berprestasi dan melakukan kebaikan semua orang tahu dan menghargai pasti nyaman bagi kita, dan baik pula bagi ktia apabila kita melakukan penyimpangan semua orang juga tahu, sehingga kemudian perilaku itu adalah perilaku yang akan kita kita hindari. Coba bayangkan kalau kita melakukan penyimpangan kemudian ketahuan tapi tidak ada efek apapun dari lingkungan tempat tinggal kita pasti fine-fine saja buat kita (gak masalah). Jadi menjadi orang yang paling baik itu kalau ingin menghindari penyimpangan adalah jangan menjadi orang yang nothing to loose, orang yang seperti ini adalah orang yang tidak pernah mempertimbangkan apapun lagi dalam hidupnya (gak ada rugi dan tidak ada yang dikhawatirkan). Jadi kalau kita punya anak jangan sampai anak kita berada pada posisi nothing to loose (mau melakukan apapun dia, dia tidak akan mengalami kerugian apapun) kalau bisa pastikan bahwa keluarga kita adalah orang yang akan mengalami dampak yang luar biasa kalau dia melakukan penyimpangan dan itu akan membuat dia tidak berani melakukan penyimpangan.

Maka dalam islam itu berlaku “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, caranya adalah dengan membuat diri kita itu tidak kebal terhadap sanksi sosial, justru itu membuat kita gerah, justru itu mengkhawatirkan diri kita, itu jauh lebih manjur.

Implikasinya tidak ada orang yang selamanya melanggar hukum dan tidak ada orang yang selamanya taat hukum dalam konsep ini. Dalam pengaruh kontrol, orang yang baik-baik itu adalah karena dia berada pada posisi kontrol bekerja baik pada dirinya, kalau dia terlepas dari ikatan-ikatan kontrol itu ya pasti dia melakukan penyimpangan, jadi tidak ada orang yang selamanya baik dan selamanya tidak baik. Sangat bergantung pada situasi eksternal dan internal sifat pengendalian yang berlangsung pada dirinya. Oleh karena itu kalau kita melihat cerita dalam Islam, orang yang pertama kali dan jauh lebih dahulu masuk islam adalah Bilal Bin Rabbah. Jauh sebelum Ali Bin Abu Thalib masuk islam. Tapi siapa yang kemudian derajatnya lebih tinggi (yang belakangan) Ali Bin Abu Thalib lebih tinggi derajatnya daripada Bilal Bin Rabah, dia dipastikan dan dijamin akan mendapatkan syafaat dari di hari H , Bilal Bin Rabbah tidak, tapi Bilal Bin Rabbah sudah jauh lebih dahulu masuk islam. Oleh karena itu, jangan pernah menghujat ketaatan orang karena dia tidak taat terhadap Tuhannya. Karena bisa jadi orang yang tidak taat saat ini, 5 tahun kedepan begitu dia mulai taat, kualitas ketaatannya jauh dari kualitas kita, hati-hati bahwa ini adalah sesuatu yang amat dinamis. Lalu dalam sejarah islam ternyata orang yang sudah berbicara dengan Rasul yang sedemikian intens didalam islam, siapa yang meragukan ketaatan Bilal Bin Rabbah (tidak ada yang meragukan), tapi ternyata dia dikalahkan derajat ketaatannya oleh orang yang kemudian belakangan masuk islam. Oleh karena itu jangan terlalu memuji orang yang taat saat ini dan jangan juga terlalu menghujat sehingga tidak memberikan kesempatan pada orang yang kita lihat bersalah pada saat ini. Kenapa? Karena segala sesuatunya ditentukan oleh mekanisme kontrol yang bekerja pada dirinya.

Jika berbagai elemen kontrol sosial tidak lagi berfungsi, maka akan muncul situasi sbb :
Yang kita khawatirkan mekanisme kontrol ini adalah kunci dari tinggi rendahnya crime rate/ angka kejahatan/ dari banyak tidaknya insiden kriminal.
