Orang pada saat berada pada strain (kondisi strain yang sedemikian hebat) secara teoritis dia akan melakukan penyimpangan (kejahatan). Faktanya hampir semua anggota masyarakat sebenarnya berada pada posisi strain. Jadi pada waktu kita beruntung sekalipun, tetap kita akan mengalami strain dari kelompok dimana kita berada atau peer dimana kita tinggal. Katakanlah orang yang tidak berada pada posisi yang tidak beruntung itu adalah orang yang punya pekerjaan tetap, punya status sosial yang jelas, tapi bukan berarti strain tidak terjadi, strain tetap akan ada (akan muncul dari peer group, teman-teman dan kelompok), karena ternyata didalam setiap strata dalam kehidupan sosial itu ada strata lagi didalamnya. Kalau kita bicara tentang kelas atas, kelas atas itu tidak homogen, tapi didalam kelas atas itu terdapat kelas-kelas lain. Jadi ada upper higher class, upper middle class dan upper lower class. Artinya orang yang berada didalam strata ataspun dengan sendirinya mereka kemudian terkelompok lagi ke dalam strata-strata tertentu. Orang-orang yang berada pada posisi yang beruntung (pada strata atas tadi) tetap mengalami strain karena mereka berhadapan dengan orang-orang yang walaupun berasal dari strata yang sama tapi juga berasal dari sub strata yang berbeda. Contoh misalkan Alumni Akademi Kepolisian didalam kelas STIK-PTIK satu angkatan sama-sama berpangkat IPTU (itukan kondisinya sama dan dalam strata sama) tapi ternyata didalam kelas satu angkatan tersebut yang berpangkat sama itu terjadi lagi kelas-kelas yang lain (ternyata ada kelompok-kelompok lagi). Ada kelompok yang lebih beruntung dari yang lain, itu adalah sumber strain bagi yang lain. Artinya tidak ada orang yang berada pada posisi yang tidak mengalami strain di dalam hidupnya.
Secara teoritis kalau posisinya
demikian maka kita dapat menduga bahwa banyak orang mencari makna kejahatan,
karena asumsinya orang yang mengalami strain adalah orang yang paling mudah
untuk terjebak pada perilaku menyimpang. Tapi fakta lain menunjukkan hanya
sedikit orang yang kemudian melakukan kejahatan atau penyimpangan dari sekian
banyak orang yang mengalami strain. Berapa jumlah masyarakat miskin atau kelompok
kelas bawah di Indonesia?
Menurut data statistik sekitar 30
juta orang. Tapi faktanya yang menjadi penjahat tidak sampai 30 juta. Dari
populasi di Indonesia rata-rata pelaku kejahatan itu kisaran 1-5% yang
melakukan kejahatan. Kenapa kemudian tidak terjadi situasi dimana banyak orang
miskin tapi tidak banyak melakukan kejahatan? Jawabannya ada pada control
theory. Jadi control theory berasumsi semua orang
berada pada posisi memiliki kecenderungan untuk melakukan kejahatan (siapapun
itu). Jadi tidak ada orang yang tidak mempunyai potensi melakukan penyimpangan
atau kejahatan, semua orang berada pada posisi yang sama. Tapi faktanya tidak
semua orang yang melakukan kejahatan bahkan hanya sebagian kecil saja, kenapa
demikian? Karena ada mekanisme kontrol yang bekerja dan membatasi perilaku
orang (mengendalikan perilaku orang untuk tetap berada kelompok perilaku
konformitas).
Oleh karena itu teori kontrol
berasumsi bahwa kalau kita ingin menjelaskan kejahatan maka penjelasan itu
dapat kita cari dari perilaku yang tidak jahat, kalau kita ingin mengendalikan
kejahatan jangan mengutak-atik kejahatannya, tapi carilah penjelasannya kenapa
orang bisa taat hukum, ada apa dan apa yang terjadi disana. Karena asumsinya
perilaku menyimpang itu adalah perilaku yang alamiah (natural). Perilaku tidak
menyimpang atau perilaku yang konformitas adalah perilaku yang tidak alamiah. Kejahatanlah
yang akan dipaksa oleh aturan. Coba kita perhatikan begitu ada jalan lurus dan mulus,
tidak ada orang yang akan memperlambat laju kendaraannya, semua akan memacu
kendaraannya dengan kecepatan tinggi (hal itu merupakan alamiah). Untuk memaksa
orang agar tidak memacu kendaraannya kemudian dibuat tanggul (polisi tidur/
pita kejut) sehingga kemudian orang terpaksa memperlambat kendaraannya. Kita
seolah-olah melihat mereka pelan itu alamiah, naum sebenarnya tidak mereka itu
terpaksa untuk memperlambat kendaraannya. Seperti halnya di dalam kelas
mahasiswa STIK-PTIK kalau kelas ini dibiarkan dan tidak ada aturan yang
mengatakan harus menggunakan PDH, maka sudah pasti semua mahasiswa pakaiannya
akan berbeda-beda. Jadi berpakaian PDH pada hari ini dan jam ini bukan perilaku
alamiah. Ini adalah perilaku yang dikontrol sehingga kemudian taat semua. Jadi
dalam penjelasan kontrol teori kalau ingin menjelaskan kenapa ada yang
menyimpang, cari penjelasannya kenapa yang lain bisa taat hukum, ada mekanisme
apa yang bekerja. Artinya kalau mekanisme itu bisa kita temukan kenapa orang
lain itu taat hukum, kita dapat dengan mudah mengatakan orang yang tidak taat
hukum ada mekanisme yang tidak bekerja pada dirinya. Mekanisme tersebut bermacam-macam
dan beragam, instrument yang ada dalam kehidupan sosial juga bermacam-macam.
