PERMASALAHAN
YANG SERING DIHADAPI OLEH ANGGOTA POLRI ADALAH RENDAHNYA DISIPLIN DAN MOTIVASI
ANGGOTA. SEBAGAI SEORANG PIMPINAN PADA SEBUAH ORGANISASI KEPOLISIAN KITA HARUS
MEMILIKI STRATEGI UNTUK MENGATASI PERMASALAHAN TERSEBUT.
Untuk menentukan strategi
dalam mengatasinya, hal yang paling mendasar adalah kita harus mencoba mencari
akar permasalahan, mengapa seorang personil/ anggota polri tersebut tidak
disiplin atau tidak berkinerja sesuai kemampuan yang dimilikinya? Mengapa
anggota tersebut memiliki motivasi yang rendah dalam menghadapi tugas? Kita
perlu meneliti bagaimana OH (Organisation Health) dalam lingkungan kerja yang
ada apakah dapat mendukung pelaksanaan tugas anggota? Bagaimana rekan kerjanya (apakah
dapat berjalan kondusif atau malah membebani); bagaimana sarana dan
prasarananya ditempat personil/ anggota tersebut bekerja (memadai atau tidak); bagaimana
aturan dan prosedur ditempat kerjanya (apakah mendukung atau malah membebani); bagaimana
waktu dan informasi berproses ditempat kerjanya (mendukung atau tidak). Jika
ternyata “TIDAK” atau dengan kata lain negatif, maka kinerja, disiplin dan
motivasi anggota akan terganggu.
Keadaan semacam ini akan
menimbulkan stress dan frustasi dalam diri anggota. Stess dan frustasi sebagai akibat
dari motivasi (dorongan) yang terhambat yang membuat seseorang tidak mampu
mencapai tujuan yang diinginkan.
Dalam suatu organisasi kepolisian,
hampir keseluruhan tugas polisi sangat potensial menimbulkan “STRESS”. Contoh,
seorang anggota polisi lalu lintas yang berdiri di bawah terik matahari yang
panas, mengatur lalu lintas, mengawasi situasi dan harus menindak orang-orang
yang melanggar, menghirup udara yang penuh polusi secara terus menerus tanpa
mampu melakukan apa yang menjadi keinginannya ( misalnya istirahat dan minum )
merupakan tekanan yang berat terhadap mental dan fisiknya. Semua hal ini
mendorong timbulnya stress dan frustasi bagi anggota polisi.
Penyimpangan-penyimpangan,
ketidakdispilinan, kinerja dan motivasi kerja yang rendah pada dasarnya
merupakan pengejawantahan dan tampilan dari mental yang terbebani stress dan
frustasi.
Sebagai seorang pemimpin
dalam organisasi kepolisian, keadaan seperti diatas harus segera dicari jalan
keluarnya untuk membangkitkan kembali motivasi dan kedisiplinan anggota yang
sudah dihinggapi gejala stress dan frustasi.
Salah satu cara yang cukup
efektif dalam menigkatkan motivasi anggota adalah dengan mngembangkan situasi
adil dalam organisasi polisi. Anggota selalu membandingkan besaran masukan dan
keluaran pekerjaan yang mereka lakukan dengan masukan dan keluaran orang lain
dan kemudian akan berespon jika terjadi ketidakadilan.
Selain Keadilan dalam
organisasi yang kita pimpin, kita juga harus dapat memberikan harapan bagi
anggota. Harapan yang ada dalam organisasi menentukan kuatnya kecendrungan
untuk bertindak dalam suatu cara, bahwa tindakan itu akan diikuti oleh suatu
keluaran (hasil) tertentu dan pada daya tarik dari keluaran tersebut bagi
anggota.
Seorang anggota dapat
dimotvasi untuk menjalankan tugas-tugasnya dengan baik bila ia meyakini upaya
yang dilakukannya akan menghantar ke suatu penilaian kinerja yang yang baik,
dan suatu penilaian kinerja yang baik akan mendapat ganjaran dari organisasi
berupa bonus, kenaikan gaji, promosi pangkat atau jabatan, atau ganjaran lain
yang sesuai harapan anggota tersebut.