1.      Fasilitasi kejahatan adalah kesempatan/ peluang orang untuk melakukan kejahatan itu meningkat dan ada dimana-mana. Makanya CCTV itu menjadi penting karena CCTV itu adalah mekanisme kontrol yang bisa membuat orang kemudian berfikir ulang untuk melakukan penyimpangan. Kemudian pada saat elemen kontrol itu tidak bekerja, dukungan sosial untuk melakukan kejahatan menjadi meningkat, ini yang berbahaya. Orang tidak lagi dihujat, melakukan penyimpangan, orang tidak lagi dicela melakukan penyimpangan, orang tidak lagi dicaci maki karena penyimpangan, malah tetangga sebelah mengikutkan kalau mekanisme kontrol tidak bekerja, makanya mekanisme kontrol itu menjadi penting. Kemudian dari sisi penegak hukum resiko orang itu tertangkap dan ketahuan itu menjadi turun karena tidak ada orang yang perduli dengan perilaku menyimpang. Jadi awareness orang terhadap perilaku menyimpang itu menjadi hilang, sifat polisional dari semua orang kemudian menjadi rendah. Ada orang masuk ke suatu kampung, orang biasa saja. Tapi coba kalau polisionalnya tinggi, jadi kalau orang masuk “tuh orang mau kemana ya, disitukan tidak ada jalan”, mulai berfikir, sehingga begitu ada tetangga yang kemalingan pun kemudian tetangga yang lain cepat tahu. Tapi ada lingkungan yang bagitu ada orang yang sudah kerampokan, korbannya meninggal dan ketahuannya karena tercium bau korban, maka celakalah lingkungan seperti itu. Seperti kasus di Australia (mati dirumah) itu karena mekanisme kontrol lingkungannya rendah.  Orang tidak terlalu perduli dengan lingkungan disekitarnya, jadi masalah justru karena ada aroma (bau).
2.   Penentuan kejahatan. Pada saat kontrol sosial itu rendah, maka orang akan melihat melanggar hukum itu jauh lebih menarik daripada taat hukum. Jadi pelanggaran itu adalah sesuatu yang attraktif. Kita lihat pada peristiwa 1998, pada saat mekanisme kontrol tidak bekerja, pada saat mekanisme kontrol di Indonesia sedang mengalami down saat itu orang yang tidak ikut menjarah adalah orang yang rugi. Maka orang-orang yang baik-baik sekalipun ikut-ikutan karena melanggar hukum atraktif saat itu (orang tidak ada yang mengawasi dan tidak mungkin ditangkap dan ditahan), jadi sesuatu yang nyata-nyata salah kemudian menjadi atraktif/ menarik untuk dilakukan. Kemudian pada saat mekanisme kontrol ini tidak bekerja yang mungkin terjadi adalah orang cenderung memiliki jenis kejahatan tertentu karena terkait dengan faham utilitarianistik (sesuatu yang bermanfaat itu cenderung lebih dikejar). Begitu polisi lalu lintas tidak ada, orang jarang ditilang disitu, begitu dia buru-buru “ah ini kan lampu lalu lintasnya merah, tapi lagi sepi, udahlah trabas aja”. Jadi orang cenderung mengejar apa yang penting bagi dirinya pada saat itu. Cenderung prioritas-prioritas terhadap kebutuhan diri itu menjadi pengemuka mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lain. Coba kalau kita lihat di Jakarta ini semua orang pandai akrobat kalau naik sepeda motor, begitu orang sudah mepet masih dia berbelok badannya pun ikut berbelok-belok juga untuk menghindari kendaraan, sangat pandai sekali. Jadi berlalu lintas itu bukannya prinsipnya bergantian tapi prinsipnya berebut, siapa yang lebih pandai berakrobat dialah yang menang. Sehingga kita yang membawa kendaraan dengan sabar biasanya harus sering-sering periksa jantung kalau di Jakarta ini (jangan-jangan juga bermasalah jantung kita ini karena setiap hari kita spot jantung).