Jadi apabila mahasiswa STIK-PTIK diberikan kebebasan berpakaian dan tidak ada
aturan berpakain dalam perkualiahan, mungkin saja sepatu dan bajunya akan bermacam-macam
dan yang pasti sikap egoismenya akan keluar (pasti mencari yang bermerek serta
ada kecenderungan untuk tidak menggunakan pakaian yang tidak bagus) pasti itu
pilihannya dan itu alamiah. Kalau sampai kemudian menggunakan baju seragam, itu
tidak alamiah. Ini perlu penjelasan kenapa sampai mereka menggunakan baju
seragam. Penjelasannya “oh ternyata ini PUD di STIK-PTIK yang mengatakan selama
perkuliahan mahasiswa wajib menggunakan pakaian PDH dengan segala
kelengkapannya, apabila itu tidak digunakan maka akan ada sanksi yang
dikemudian diberlakukan, sanksi itulah yang kemudian memaksa (kekhawatiran
terhadap sanksi) sehingga kemudian perilaku taat itu muncul. Dalam kehidupan
sosial juga begitu, kalau tidak ada aturan tentang perkawinan dan perkosaan bisa
dimana saja orang akan kawin dan memerkosa (begitu lihat perempuan cantik,
naksir dan langsung kawin) begitu juga perempuan jika melihat laki-laki ganteng
langsung kawin, itu alamiah. Kalau tidak percaya kita lihat kehidupan dunia
hewan dimana mekanisme kontrolnya tidak ada, tapi apabila didunia hewan ada
mekanisme kontrol, ada system territorial, tidak
sembarangan singa betina dikawini oleh singa jantan (begitu ketemu langsung
main), kenapa? Ada teritorial yang dijaga disitu. Didunia hewan juga ada mekanisme
kontrol juga dan itu berlaku (jadi kalau singa itu dia menghargai wilayah
kekuasaannya dengan menggesekkan badannya direrumputan atau di pohon-pohon yang
ada disitu. Jantan lain yang datang, akan mencium aroma jantan yang tertinggal
disitu dan kemudian dia akan menghindar dari wilayah tersebut karena itu adalah
teritorial hewan lain dan dia tidak akan masuk. Karena kalau dia masuk, maka
yang terjadi adalah konflik. Dunia kehidupan sosial juga sama, bahwa ada
mekanisme-mekanisme yang berlaku yang mengendalikan kehidupan sosial.
Didalam dunia hewan mengapa hewan
yang cantik dan menarik itu pasti yang jantan? Kalau manusia yang cantik itu
perempuan? Coba lihat ayam yang cantik itu pasti ayam jago, singa yang cantik/
menarik itu pasti singa jantan (indah dipandang). Semua hewan rata-rata yang
berjenis kelamin jantan adalah yang indah (burung). Jawabannya karena mereka
tidak punya uang. Beda dengan manusia tidak perlu ganteng yang penting ada
uangnya. Bagaimana dia memikat perempuan kalau dia tidak punya uang, jadi dia
(hewan) mengandalkan kejantanannya dan keindahannya. Makanya manusia tidak
ganteng pun tidak masalah, malah orang-orang tidak ganteng itu orang-orang yang
sukses, kenapa? Karena orang-orang ganteng bukan saingan, karena yang ganteng
itu umumnya ditaksir juga sama yang ganteng. Jadi orang yang tidak ganteng
termasuk orang-orang yang beruntung karena saingannya sedikit, yang ganteng itu
ada segmentnya sendiri.
Ahli sosiologi mengatakan “…all
social processes which militate for conformity… as conformity is seen normal or
natural…” (Williams, 1992) semua proses sosial itu tujuannya adalah
untuk memaksa orang agar taat, agar konformitas. Proses sosial dijalankan untuk
menimbulkan ketaatan. Kenapa begitu istri kita hamil, begitu kita USG dan
diketahui jenis kelaminnya, kita lalu belanja macam-macam sesuai dengan jenis
kelamin calon bayi (kalau dia perempuan serba pink, kalau laki-laki serba biru)
maksudnya begitu dia lahir jangan sampai tertukar. Kalau dia perempuan
berperilakulah sebagai anak perempuan. Proses sebelum lahirpun sudah mencoba
untuk memaksa (to militate) agar paling tidak seorang anak akan tampil dalam
berperilaku sebagaimana harapan terhadap perilaku sesuai jenis kelaminnya, jadi
mekanisme kontrol itu jauh sebelum kita lahir sudah bekerja pada diri kita.
Pertanyaannya kenapa perempuan
warnanya pink dan laki-laki warnanya biru? Filososinya pink itu adalah warna
yang paling dekat dengan merah, biru itu adalah warna yang mencerminkan
kelembutan. Kenapa laki-laki diberi warna lembut, perempuan malah diberi warna
yang keras? Karena sifat perempuan itu adalah lemah, oleh karena itu dia
diberikan symbol perilaku yang cenderung untuk mendekati warna yang keras (itu
yang disebut sebagai dolphin strategy atau strategi
lumba-lumba). Jadi ibaratkan ikan, konon (dari persoalan kelengkapan
biologisnya/ bicara tentang naturalnya perempuan), kalau perempuan dia
disimbolkan dengan golden fish (ikan mas) sebabnya lemah, mudah mati, cenderung
tingkat survivenya rendah, begitu listrik mati dan gelembung udara tidak
berfungsi dalam waktu 1-2 jam dia akan mati. Disatu sisi ada ikan yang ekstrem/
kebalikan dari ikan mas yaitu shark (ikan hiu) ikan yang ganas,
tanpa toleransi punya kemampuan bertahan hidup, dan bersebrangan dengan sifat
dari ikan mas. Dolphin strategy baik terhadap perempuan maupun terhadap laki-laki
adalah mencoba membawa 2 sifat tadi ketengah (yang perempuan tidak terlalu
lemah dan yang laki-laki tidak terlalu agresif) maka yang muncul adalah symbol
ikan yang disebut dengan dengan dolphin (lumba-lumba) dia tidak ganas tapi
punya kemampuan bertahan hidup itu luar
biasa, dibadai sekali Dolphin bisa hidup (itu yang disebut sebagai dolphin
strategy). Makanya perempuan diberikan warna yang mendekati warna
merah, laki-laki diberikan warna yang cenderung lembut yaitu biru. Itu adalah
pengharapan-pengharapan sosial terhadap sifat dari seseorang, itu adalah bagian
dari mekanisme kontrol.
Kapan kegagalan mekanisme kontrol
terkait dengan jenis kelamin?
Bisa kita lihat di taman lawang,
Itu adalah kegagalan mekanisme kontrol terhadap harapan-harapan terkait jenis
kelamin. Atau rekan-rekan bisa lihat disalah satu club di Jakarta, kalau rekan-rekan
masuk itu bisa muntah kalau yang tidak biasa. Begitu masuk toilet kondom bertebaran
dimana-mana, tapi kok isinya laki-laki semua padahal kondom banyak sekali.
Dalam kehidupan sosial itu adalah fenomena-fenomena yang menggambarkan bahwa
harapan terhadap jenis kelamin itu gagal. Orang berperilaku tidak sesuai dengan
harapan dari jenis kelaminnya, representasinya ya tempat-tempat seperti itu.
Oleh karena itu semua proses sosial itu adalah mencoba memaksa semua orang taat
hukum sehingga konformitas itu terlihat normal, natural, padahal itu tidak
normal dan tidak natural. Tapi akhirnya kita melihat bahwa perilaku mahasiswa STIK-PTIK
yang normal, yang natural kalau kuliah pakai pdh itu normal sehingga begitu ada
yang bajunya lain itu kita anggap tidak normal. Ini adalah cara berfikir statistik.