Singkatnya, sebagai pimpinan
kita harus dapat memahami tujuan-tujuan individu anggota dan keterkaitan antara
upaya dan kinerja, antara kinerja dan ganjaran, dan akhirnya antara ganjaran
dan tercapainya tujuan individual anggota tersebut sehingga kita dapat
menentukan strategi pemotivasian anggota dengan tepat.
Ingatlah bahwa dalam hirarki
kebutuhan menurut Maslow bahwa kebutuhan tertinggi adalah Penghargaan dan
Aktualisasi diri. Penghargaan secara internal mencakup rasa hormat, harga diri,
otonomi dan prestasi. Penghargaan secara eksternal mencakup status, pengakuan
dan perhatian. Sedangkan aktualisasi diri merupakan dorongan untuk menjadi apa
yang ia mampu. Pengahargaan dan aktualisasi diri harus kita dorong
pemenuhannya, sehingga anggota tersebut termotivasi dan meningkat kinerjanya.
Ada nasehat baik yang dapat
kita jadikan teladan dalam menigkatkan kinerja anggota polisi; “Jika anggota
tidak dapat melaksankan tugasnya karena TIDAK TAHU, BERI TAHU ia dengan
pengetahuan-pengetahuan yang ia perlukan. Jika anggota tidak dapat melaksanakan
tugasnya karena TIDAK MAMPU, BERI LATIHAN sehingga ia menjadi terampil
melaksanakan tugasnya. Jika ia tidak dapat melaksakan tugasnya karena TIDAK
MAU, BERI MOTIVASI sehingga ia menyadari dan ikhlas melaksanakan tugasnya”
Tugas polisi sekali lagi
adalah tugas yang rentan terhadap beban mental yang dapat menyebabkan
ketidakdisiplinan dan turunnya kinerja atau motivasi kerja. Oleh karena itu,
selaku pimpinan kita harus senantiasa memperhatikan lingkungan kerja yang
kondusif bagi terlaksananya tugayang dibebankan organisasi kepada anggota.
Ciptakan Keadilan dalam organisasi, beri anggota harapan dan dorongan untuk
dapat memenuhi kebutuhannya akan penghargaan dan aktualisasi diri.
Masih banyak cara untuk
memotivasi anggota, tetapi setidaknya salah satunya harus senantiasa
dijalankan. Pimpinan tidak hanya menuntut kerja, tetapi juga mampu memberi motivasi
anggota.
Polri sebagai suatu
organisasi public mempunyai tujuan dan target yang akan dicapai. Sebagai contoh
adalah Direktorat Lalu Lintas Polda Riau, tempat dimana saya pernah bekerja
selaku Kepala Seksi (Kasi) Kecelakaan Lalu lintas ( Laka Lantas ) yang memiliki
beberapa tujuan organisasi yaitu :
1.
Mengurangi jumlah
kejadian kecelakaan lalu lintas yang dapat ditekan melalui
langkah langkah pencegahan laka lantas ( Traffic accident prevention) yang
bersifat fisik dan efektif di wilayah hokum Polda Riau
2.
Mengurangi jumlah
korban meninggal dunia dan cacat tetap akibat kecelakaan lalu
lintas yang masih dapat ditolong
3.
Mengurangi jumlah
tenggang waktu antara kejadian sampai pada penyelesaian perkara
4.
Meningkatkan
proporsi jumlah penyelesaian perkara kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan korban Meninggal dunia atau luka-luka berat dengan penahanan
tersangka
5.
Mengurangi
persentase kasus-kasus yang gagal di Pengadilan karena penyidikan atau
penyiapan kasus yang salah melalui peningkatkan kualitas penyidik dalam
mempersiapkan dan menangani kasus laka lantas.
Demikianlah beberapa tujuan
yang telah dirumuskan untuk dicapai selama 1 (satu) tahun anggaran /2004 yang
Saya cuplikkan dalam tulisan ini. Namun dalam kenyataannya tidak semua target
tersebut dapat tercapai pada periode yang telah ditentukan. Hambatan-hambatan
yang dihadapi oleh organisasi ditempat saya bertugas antara lain adalah :
A. Jumlah
Penyidik laka lantas yang sangat rendah dibanding dengan jumlah kecelakaan yang
terjadi. Sebagai gambaran umum jumlah personil, mari kita lihat sample
data-data berikut (perkiraan Saya sesuai pengamatan dan pengalaman) :
1.