Sumber-sumber konformitas (siapa saja sih yang membuat kita menjadi taat, yang membuat ktia menjadi tidak berani melanggar hukum, siapa sajan yang membuat kita tidak berani untuk mengikuti naluri kita untuk berperilaku menyimpang) :
1.      Keluarga.
Keluarga merupakan institusi dalam kehidupan sosial yang berdampak luar biasa dalam pembentukan perilaku orang (baik pembentukan karakter maupun bagaimana orang memilih perilaku). Kalau bicara karakter, keluarga itu adalah peletak dasar tentang sifat/ karakter diri kita. Makanya pada saat kita ditanamkan nilai-nilai didalam keluarga maka karakter yang kita tahu didalam keluarga itu adalah karakter yang amat sulit berubah, maka secara konsep itu yang disebut sebagai basic personality struckture (struktur kepribadian dasar itu dibentuk didalam keluarga). Kita boleh saja dididik dipendidikan Kepolisian (dibasis, ikut dikjur) tapi yang namanya basic personality struckture itu akan muncul dan mewarnai bagaimana kita menjadi polisi. Kalau dasarnya murah hati, jabatan apapun tetap murah hati. Kalau kepribadiannya sok, dibawakan senjata apapun dia cenderung sok. Maka dipolisi ini menempatkan personil itu harus membaca karakter, jadi rekan-rekan apabila nanti menjadi wakapolres atau kabag sumda di dalmas (tim negosiator itu) pilih orang jangan karena umurnya (tua), jangan karena jenis kelaminnya tapi pilihlah orang karena karakternya. Ditengah orientasi kita menempatkan negosiator sejauh ini adalah persepsi bahwa pihak lain akan menghargai, maka kita tempatkan perempuan (seperti ibu saya), kita tempatkan yang lebih tua (maka kalau dia lebih tua pendemo itu berfikir ini seperti bapak saya), persepsi kita tentang bagaimana orang lain mempersepsikan tentang kita. Itu cara kita memilih petugas negosiator. Sehingga kita cenderung mengabaikan kemampuan dan karakter dari negosiatornya sendiri. Nah ini cara memilih yang harus agak hati-hati, tidak salah kita membaca persepsi dari demonstran terhadap negosiator itu tapi jangan lupa juga karakter yang kita taruh didepan itu adalah karakter yang memang terpilih dan memiliki sejumlah kemampuan dan sejumlah bentuk-bentuk personality yang memang kompatibel dengan situasi yang dihadapi. Tua sih tua tapi personelnya gampang membentak ya percuma juga, perempuan sih perempuan tapi kalau ngomong pedes itu malah memprovokasi. Jadi harus ada keseimbangan persepsi dari para demonstran dengan kemampuan karakter yang akan kita kedepankan itu.
2.      Sekolah
Sekolah menularkan sejumlah nilai, nilai yang paling ditanamkan disekolah adalah :
Ø  Independence (Kemandirian), disiplin (kalau dirumah pipis saja minta dianterin, pakai sepatu dipakaiin, begitu disekolah gurunya langsung ngomong “eh sepatunya dipakai sendiri ya jangan minta pakaiin mamanya?”.
Ø  Achievement. Disekolah anak diajarkan prestasi, dirumah anak itu apapun yang dia lakukan selalu orang tua mengatakan “bagus, pintar”, tapi disekolah pintar itu ada ukurannya (ada pencapaian tertentu sehingga orang menjadi pintar). Kalau di TK dikasih bintang, kalau tulisannya bagus bintangnya 5, kalau jelek bintangnya 1 itu sudah menunjukkan bahwa sesuatu yang dianggap bagus itu ada takaran2nya dan itu ditanamlan disekolah. 
Ø  Spesifiksitas. Sesuatu itu spesifik, kalau anak jelek dalam pelajaran biologi ya treatmentnya di biologi saja, dimarahi gurunya ya di biologi. Begitu di pelajaran bahasa Indonesia dia tidak akan dimarahi lagi. Tapi kalau dirumah begitu mecahkan gelas dari pagi-sore-besok lagi masih dimarahin juga. Tidak semua hal diberlakukan sama. 