Statistik itu mengatakan sesuatu itu normal atau tiak normal tergantung dari
banyak tidaknya populasinya. Kalau rata-rata populasi berperilaku X maka
perilaku Y adalah tidak normal (statistik itu gampang menandainya). Jadi karena
dari kecil kita dibiasakan sosialisasi terhadap nilai, terhadap harapan-harapan
sosial masyarakat, kita seolah-olah melihat perilaku-perilaku taat hukum (dalam
sosiologi disebut dengan conformity itu) itu adalah perilaku
yang normal, padahal itu tidak normal atau perilaku yang semulanya dipaksakan. Kalau
rekan-rekan mengendarai kendaraan sport tidak ngebut dan jalanan lurus, itu
kenapa, ada mekanisme yang bekerja tetapi mekanismenya bukan mekanisme yang
bersifat eksternal tapi internal dalam diri kita (kekhawatiran kalau saya
ngebut dan tabrakan lalu anak/ istri saya bagaimana). Jadi itu adalah bagian
dari sarana pengendalian.
Oleh Karena itu dalam strategi
militer rasa takut itu adalah anugrah karena perang yang berhasil adalah perang
yang dilandasi rasa takut. Karena perang apapun kalau sudah tidak dilandasai
rasa takut maka perang itu tidak akan pernah menang. Kenapa? Karena tidak
memerlukan strategi apapun, cukup maju tembak selesai. Tapi orang yang takut
dia akan berkalkulasi, membangun strategi/ rancangan sedemikian rupa itu adalah
orang yang berhasil (adalah orang yang selalu memiliki rasa takut dalam
dirinya). Asuransi itu tidak akan laku kalau orang tidak takut/ khawatir. Coba
kita banyangkan kita beli kendaraan mahal, kalau kita tidak takut kecurian buat
apa kita beli asuransi. Dan itulah yang membuat kita menjadi orang yang selamat
dari rasa takut itu, begitu benar terjadi pencurian, kita tidak akan rugi apa-apa.
Inilah yang disebut strategi orang yang tidak punya rasa takut adalah orang
yang kalah dalam perang karena biasanya dia tidak menyusun rencana dalam
perang. Pertempuran dan perang itu adalah dua hal yang berbeda, orang inggris
mengatakan perang itu adalah war sedangkan pertempuran itu adalah
battle.
Masuk kedalam battle kita perlu/ butuh keberanian rasa takut tidak penting,
tapi begitu kita masuk kedalam pemikiran perang maka disitu kita butuh rasa
takut untuk menyusun rencana, mengatur strategi dll.
Itulah yang disebut konformitas
itu karena sudah dibiasakan dari kecil (sebelum kita lahir) dia akan terkesan
normal, terkesan natural. Dalam memahami teori kontrol kemudian itu “It
is criminality which is natural, and conformity
needs explanation jadi kejahatan itulah yang normal sebenarnya, kalau
ada orang taat hukum brarti disitu butuh/ perlu penjelasan yang banyak. Tapi
begitu orang melakukan kejahatan ya wajar memang sejatinya manusia, pasti
mengikuti egoisnya, cenderung untuk menerapkan prinsip survival of the fittest (yang
kuat dan mampu bertahan akan tetap lestari).
There Is Nothing Natural About
Conformity (tidak ada yang alamiah pada saat ada orang yang taat
aturan). Sebagaimana kita ketahui banyak waktu yang dihabiskan (bertahun-tahun)
dalam hidup kita kemudian hanya untuk mengetahui mana yang boleh dan mana yang
tidak boleh dalam hidup itu. Dari kecil kita hanya diajari itu saja (ini boleh
dan ini tidak boleh, ini pantas dan ini tidak pantas), seorang anak perempuan
apalagi/ dalam kehidupan tradisional kita banyak sekali pantangannya sampai
duduk didepan pintu pun itu jadi masalah. Jadi sepanjang hidup kita itu yang
diajari hanya itu (mana yang boleh dan mana yang tidak boleh). Bahkan kita
kuliah pun itu berbicara apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Mana yang
boleh dan tidak boleh dilakukan dalam dunia praktis diajarkan di dunia
akademik. Jadi itu yang dimaksud dengan as most of our formative years are spent
learning what is permitted behavior and what is not (mana perilaku yang
boleh dan mana yang tidak boleh).
Teori-teori kontrol menjelaskan
bagaimana Kontrol theories explains how societies persuade people to live within
these rules” (Williams, 1992) (masyarakat mengarahkan/ memaksa orang-orang
untuk hidup berdasarkan aturan yang boleh atau tidak boleh). Jadi teori kontrol
ini adalah cara berfikir yang terbalik dari teori yang sebelumnya dibahas
dimana orang sibuk mencari kejelasan tentang mengapa orang berbuat jahat, tapi
teori kontrol justru lebih banyak menghabiskan waktu untuk berfikir mengapa
orang taat hukum, sehingga kalau ada ketidaktaatan itu pasti mekanisme yang
bekerja pada orang yang taat hukum itu tidak berlaku/ berjalan pada orang-orang
yang tidak taat hukum. oleh karena itu kalau kita ingin mengintrvensi kejahatan
maka berlakukanlah semua hal yang berlaku pada orang yang taat hukum.
Teori kontrol pada masa awal itu
dikembangkan oleh Albert J. Reiss (1951).
Beliau mengajukan konsep kontrol yang disebut dengan personal kontrol dan
social kontrol.
Personal kontrol adalah
kemampuan orang untuk bertahan untuk tidak mempergunakan metode yang tidak
disetujui dalam kehidupan sosial dalam mencapai tujuan. Jadi orang yang
personal kontrolnya baik adalah orang yang punya kemampuan atau resistensi
untuk tidak menggunakan cara-cara yang tidak disukai dalam masyarakat dalam
mencapai tujuan. Jadi orang-orang yang resistensinya tinggi tidak menggunakan
cara-cara yang menyimpang dalam mencapai tujuan itulah orang yang personal
kontrolnya baik. Resistensi itu umumnya muncul karena persepsi-persepsi dalam
dirinya, apa yang membangun persepsi dalam diri tadi mulai dari moral, pemahaman
agama, nilai dan lain-lain. Kapan itu kita dapatkan? Yaitu pada saat kita
menjalani proses sosialisasi dalam kehidupan sosial. Oleh karena itu George
Herbert Mead mengatakan sosialisasi itu adalah semua proses sosial (all social process learn to be a participant member of society),
jadi yang dimaksud sosialisasi itu adalah proses belajar dimana seorang anak
akan mulai memahami atau apa yang menjadi persyaratan bagi dirinya untuk
menjadi seorang warga dalam sebuah masyarakat. Jadi kalau masuk kesebuah
masyarakat pasti kita belajar disitu (apa sih disini yang boleh dan tidak
boleh, apa sih yang beharga disini dan yang tidak berharga).