Seksi Laka Ditlantas Polda : 4 Polri, 2 PNS
2.
Unit laka Satlantas Pekanbaru : 12 Polri, 3
PNS
3.
Unit laka Satlantas Batam : 14 Polri, 2 PNS,
2 PHL
4.
Unit laka Satlantas Lainnya : 4-6 Polri, 1-2
PNS
Jumlah
ini tentu tidak mencukupi untuk menangani seluruh permasalahan penyidikan laka
lantas serta upaya-upaya pencegahan yang dilakukan bersama unit-unit lainnya.
Anehnya, di seksi-seksi lain justru ada anggota yang menjadi “invisible worker”
alias pengangguran tak kentara. Permasalahan yang dihadapi tidak banyak dan
tidak rumit, tetapi jumlah personilnya banyak, misalnya SAMSAT dan Unit SIM. Alasannya
adalah untuk kecepatan pelayanan masyarakat. Cukup masuk akal, tetapi tak
terbukti mempercepat proses pelayanan tersebut.
Dengan
perkataan lain, proporsi antara jumlah personil yang bertugas dibandingkan
kuantitas dan kualitas masalah yang ditangani tidak proporsional.
Kekurangan
personil ini diyakini tentu mempengaruhi jumlah penyelesaian perkara dan
kecepatan pengananan perkara laka lantas.
B. Tidak
memadainya pengetahuan dan keterampilan personil yang tergabung pada Seksi Laka
Lantas. Sebagian besar dari mereka justru tidak pernah bertugas sebagai
“Penyidik Laka Lantas” di Satuan-satuan Operasional Lalu Lintas. Ada yang
berasal dari Satuan Intelejen, Satuan Reserse, Bidang Pengamanan Profesi dan
Lain-lain. Hanya Saya dan seorang anggota yang pernah mengikuti kursus-kursus
Laka Lantas. Selebihnya secara formal tidak memiliki “background” Lalu Lintas,
khususnya “ Kecelakaan Lalu Lintas”. Menurut pengamatan Saya, Hal ini
telah membudaya dalam proses mutasi anggota Polri di Polda Riau. The Right Man on
the right place tidak benar-benar diterapkan dalam penempatan personil polri. Barangkali
anggota-anggota yang tidak memiliki “background” lalu lintas itu, akan lebih
bermanfaat jika dikembalikan ke Direktorat-direktorat asal sesuai pengetahuan
dan keterampilan yang dimilikinya.
Tidak
memadainya pengetahuan dan keterampilan personil yang bertugas di Seksi laka
menyebabkan minim-nya kontribusi aktif serta ide-ide dalam mengatasi
permasalahan laka lantas yang semakin hari semakin kompleks. Atau dengan
perkataan lain : bagaimana anggota akan turut serta dalam pencapaian tujuan,
sedangkan pengetahuan dasar akan masalah yang dihadapinya saja ia tidak tahu ?
C. Tidak berfungsinya
manajemen sumber informasi dan komunikasi dengan baik. Masalah
yang dihadapi adalah kecepatan arus informasi yang begitu lambat dan manipulasi
data yang dilaporkan. Sebagai sebuah seksi yang bertugas mengumpulkan seluruh
data kecelakaan lalu lintas di Polda Riau dan memberikan bantuan teknis (assistensi)
terhadap permasalahan yang tidak dapat dipecahkan oleh Satuan-Satuan Lalu
Lintas di jajaran Polres/Polresta/Poltabes, kecepatan dan keakuratan data yang
dilaporkan menjadi kunci pokok dalam penilaian permasalahan yang sedang
ditangani oleh sebuah Unit Laka Lantas di Polres/Polresta/Poltabes sehingga
dapat diputuskan apakah Seksi Laka pada Direktorat harus “turun tangan” atau
tidak. Keterlambatan dan ketidakakuratan data yang dilaporkan sering berbuah
“complain” dari masyarakat. Misalnya, Jumlah korban lebih dari 3 orang, tetapi
hanya dilaporkan 2, perkiraan penyebab kecelakaan adalah akibat pengemudi
“melanggar aturan” lalu lintas, tetapi dilaporkan “out of control”. Hal ini
jelas akan menghambat pencapaian target-target sebagaimana disebutkan di atas,
tetapi tidak tampak ada usaha memperbaiki keadaan sehingga masalah manajemen
informasi dan komunikasi ini dapat berlangsung dengan baik.