Dirumah nenek, cucunya itu tidak pernah salah, begitu kita mau ngomelin anak sedikit “kamu ini kan itu anak kecil, jangan dia kan masih kecil”, terus kapan terbentukkan kalau masih kecil sudah tidak boleh dipertajam/ diasah (malah disafe). Makanya kalau anak itu jangan terlalu sering disuruh minap dirumah neneknya. Karena nenek itu (orang tua kita) boleh dia keras sama kita pada saat kita kecil bahkan kita dipukul, tapi begitu dengan cucunya dia paling lemah. Tidak akan bisa membentuk anak kita sama dengan nenek (orang tua) membentuk diri kita. Jadi jangan berhadap “papa saya ini kan hebat, saya bisa kayak gini karena papa saya, jadi gak papalah anak saya tinggal sama papa”, oh jangan harap. Yang muncul lain nanti karakternya.
3.      Rekan bermain, rekan kerja dan lingkungan tempat tinggal (peer group)
Itu adalah orang-orang dekat dalam aktivitas kita sehari-hari, itu adalah sumber-sumber konformitas. Kita bisa rasakan begitu melihat semua turun dari flat, kita yang masih pakai sarungan pun buru-buru pakai PDH. Gak tau apa yang terjadi pokoknya begitu semua turun cepat-cepat pakai celana juga. artinya peer group itu kemudian membuat kita menjadi konformitas. Tempat bermain ini agak bahaya juga, biasanya anak sering mengalami apa yang disebut dissonance kognitif (apa yang dipelajari dirumah, apa yang dipelajari disekolah itu tidak sesuai dengan apa yang dia temukan diantara teman-teman bermain). Anak diajarkan santun dan baik tapi begitu ketemu teman-temannya langsung ngomong “bego” dan itu masih mending, yang celaka lagi apabila bagian tubuh yang disebut-sebut. Dirumah dia tidak pernah diajarkan tentang organ tubuh (jenis kelamin, alat kelamin) begitu ketemu teman-temannya langsung teriak menyebut kea lat kelamin laki-laki, menyebutkan kea lat kelamin perempuan. Dia pulang langsung bertanya kepada orang tua “ma itu artinya apa sih ma?”, Mamanya bingung juga menjelaskannya, dan langsung menjawab “itu tongkat nak. Besoknya pulang lagi kerumah, mamanya lagi nyuci piring “mah di itu ngomong ini lagi, apa artinya ma?”, “oh itu piring” Mama menjawab. Besoknya ketemu Pak Haji bawa tongkat eh si anak teriak-teriak pak haji bawa alat kelamin “…”. Rupanya pak haji tanya “anak siapa kamu?”, anak menjawab “anak Ibu … sedang mencuci alat kelamin …”. Jadi itu yang disebut dissonance kognitif. Peran orang tua adalah menetralisir dan harus dijelaskan dengan cara bijak. Di Indonesia peran-peran ketimuran masih membatasi gender.
4.      Ras
Pada negara yang multiras biasanya kita akan berperilaku cenderung berperilaku sebagaimana ras kita diharapkan berperilaku. Orang Asia kalau di Amerika pasti tidak mau masuk bar-bar dimana orang kulit hitam ada disitu. Orang kulit hitam di Amerika tidak akan masuk bar dimana orang kulit putih yang ada disitu dan sebaliknya. Artinya perilaku-perilaku itu dijaga berdasarkan rasnya. Kalau orang Asia terutama ras timur (China, Jepang, Melayu) di Amerika selalu diledek karena makan nasi, jadi makan nasi itu jelek sekali bagi orang-orang di Amerika. Makan nasi itu selalu dikaitkan dengan kelambaan berfikir, malas dan kebodohan. Makanya kalau orang-orang Amerika begitu melihat orang Asia agak-agak plongok “wah itu pasti makan nasi, susahlah hidupnya”. Jadi strereotype orang di Asia bagi orang-orang di eropa dan amerika adalah karena makan nasi. Mereka aneh melihat kita makan, makan nasinya banyak tapi lauknya hanya sepotong kecil, kalau mereka kan malah lauknya yang banyak dan roti hanya untuk karbohidrat itu sedikit sekali. Karena bagi mereka nasi itu karbohidratnya adalah karbohidrat yang buruk. Kenapa? Karbohidratnya banyak tapi cepat habis energinya (kalorinya), cepat kenyang tapi di realeasenya cepat (time realeasenya tinggi). Jadi orang yang makan nasi itu adalah orang yang cepat lapar, beda dengan orang yang makan protein (time realeasenya lambat) begitu kita kenyang orang tidak gampang makan lagi. Dan hal tersebut berhubungan dengan ras.