Social kontrol itu
kebalikan dari personal kontrol. Kalau personal kontrol adalah kemampuan
individual untuk resist/ menolak/ bertahan dari godaan-godaan menggunakan
metode atau cara yang tidak disukai dalam mencapai tujuan. Sementara konsep
social kontrol adalah kemampuan kelompok kemampuan kelompok atau lembaga sosial
tertentu untuk mengefektifkan norma atau aturan tertentu. Jadi social kontrol
itu adalah kemampuan dari kehidupan diri kita untuk memastikan aturan-aturan
itu berjalan, missal tempat tinggal kita dimana kita tinggal disitu masyarakat
begitu ada penyimpangan tidak diam saja. bentuknya adalah penolakan,
pergunjingan, gossip dll itu adalah bagian dari sosial kontrol, yang bahaya itu
adalah ketika masyarakat tidak bereaksi artinya sosial kontrol disitu lemah.
Tapi sepanjang masyarakat itu bereaksi, apapun bentuk reaksinya sepanjang reaksi
itu penolakan maka dapat kita katakana bahwa masyarakat itu sosial kontrolnya
bekerja baik. Derajat penolakan itu tidak harus selalu dalam bentuk
tindakan-tindakan keras (mulai tidak respek, bergunjing, mencemooh, gosip,
menebar isu itu adalah bagian dari cara masyarakat menolak perilaku-perilaku
yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
sosial.
Kemudian teori Albert
J. Reiss ini dikembangkan kembali oleh
Walter Reckless (1967, 1973). Walter Reckless mengajukan konsep tentang
pencegahan dari perilaku menyimpang.
Yang dimaksud dengan pencegahan
adalah kemampuan baik individu maupun kehidupan sosial untuk mengaktifkan faktor-faktor
kontrol yang menjauhkan bagi terjadinya perilaku yang menyimpang. Apa saja
faktor-faktor yang perlu diaktifkan itu? Sosial kohesifitas (kepatuhan sosial)
adalah cara/ salah satu mekanisme yang bisa diaktifkan.
Kemudian secara individual
Reckless menerapkan apa yang disebut dengan self concept (konsep
diri). Konsep diri itu adalah hal yang secara personal punya kemampuan
menangkal perilaku yang menyimpang. Jadi semakin baik konsep diri yang dimiliki
seseorang biasanya semakin tinggi resistensinya untuk melakukan penyimpangan.
Oleh karena itu dalam kehidupan sosial itu kita harus punya konsep yang jelas
tentang siapa kita (siapa saya). Konsep diri itu biasanya muncul dari status
yang kita miliki dan status itu bisa beragam. Karena umumnya status itu terkait
dengan semakin banyak peran yang kita jalankan maka semakin banyak peran status
yang kita miliki. Sebagai laki-laki kita punya status bisa jadi seorang ayah,
seorang suami, anak dari seorang ibu (itu adalah status). Dari sisi pekerjaan
status sebagai polisi, sebagai mahasiswa. Sekarang kita mendefinisikan diri
kita masuk ke status yang mana. Status utama kita dalam hidup (kalau ditanya orang
anda itu siapa?) apa kira-kira itu, itulah yang disebut master status. Pemahaman
terhadap master status yang kita miliki kemudian akan memunculkan konsep diri,
begitu akan melakukan pelanggaran lalu lintas (wah saya ini kan polisi, malu
kalau sampai melanggar lalu lintas), itu adalah onsep diri. Begitu akan
melakukan sesuatu yang negative kita ingat “wah janganlah saya ini kan punya
anak, kalau sampai anak-anak tahu saya kan akan malu”, itu merupakan konsep
diri.
Menurut Reckless konsep diri ini adalah sarana pengendalian yang paling
efektif. Oleh karena itu orang yang konsep dirinya tidak terbentuk biasanya
orang ini akan bermasalah. Konsep diri “saya ini kan mahasiswa” apa yang
kemudian terjadi? Karena konsep dirinya mahasiswa ya tugas nya belajar, maka
kalau sampai ada yang tidur itu konsep diri sebagai mahasiswa ya tidak
terbentuk. Harus dikaji ulang statusnya.
Teori kontrol ini lebih bersifat
psikologis.
Kemudian teori kontrol yang
bersifat sosiologis dikemukakan oleh Travis
Hirschi (1969). Hirschi
mengatakan bahwa Kejahatan itu normal dan hanya dapat dicegah dengan mencegah
munculnya kesempatan guna melakukannya. Filosofinya itu, bagaimana untuk cara
mencegahnya? Ya kesempatan untuk melakukannya yang dihilangkan. Bagaimana cara
menghilangkan kesempatannya? Maka efektifkan lingkungan, buat orang terikat
pada lingkungannya. Maka teori dari Hirschi
kemudian dikenal dengan “sosial warms theory” (teori ikatan
sosial). Jadi kalau orang terikat dalam kehidupan sosial maka cendrrung untuk
tidak melakukan penyimpangan.
Apa saja ikatan sosial itu? Ada 4
komponen yaitu :
1. Attachment. Bagaimana kita attach dengan orang
lain, dengan keluarga, family dll. Attachment itu adalah kedekatan, bagaimana
kita merasa bahwa diri kita penting bagi orang lain, kita diharapkan oleh
banyak orang. Idealisme dengan ketidakinginan untuk mengecewakan orang-orang
dekat. Biasanya attach itu
landasannya adalah empati, rasa sayang (saying kepada anak dan istri). Jadi
attach itu mencegah kita untuk melakukan penyimpangan. Dalam kehidupan sosial
attachment itu penting, bagaimana kita membuat diri kita kemudian merasa
dibutuhkan oleh lingkungan tempat tinggal kita. Kita bisa membanyangkan
lingkungan seperti apa yang membuat kita attach dengan lingkungan disekitar
kita. Yang jelas bukan lingkungan tempat tinggal kita dimana kita datang pagi,
datang malam, pagi2 sudah hilang lagi. Itu tidak akan ada attachment.