Menurut pendapat saya,
“jalan pintas” ini ditempuh oleh para penyidik di wilayah
Polres/Polresta/Poltabes untuk menekan “image” bahwa Satuan lalu lintas di
wilayahnya GAGAL mencegah atau mengantisispasi kecelakaan lalu lintas.
Untuk mengatasi masalah
masalah tersebut diatas kami mencoba menerapkan beberapa alternative solusi
antara lain :
1.
Permasalahan personil yang tidak mencukupi
dalam pelaksanaan tugas adalah masalah klasik, tetapi fakta menunjukkan hal ini
selalu terjadi di organisasi kepolisian. Oleh karena itu untuk menambah jumlah
personil polri di Seksi laka lantas perlu diajukan kepada Direktur Lalu Lintas
Polda Riau permohonan penambahan penyidik/penyidik pembantu. Dalam mengajukan
permohonan tersebut cobalah untuk terlebih dahulu berkomunikasi dengan atasan
dengan maksud sebagai “pre information” sebelum surat permohonan resmi
diajukan. Coba gmbarkan secara matematis proporsi anggota yang seharusnya
bekerja di seksi laka dan jumlah perkara yang ditangani sehingga akhirnya
timbul pertanyaan dari atasan “apakah jumlah personil di Seksi Laka cukup untuk
melaksanakan tugas sesuai proporsi yang sebenarnya?”. Dengan demikian pada saat
surat permohonan diajukan, atasan, dalam hal ini Direktur Lalu Lintas, akan
menyetujui permohonan tersebut.
2.
Untuk mengatasi rendahnya pengetahuan dan
keterampilan personil, perlu dilaksanakan internal service training atau pelatiha-pelatihan
internal. Bisa berupa kelas formal atau diskusi-diskusi kasus yang akan memaksa
personil menambah pengetahuannya tentang Kecelakaan lalu lintas dan penanganan
perkaranya. Mengadakan pelatihan-pelatihan penanganan Tempat kejadian perkara dan
pertolongan pertama korban laka lantas. Upaya ini diharapkan dapat menambah
pengetahuan dan keterampilan personil di seksi laka, sehingga dapat secara
maksimal bekerja dalam Seksi tersebut.
3.
Untuk mengatasi keterlambatan dan
ketidakakuratan data, perlu diperkenalkan system reward yang tidak mendasarkan
penilaian kepada “kejadiannya” tetapi pada “proses penanganan perkaranya” dan
sanksi kepada unit-unit yang memanipulasi laporan data laka lantas. Disamping
itu perlu pula dibangun suatu database system yang berbasis computer dan secara
otomatis tersimpan dan tersambung ke database pusat. Membangun suatu jaringan
system informasi atau jaringan komunikasi data yang online tentu tidak mudah,
tetapi untuk sementara dapat dilakukan dengan penyeragaman software dan format
laporan sehingga mempermudah pemrosesan dan hasil yang lebih valid. Untuk
membandingkan laporan-laporan dari unit-unit, Seksi laka harus pro aktif
mencari data pembanding baik yang termuat pada media massa, data Asuransi Jasa
Raharja atau data Korban di Rumah Sakit.