5.      Peran gender
Beda gender dengan sexuality (jenis kelamin). Perempuan melekat dalam dirinya dua konsep yaitu sexuality (sebagai female) dan gender. Kalau sexuality itu adalah sifat perempuan yang tidak bisa dirubah karena bersifat kodrati (melahirkan, menstruasi) sedangkan gender seperti masak didapur (apakah kalau memang perempuan itu harus masak didapur, mengasuh anak) jadi gender itu adalah peran-peran yang melekat pada perempuan karena kultur. Tapi kalau peran-peran perempuan yang melekat secara biologis itu sexuality. Ada salah satu suku di daerah pasifik yang justru menjadi kepala keluarga adalah perempuan (mencari nafkah, mempertahankan serangan dari suku lain, mereka aktif, agresif), laki-laki tugasnya hanyalah mengasuh anaknya, mengurus urusan-urusan domestik. Jadi artinya laki-laki sebagai kepala keluarga dalam konsep gender itu perlu digugat (hegemoni terhadap pria bahwa pria itu adalah kepala keluarga) bukan sesuatu yang sejatinya harus laki-laki.
6.      Lembaga keagamaan
Sumber konformitas yang paling utama adalah lembaga keagamaan, apapun yang kita lakukan itu justru yang paling takut adalah karena agama, terbanyak dalam diri kita. Makanya ada lagu bayangkan kalau surga dan neraka itu tidak ada, apa yang akan terjadi kalau surga dan neraka itu tidak ada, akankah kita tetap menjadi orang baik-baik. Surga dan neraka adalah reward and punishment yang disediakan secara spesifik buat kita. Sebenarnya itu merupakan gagasan para sufi namun dijadikan lagu. Orang sufi itu berfikir apakah kita taat terdahap Tuhan itu karena kita mencintaiNya atau karena kita takut kepada nerakanya dan kemudian ingin mendapatkan surganya. Coba kita perhatikan banyak dari doa kita itu isinya “ya Allah ampunilah dosaku, masukkanlah aku kedalam surga”. Tapi orang sufi mengatakan “ya Allah aku tidak pantas untuk berada di surgaMu, tapi aku juga tidak kuat berada di dalam nerakaMu. Kan Tuhan bingung jadinya ini “ini lu mau masuk neraka apa mau masuk surga”. Jadi itu adalah orang yang berharap “ya surga dikit-dikit tidak papalah daripada ditempatkan dineraka”. Jadi ada kaitannya dengan teori kontrol dalam cara berfikir reward and punishment.
7.      Lembaga kontrol sosial
Ø  Kepolisian
Ø  Lembaga peradilan dan penghukuman
Ø  Asosiasi pemberi sanksi
Ø  Lembaga kontrol tidak resmi (satuan pengamanan, private security services, bodyguard, debt collector, lembaga adat)

Kelemahan Teoritik
Box (1981): Teori kontrol tidak dapat menjelaskan perilaku kolektif atau kejahatan serius & sadis, … hanya terbatas pada primary deviance yakni ketika:
Ø  Seseorang hanya terkadang saja melakukan perbuatan menyimpang
Ø  Tidak memerlukan kelompok atau sofistikasi
Ø  Pelakunya tidak memiliki citra diri sebagai deviant
Ø  Tidak secara mendasar dilihat sbg deviant oleh negara



You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Flickr Images

Formulir Kontak