2. Commitment. Tapi adalah
lingkungan dimana kita bisa membuat kita berkomitmen. Coba bayangkan kalau kita
sayang, dekat terhadap seseorang kalau kemudian kita intens berhubungan dengan
seseorang pasti kemudian akan tumbuh komitmen. Bagaimana ciri2 orang yang
komit? Orang yang komit adalah orang yang merasa kehilangan apabila dia
dipisahkan dari orang yang menyayanginya. Jadi kalau kita merasa, alah kalau
putus dengan istri saya besok saya bisa cari lagi (itu tidak punya komitmen),
orang yang punya komitmen “saya tidak bisa membayangkan jika hidup saya pisah
dengan pacar saya”, “saya tidak bisa apa yang terjadi dengan diri saya jika
saya berpisah dengan anak-anak saya” itu adalah komitmen. Kita apabila ingin
menguji komitmen sebagai anggota polisi gampang, bayangkan kalau dipecat. Apa
yang akan terjadi? Semakin tidak banyak alternative yang dimiliki maka semakin
tinggi komitmennya, tapi apabila berfikir “alah dipecat dari polisi gak papa,
saya ini kan jadi polisi Cuma hobi saja” itu orang yang lemah komitmennya.
Dalam lingkungan/ dalam kehidupan sosial juga begitu, orang yang komitmen pada
lingkungannya baik adalah orang yang tidak bisa membayangkan kalau
tetangga-tetangganya tidak suka dengan dia, kalau tetangga-tetangganya sudah
mulai cuek sama dia karena dia dianggap bukan lagi orang yang terhormat, itu
adalah orang yang komitmennya tinggi dalam kehidupan sosial. Jadi komitmen itu
bisa diukur dari seberapa banyak kehilangan-kehilangan sosial yang akan kita
alami apabila kita dipisahkan dari lingkungan. Sama dengan di organisasi polri,
apabila rekan-rekan ingin menguji seberapa banyak komitmen rekan-rekan terhadap
organisasi polri maka bayangkan seberapa banyak kerugian-kerugian yang akan rekan-rekan
alami kalau rekan-rekan dikeluarkan dari polri. Kalau brimob tidak diragukan
komitmennya, biasanya harga mati bagi brimob, karena rata-rata anggota brimob
komitmennya terbentuk dan dibentuk. Situasi pekerjaan itu membuat komitmen
menjadi tinggi soliditas, kepaduan, saling tergantungan dari anggota membuat
komitmen kemudian menjadi tinggi sehingga pada saat dia merasa akan keluar dari
komunitas itu dia akan merasa begitu banyak kehilangan yang dia alami secara
psikologis dan sosial.
3.
Involvement.
Kalau kita sudah punya
komitmen, biasanya kita akan juga mempunyai keterlibatan (involment). Jadi orang-orang
yang punya involvement sudah pasti dia punya attachment dan komitmen makanya
dia mau involve, kalau dia tidak involve dia bakal stress. Coba bayangkan
sebagai anggota polisi yang menjadi polisi hanya sekedar hobi saja, dia
dilibatkan atau tidak dalam kegiatan pasti dia santai-santai saja, begitu
membaca sprin dan tidka ada namanya langsung berucap “Alhamdulillah”. Berbeda
dengan yang komitmennya bagus, begitu membaca sprin dan tidak ada namanya ya
dia pasti akan stress. “Ada apa ini? Kok pimpinan tidak memasukkan nama saya
ini kenapa?”, dia akan bingung. Jadi kalau orang yang komitmen dan
attachmentnya tinggi biasanya kemauan untuk keterlibatan dalam sebuah kegiatan
biasanya juga tinggi. Jadi orang yang mau kerumah tetangga, orang yang datang
saat diundang arisan, yasinan, itu adalah orang yang pasti mempunyai komitmen
baik terhadap lingkungannya. Kalau orang yang komitmennya tidak baik terus
diundang “siapa sih bapak ini, sering banget sih ngadain acara”, itu komitmen
dan involvementnya rendah. Menurut Hirschi semakin banyak keterlibatan orang
dalam lingkungan itu akan semakin baik kemampuan mencegah dari lingkungan untuk
membuat dia tidak melakukan penyimpangan.
Kenapa
demikian? Karena involve itu membuat kita dikenal (lingkungan itu akan kenal
dengan kita). Begitu mau mampir ketempat yang dia lihat, kita sudah
mulai mikir “wah nanti ada tetangga yang melihat mobil saya” akhirnya gak jadi.
Tapi kalo kita involvenya rendah, begitu papas an dengan tetangga juga tidak
kenal, begitu sudah didalam masuk “bapak kan yang dijalan itu”, “iya saya
tetangga bapak”, “wah ketemu tetangga disini”. “Kalu begitu kita sama-sama
kompak ajalah dan sama-sama tau sajalah pak”. Tapi bayangkan kalau involvenya
tinggi, jadi rekan-rekan kalau kita mau mencegah penyimpangan buatlah involvement
kita tinggi dalam kehidupan sosial. Semakin banyak kita dikenal orang semakin
banyak lingkungan dimana kita terlibat dalam kegiatan, itu akan mempunyai
kemampuan yang membuat kita mempertimbangkan ulang setiap akan mengambil
keputusan yang tidak disukai banyak orang, pasti menjadi bahan pertimbangan.
Orang yang stress itu adalah orang yang pada saat mengalami kesalahan dan dia
tahu, semua orang tahu. Makanya kalau penjahat tidak dikenal orang, ditangkap
10 kalipun santai saja dia (tidak ada yang kenal dirinya). Makanya pelaku
kejahatan paling senang melakukan kejahatan diluar negeri (kampungnya) karena
begitu ditangkap tidak ada yang kenal disana, dia masuk penjara pun keluarganya
tidak tahu. Jadi dia terbebas dari komitmen dan sanksi-sanksi sosial yang
muncul dimana kelompok dia tinggal, Itu nyaman buat dia. Karena yang paling
tidak nyaman bagi kita itu adalah sanksi yang muncul dari lingkungan, itu jauh
lebih tegas dan mengena daripada sanksi pidana.
4. Belief. Apabila kita sudah attach,
komit dan involve dengan lingkungan maka akan muncul juga apa yang disebut
sebagai keyakinan terhadap nilai, norma. Kita validitas terhadap nilai itu
kuat, apabila kita menyimpang kita akan terkena sanksi.
Kemudian Hirschi
diluar konsep ikatan sosial mengatakan kejahatan dapat dicegah dengan mengatur
perilaku tersebut melalui prinsip rewards and punishment, jadi
attachment dan lain-lain tadi merupakan bagian dari reward. Tapi juga disitu
tersedia sejumlah punishment kalau orang melakukan penyimpangan. Kan enak kalau
kita berprestasi dan melakukan kebaikan semua orang tahu dan menghargai pasti
nyaman bagi kita, dan baik pula bagi ktia apabila kita melakukan penyimpangan
semua orang juga tahu, sehingga kemudian perilaku itu adalah perilaku yang akan
kita kita hindari. Coba bayangkan kalau kita melakukan penyimpangan kemudian
ketahuan tapi tidak ada efek apapun dari lingkungan tempat tinggal kita pasti
fine-fine saja buat kita (gak masalah). Jadi menjadi orang yang paling baik itu
kalau ingin menghindari penyimpangan adalah jangan menjadi orang yang nothing
to loose, orang yang seperti ini adalah orang yang tidak pernah
mempertimbangkan apapun lagi dalam hidupnya (gak ada rugi dan tidak ada yang
dikhawatirkan). Jadi kalau kita punya anak jangan sampai anak kita berada pada
posisi nothing to loose (mau melakukan apapun dia, dia tidak akan
mengalami kerugian apapun) kalau bisa pastikan bahwa keluarga kita adalah orang
yang akan mengalami dampak yang luar biasa kalau dia melakukan penyimpangan dan
itu akan membuat dia tidak berani melakukan penyimpangan.