LEPASNYA
POLRI DARI TNI MENYEBABKAN ADANYA PERUBAHAN BUDAYA ORGANISASI POLRI DARI BUDAYA
YANG BERSIFAT MILITER MENJADI LEBIH SIPIL. UNTUK ITU DIPERLUKAN PERUBAHAN
STRUKTUR UNTUK DAPAT MENUNJANG PERGESERAN BUDAYA ORGANISASI. POLRI YANG SELAMA
INI MENGANUT SYSTEM SENTRALISASI HARUS MERUBAHNYA MENJADI DESENTRALISASI. TUGAS
HARUS DIBAGI MENJADI LEBIH SPESIFIK LEWAT SPESIALISASI KERJA, TUGAS YANG
SAMA/MIRIP DAPAT DIKOORDINASIKANN PERLU DIKELOKPOK-KELOMPOKKAN ATAU DISEBUT
DEPARTEMENTALISASI. HAL INI SEBAGAI WUJUD “SHIFTING POWER” YANG MENJADI CIRI
KEPOLISIAN YANG DEMOKRATIS. MABES POLRI SELAMA INI MENJADI PUSAT KEKUATAN YANG
“DOMINANT DAN DITAKUTI” OLEH SELURUH ORGANISASI DIBAWAHNYA, DENGAN SYSTEM
DESENTRALISASI AKAN BERUBAH MENJADI SEBUAH “BADAN PENGAWAS” KINERJA ORGANISASI
KEPOLISIAN DI DAERAH-DAERAH.
Struktur organisasi yang ada
selama ini, baik di Mabes Polri maupun di Polda, terlalu “gemuk” dan rumit.
Dengan sendirinya, karena organisasi itu besar dan kompleks, ia diisi oleh
banyak personil dan bagaimanapun personil-personil yang banyak itu perlu diberi
porsi pekerjaan. Organisasi harus dibuat ramping dan sederhana. Memang prinsip
perubahan ini berarti melakukan proses rasionalisasi, yakni mengurangi jumlah
jabatan. Paradigma ini jauh dari populer karena dianggap menghilangkan sumber
nafkah dan jabatan banyak orang. Tetapi bagaimanapun pendekatan tersebut mesti
dilakukan untuk efisiensi dan efektivitas kerja organisasi. Bisa saja
rasionalisasi ini tidak dilakukan secara radikal, mendadak, umpamanya untuk
waktu sepuluh atau lima belas tahun ke depan. Bila struktur organisasi
organisasi itu ramping, sumber daya ekonomi yang tadinya dipakai untuk membayar
upah pegawai yang banyak bisa dialokasikan untuk menaikkan upah pegawai yang
sedikit. Di negara-negara maju, struktur organisasi organisasi polisi cukup
ramping, jumlah personilnya sedikit, tetapi tingkat upahnya cukup tinggi, dan
perangkat teknologi berperan besar dalam membantu pekerjaan polisi. Semua itu
memungkinkan prinsip-prinsip organisasi kepolisian yang rasional dan
profesional menjadi bisa diterapkan dengan baik. Dan yang terpenting organisasi
itu kemudian bisa mengantisipasi kemungkinan munculnya permasalahan, bahkan
melakukan tindakan preventif, dan bisa ikut mendorong dan atau memfasilitasi
perubahan ke arah yang lebih progresif dari kehidupan masyarakat.
Pandangan fisiologis dari
organisasi masa lalu yang menganggap Pemimpin adalah Kepala dan struktur
organisasi adalah badannya, dimasa datang sulit dikembangkan lagi. Karena lalu
tidak sesuai dengan perilaku organisasi modern, yang lebih memerlukan
keterlibatan langsung seorang pemimpin dalam dinamika konkrit organisasi.
Dimana interaksi tidak terlalu bersifat hierarkhis lagi tetapi lebih bersifat
kebersamaan. Seperti molekul dalam tubuh manusia, yang melawan penyakit secara
bersama dan memanfaatkan O2 yang masuk dalam tubuh secara
bersama pula. Bahkan digambarkan seperti kelompok ikan yang bergerak seirama,
berubah arah bersama, menikmati makanan dan malapetaka secara bersama pula.
Organisasi yang ada sekarang, banyak dianggap sebagai mekanisme dan dinamika
semu. Sedang dimasa depan organisasi akan diaplikasikan benar-benar seperti
pola yang organik, terpadu, holistik dan alamiah. Dengan kata lain; kalau
sekarang banyak organisasi tunggal dimasa datang organisasi akan
hadir dalam bentuk terurai, dan terbagi diantara berbagai
organisasi.