Maka dalam islam itu berlaku “jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka”, caranya adalah dengan membuat diri kita itu tidak kebal
terhadap sanksi sosial, justru itu membuat kita gerah, justru itu
mengkhawatirkan diri kita, itu jauh lebih manjur.
Implikasinya tidak ada orang yang selamanya melanggar hukum
dan tidak ada orang yang selamanya taat hukum dalam konsep ini. Dalam pengaruh kontrol,
orang yang baik-baik itu adalah karena dia berada pada posisi kontrol bekerja
baik pada dirinya, kalau dia terlepas dari ikatan-ikatan kontrol itu ya pasti
dia melakukan penyimpangan, jadi tidak ada orang yang selamanya baik dan
selamanya tidak baik. Sangat bergantung pada situasi eksternal dan internal sifat
pengendalian yang berlangsung pada dirinya. Oleh karena itu kalau kita melihat
cerita dalam Islam, orang yang pertama kali dan jauh lebih dahulu masuk islam
adalah Bilal Bin Rabbah. Jauh sebelum Ali Bin Abu Thalib masuk islam. Tapi
siapa yang kemudian derajatnya lebih tinggi (yang belakangan) Ali Bin Abu Thalib
lebih tinggi derajatnya daripada Bilal Bin Rabah, dia dipastikan dan dijamin
akan mendapatkan syafaat dari di hari H , Bilal Bin Rabbah tidak, tapi Bilal
Bin Rabbah sudah jauh lebih dahulu masuk islam. Oleh karena itu, jangan pernah
menghujat ketaatan orang karena dia tidak taat terhadap Tuhannya. Karena bisa
jadi orang yang tidak taat saat ini, 5 tahun kedepan begitu dia mulai taat,
kualitas ketaatannya jauh dari kualitas kita, hati-hati bahwa ini adalah
sesuatu yang amat dinamis. Lalu dalam sejarah islam ternyata orang yang sudah
berbicara dengan Rasul yang sedemikian intens didalam islam, siapa yang
meragukan ketaatan Bilal Bin Rabbah (tidak ada yang meragukan), tapi ternyata
dia dikalahkan derajat ketaatannya oleh orang yang kemudian belakangan masuk
islam. Oleh karena itu jangan terlalu memuji orang yang taat saat ini dan
jangan juga terlalu menghujat sehingga tidak memberikan kesempatan pada orang
yang kita lihat bersalah pada saat ini. Kenapa? Karena segala sesuatunya ditentukan
oleh mekanisme kontrol yang bekerja pada dirinya.
Jika berbagai elemen kontrol sosial tidak lagi berfungsi,
maka akan muncul situasi sbb :
Yang kita khawatirkan mekanisme kontrol ini adalah kunci
dari tinggi rendahnya crime rate/ angka kejahatan/ dari
banyak tidaknya insiden kriminal.
1.
Fasilitasi kejahatan adalah kesempatan/ peluang
orang untuk melakukan kejahatan itu meningkat dan ada dimana-mana. Makanya CCTV
itu menjadi penting karena CCTV itu adalah mekanisme kontrol yang bisa membuat
orang kemudian berfikir ulang untuk melakukan penyimpangan. Kemudian pada saat
elemen kontrol itu tidak bekerja, dukungan sosial untuk melakukan kejahatan
menjadi meningkat, ini yang berbahaya. Orang tidak lagi dihujat, melakukan
penyimpangan, orang tidak lagi dicela melakukan penyimpangan, orang tidak lagi
dicaci maki karena penyimpangan, malah tetangga sebelah mengikutkan kalau
mekanisme kontrol tidak bekerja, makanya mekanisme kontrol itu menjadi penting.
Kemudian dari sisi penegak hukum resiko orang itu tertangkap dan ketahuan itu
menjadi turun karena tidak ada orang yang perduli dengan perilaku menyimpang. Jadi
awareness orang terhadap perilaku menyimpang itu menjadi hilang, sifat
polisional dari semua orang kemudian menjadi rendah. Ada orang masuk ke suatu
kampung, orang biasa saja. Tapi coba kalau polisionalnya tinggi, jadi kalau
orang masuk “tuh orang mau kemana ya, disitukan tidak ada jalan”, mulai
berfikir, sehingga begitu ada tetangga yang kemalingan pun kemudian tetangga
yang lain cepat tahu. Tapi ada lingkungan yang bagitu ada orang yang sudah
kerampokan, korbannya meninggal dan ketahuannya karena tercium bau korban, maka
celakalah lingkungan seperti itu. Seperti kasus di Australia (mati dirumah) itu
karena mekanisme kontrol lingkungannya rendah.
Orang tidak terlalu perduli dengan lingkungan disekitarnya, jadi masalah
justru karena ada aroma (bau).
2. Penentuan kejahatan. Pada saat kontrol sosial
itu rendah, maka orang akan melihat melanggar hukum itu jauh lebih menarik
daripada taat hukum. Jadi pelanggaran itu adalah sesuatu yang attraktif. Kita
lihat pada peristiwa 1998, pada saat mekanisme kontrol tidak bekerja, pada saat
mekanisme kontrol di Indonesia sedang mengalami down saat itu orang yang tidak ikut
menjarah adalah orang yang rugi. Maka orang-orang yang baik-baik sekalipun
ikut-ikutan karena melanggar hukum atraktif saat itu (orang tidak ada yang
mengawasi dan tidak mungkin ditangkap dan ditahan), jadi sesuatu yang nyata-nyata
salah kemudian menjadi atraktif/ menarik untuk dilakukan. Kemudian pada saat mekanisme
kontrol ini tidak bekerja yang mungkin terjadi adalah orang cenderung memiliki
jenis kejahatan tertentu karena terkait dengan faham utilitarianistik (sesuatu
yang bermanfaat itu cenderung lebih dikejar). Begitu polisi lalu lintas tidak
ada, orang jarang ditilang disitu, begitu dia buru-buru “ah ini kan lampu lalu
lintasnya merah, tapi lagi sepi, udahlah trabas aja”. Jadi orang cenderung
mengejar apa yang penting bagi dirinya pada saat itu. Cenderung prioritas-prioritas
terhadap kebutuhan diri itu menjadi pengemuka mengalahkan pertimbangan-pertimbangan
lain. Coba kalau kita lihat di Jakarta ini semua orang pandai akrobat kalau
naik sepeda motor, begitu orang sudah mepet masih dia berbelok badannya pun
ikut berbelok-belok juga untuk menghindari kendaraan, sangat pandai sekali. Jadi
berlalu lintas itu bukannya prinsipnya bergantian tapi prinsipnya berebut,
siapa yang lebih pandai berakrobat dialah yang menang. Sehingga kita yang
membawa kendaraan dengan sabar biasanya harus sering-sering periksa jantung
kalau di Jakarta ini (jangan-jangan juga bermasalah jantung kita ini karena
setiap hari kita spot jantung).
Sumber-sumber konformitas (siapa saja sih yang membuat kita
menjadi taat, yang membuat ktia menjadi tidak berani melanggar hukum, siapa
sajan yang membuat kita tidak berani untuk mengikuti naluri kita untuk
berperilaku menyimpang) :
1.
Keluarga.
Keluarga merupakan institusi dalam kehidupan sosial
yang berdampak luar biasa dalam pembentukan perilaku orang (baik pembentukan karakter
maupun bagaimana orang memilih perilaku). Kalau bicara karakter, keluarga itu
adalah peletak dasar tentang sifat/ karakter diri kita. Makanya pada saat kita
ditanamkan nilai-nilai didalam keluarga maka karakter yang kita tahu didalam
keluarga itu adalah karakter yang amat sulit berubah, maka secara konsep itu
yang disebut sebagai basic personality struckture
(struktur kepribadian dasar itu dibentuk didalam keluarga). Kita boleh saja
dididik dipendidikan Kepolisian (dibasis, ikut dikjur) tapi yang namanya basic
personality struckture itu akan muncul dan mewarnai bagaimana kita menjadi
polisi. Kalau dasarnya murah hati, jabatan apapun tetap murah hati. Kalau
kepribadiannya sok, dibawakan senjata apapun dia cenderung sok. Maka dipolisi
ini menempatkan personil itu harus membaca karakter, jadi rekan-rekan apabila
nanti menjadi wakapolres atau kabag sumda di dalmas (tim negosiator itu) pilih
orang jangan karena umurnya (tua), jangan karena jenis kelaminnya tapi pilihlah
orang karena karakternya. Ditengah orientasi kita menempatkan negosiator sejauh
ini adalah persepsi bahwa pihak lain akan menghargai, maka kita tempatkan
perempuan (seperti ibu saya), kita tempatkan yang lebih tua (maka kalau dia
lebih tua pendemo itu berfikir ini seperti bapak saya), persepsi kita tentang
bagaimana orang lain mempersepsikan tentang kita. Itu cara kita memilih petugas
negosiator. Sehingga kita cenderung mengabaikan kemampuan dan karakter dari
negosiatornya sendiri. Nah ini cara memilih yang harus agak hati-hati, tidak
salah kita membaca persepsi dari demonstran terhadap negosiator itu tapi jangan
lupa juga karakter yang kita taruh didepan itu adalah karakter yang memang
terpilih dan memiliki sejumlah kemampuan dan sejumlah bentuk-bentuk personality
yang memang kompatibel dengan situasi yang dihadapi. Tua sih tua tapi
personelnya gampang membentak ya percuma juga, perempuan sih perempuan tapi
kalau ngomong pedes itu malah memprovokasi. Jadi harus ada keseimbangan
persepsi dari para demonstran dengan kemampuan karakter yang akan kita
kedepankan itu.
2.
Sekolah
Sekolah menularkan sejumlah nilai, nilai yang paling
ditanamkan disekolah adalah :
Ø
Independence (Kemandirian), disiplin
(kalau dirumah pipis saja minta dianterin, pakai sepatu dipakaiin, begitu
disekolah gurunya langsung ngomong “eh sepatunya dipakai sendiri ya jangan
minta pakaiin mamanya?”.
Ø
Achievement. Disekolah anak
diajarkan prestasi, dirumah anak itu apapun yang dia lakukan selalu orang tua
mengatakan “bagus, pintar”, tapi disekolah pintar itu ada ukurannya (ada pencapaian
tertentu sehingga orang menjadi pintar). Kalau di TK dikasih bintang, kalau
tulisannya bagus bintangnya 5, kalau jelek bintangnya 1 itu sudah menunjukkan
bahwa sesuatu yang dianggap bagus itu ada takaran2nya dan itu ditanamlan
disekolah.
Ø
Spesifiksitas. Sesuatu itu spesifik,
kalau anak jelek dalam pelajaran biologi ya treatmentnya di biologi saja,
dimarahi gurunya ya di biologi. Begitu di pelajaran bahasa Indonesia dia tidak
akan dimarahi lagi. Tapi kalau dirumah begitu mecahkan gelas dari pagi-sore-besok
lagi masih dimarahin juga. Tidak semua hal diberlakukan sama.
Dirumah nenek, cucunya itu tidak pernah salah, begitu
kita mau ngomelin anak sedikit “kamu ini kan itu anak kecil, jangan dia kan
masih kecil”, terus kapan terbentukkan kalau masih kecil sudah tidak boleh
dipertajam/ diasah (malah disafe). Makanya kalau anak itu jangan terlalu sering
disuruh minap dirumah neneknya. Karena nenek itu (orang tua kita) boleh dia
keras sama kita pada saat kita kecil bahkan kita dipukul, tapi begitu dengan cucunya
dia paling lemah. Tidak akan bisa membentuk anak kita sama dengan nenek (orang
tua) membentuk diri kita. Jadi jangan berhadap “papa saya ini kan hebat, saya
bisa kayak gini karena papa saya, jadi gak papalah anak saya tinggal sama
papa”, oh jangan harap. Yang muncul lain nanti karakternya.
3.
Rekan bermain, rekan kerja dan lingkungan tempat
tinggal (peer group)
Itu adalah orang-orang dekat dalam aktivitas kita
sehari-hari, itu adalah sumber-sumber konformitas. Kita bisa rasakan begitu
melihat semua turun dari flat, kita yang masih pakai sarungan pun buru-buru
pakai PDH. Gak tau apa yang terjadi pokoknya begitu semua turun cepat-cepat
pakai celana juga. artinya peer group itu kemudian membuat kita menjadi
konformitas. Tempat bermain ini agak bahaya juga, biasanya anak sering
mengalami apa yang disebut dissonance kognitif (apa yang
dipelajari dirumah, apa yang dipelajari disekolah itu tidak sesuai dengan apa yang
dia temukan diantara teman-teman bermain). Anak diajarkan santun dan baik tapi
begitu ketemu teman-temannya langsung ngomong “bego” dan itu masih mending,
yang celaka lagi apabila bagian tubuh yang disebut-sebut. Dirumah dia tidak
pernah diajarkan tentang organ tubuh (jenis kelamin, alat kelamin) begitu
ketemu teman-temannya langsung teriak menyebut kea lat kelamin laki-laki,
menyebutkan kea lat kelamin perempuan. Dia pulang langsung bertanya kepada
orang tua “ma itu artinya apa sih ma?”, Mamanya bingung juga menjelaskannya,
dan langsung menjawab “itu tongkat nak. Besoknya pulang lagi kerumah, mamanya
lagi nyuci piring “mah di itu ngomong ini lagi, apa artinya ma?”, “oh itu
piring” Mama menjawab. Besoknya ketemu Pak Haji bawa tongkat eh si anak
teriak-teriak pak haji bawa alat kelamin “…”. Rupanya pak haji tanya “anak
siapa kamu?”, anak menjawab “anak Ibu … sedang mencuci alat kelamin …”. Jadi
itu yang disebut dissonance kognitif. Peran orang tua adalah menetralisir dan
harus dijelaskan dengan cara bijak. Di Indonesia peran-peran ketimuran masih
membatasi gender.
4.
Ras
Pada negara yang multiras biasanya kita akan
berperilaku cenderung berperilaku sebagaimana ras kita diharapkan berperilaku.
Orang Asia kalau di Amerika pasti tidak mau masuk bar-bar dimana orang kulit
hitam ada disitu. Orang kulit hitam di Amerika tidak akan masuk bar dimana
orang kulit putih yang ada disitu dan sebaliknya. Artinya perilaku-perilaku itu
dijaga berdasarkan rasnya. Kalau orang Asia terutama ras timur (China, Jepang,
Melayu) di Amerika selalu diledek karena makan nasi, jadi makan nasi itu jelek
sekali bagi orang-orang di Amerika. Makan nasi itu selalu dikaitkan dengan
kelambaan berfikir, malas dan kebodohan. Makanya kalau orang-orang Amerika
begitu melihat orang Asia agak-agak plongok “wah itu pasti makan nasi, susahlah
hidupnya”. Jadi strereotype orang di Asia bagi orang-orang di eropa dan amerika
adalah karena makan nasi. Mereka aneh melihat kita makan, makan nasinya banyak
tapi lauknya hanya sepotong kecil, kalau mereka kan malah lauknya yang banyak
dan roti hanya untuk karbohidrat itu sedikit sekali. Karena bagi mereka nasi
itu karbohidratnya adalah karbohidrat yang buruk. Kenapa? Karbohidratnya banyak
tapi cepat habis energinya (kalorinya), cepat kenyang tapi di realeasenya cepat
(time
realeasenya tinggi). Jadi orang yang makan nasi itu adalah orang yang
cepat lapar, beda dengan orang yang makan protein (time realeasenya lambat)
begitu kita kenyang orang tidak gampang makan lagi. Dan hal tersebut
berhubungan dengan ras.
5.
Peran
gender
Beda gender dengan sexuality (jenis kelamin).
Perempuan melekat dalam dirinya dua konsep yaitu sexuality (sebagai
female) dan gender. Kalau sexuality itu adalah sifat perempuan yang tidak
bisa dirubah karena bersifat kodrati (melahirkan, menstruasi) sedangkan gender
seperti masak didapur (apakah kalau memang perempuan itu harus masak didapur,
mengasuh anak) jadi gender itu adalah peran-peran yang melekat pada perempuan
karena kultur. Tapi kalau peran-peran perempuan yang melekat secara biologis
itu sexuality. Ada salah satu suku di daerah pasifik yang justru menjadi kepala
keluarga adalah perempuan (mencari nafkah, mempertahankan serangan dari suku
lain, mereka aktif, agresif), laki-laki tugasnya hanyalah mengasuh anaknya,
mengurus urusan-urusan domestik. Jadi artinya laki-laki sebagai kepala keluarga
dalam konsep gender itu perlu digugat (hegemoni terhadap pria bahwa pria itu
adalah kepala keluarga) bukan sesuatu yang sejatinya harus laki-laki.
6.
Lembaga
keagamaan
Sumber konformitas yang paling utama adalah lembaga
keagamaan, apapun yang kita lakukan itu justru yang paling takut adalah karena
agama, terbanyak dalam diri kita. Makanya ada lagu bayangkan kalau surga dan
neraka itu tidak ada, apa yang akan terjadi kalau surga dan neraka itu tidak
ada, akankah kita tetap menjadi orang baik-baik. Surga dan neraka adalah reward
and punishment yang disediakan secara spesifik buat kita. Sebenarnya itu
merupakan gagasan para sufi namun dijadikan lagu. Orang sufi itu berfikir
apakah kita taat terdahap Tuhan itu karena kita mencintaiNya atau karena kita
takut kepada nerakanya dan kemudian ingin mendapatkan surganya. Coba kita
perhatikan banyak dari doa kita itu isinya “ya Allah ampunilah dosaku,
masukkanlah aku kedalam surga”. Tapi orang sufi mengatakan “ya Allah aku tidak
pantas untuk berada di surgaMu, tapi aku juga tidak kuat berada di dalam
nerakaMu. Kan Tuhan bingung jadinya ini “ini lu mau masuk neraka apa mau masuk
surga”. Jadi itu adalah orang yang berharap “ya surga dikit-dikit tidak papalah
daripada ditempatkan dineraka”. Jadi ada kaitannya dengan teori kontrol dalam
cara berfikir reward and punishment.
7.
Lembaga kontrol sosial
Ø
Kepolisian
Ø
Lembaga peradilan dan penghukuman
Ø
Asosiasi
pemberi sanksi
Ø
Lembaga kontrol tidak resmi (satuan pengamanan, private
security services, bodyguard, debt collector, lembaga adat)
Kelemahan Teoritik
Box (1981): Teori kontrol tidak
dapat menjelaskan perilaku kolektif atau kejahatan serius & sadis, … hanya
terbatas pada primary deviance yakni ketika:
Ø
Seseorang hanya terkadang saja melakukan
perbuatan menyimpang
Ø
Tidak memerlukan kelompok atau sofistikasi
Ø
Pelakunya tidak memiliki citra diri sebagai
deviant
Ø
Tidak secara mendasar dilihat sbg deviant oleh
negara
0 komentar