Pandangan tentang bentuk
organisasi sebagaimana disebutkan diatas tentu akan ditentang oleh orang-orang
yang selalu berpikir “bahwa yang ada sekarang sudah cukup baik?” atau “Belum
tentu organisasi yang baru nanti akan lebih baik dari yang sekarang?”. Banyak
pihak ( intern kepolisian ) yang menganggap bahwa budaya militerisme dan
sentralistik adalah yang paling cocok dan terbaik untuk Polri saat ini karena
mereka menganggap budaya sipil adalah budaya yang terlalu longgar dan tidak
disiplin serta terlalu lemah untuk diterapkan dalam organisasi kepolisian yang
senantiasa berhadapan dengan kejahatan dan kekerasan. Budaya organisasi memang
tidak mudah berubah, tetapi bukan tidak mungkin.
Pihak-pihak yang disebutkan
diatas jumlahnya tidak sedikit dan sangat lantang bersuara. Untuk itu, beberapa
kiat berikut mugkin perlu dilaksanakan sejak dini. Pertama, memperluas dan
memperkuat perhatian, pengetahuan dan pemahaman personil polri tentang
militerisme dan civil society. Kedua, menggelar wacana tandingan terhadap
pelaku-pelaku yang masih saja memanfaatkan militerisme dan kekerasan untuk
memperjuangkan kepentingan atau menyelesaikan permasalahan intern dan sosial.
Tepatnya, diseminasi pengetahuan tentang militerisme menampilkan dirinya dalam
wujud kampanye antimiliterisme. Kampanye antimiliterisme bisa dilakukan dengan
banyak cara. Mulai dari bentuk yang formal seperti pelatihan, workshop, tulisan
ilmiah, sampai selebaran, atau lomba melukis antimiliterisme. Kampanye bisa
menggunakan media sekolah-sekolah kepolisian, ceramah-ceramah, slogan dan
motto, dan media komunikasi internal seperti bulletin atau majalah internal.
SETIAP
ORAGANISASI YANG MEMILIKI PEMIMPIN TERMASUK DIKEPOLISIAN PADA KEPEMIMPINANNYA
PASTI MENGALAMI DINAMIKA SESUAI DENGAN PERKEMBANGAN SOCIAL MASYARAKATNYA.
DINAMIKA KEPEMIMPINAN DIPENGARUHI 3 HAL, YAITU :
1. Hubungan
manusia dalam kepemimpinan
Sesuai dengan pengertiannya, maka
kepemimpinan adalah seni atau kemampuan untu memengaruhi orang lain untuk
mengikuti kehendak seseorang, sehingga mau bersama – sama untuk mencapai
tujuan. Berarti kepemimpinan intinya adalah orang yang memimpin dan ada orang
yang dipimpin. Sehingga antara orang – orang tersebut akan terjalin suatu
hubungan yang harmonis secara manusia berdasarkan nilai – nilai dan norma yang
berlaku dalam kehidupan manusia itu sendiri.
Didalam kepolisian inti memimpin adalah
pengambilan keputusan. Pemimpin dan kepolisian memiliki kedekatan dengan
anggotanya dapat dibagi menjadi 2 yaitu personal dan impersonal. Didalam
hubungan personal, maka lebih mengutamakan kedekatan antara pemimpin dan
anggotanya sehingga kadang kala keputusan yang diambil lebih bersifat subjektif
karena lebih mengedepankan kedekatan saja. Sedangkan hubungan impersonal,
mengedepankan kompetisi yang dimiliki anggotanya dengan manilai melalui aspek
kompetisi, prestasi kerja, produktivitas kerja (kinerja) dan keputusan yang
diambil lebih sering bersifat objektif.
2. Proses
pengambilan keputusan
Inti dari kepemimpinan adalah pengambilan
keputusan. Didalam pengambilan keputusan tersebut ada beberapa tahapan proses
yang harus dilalui dan dilaksanakan agar keputusan tersebut dapat sangat tepat.
Tahapan – tahapan tersebut antara lain identifikasi masalah – pengumpulan data
– analisa data – melihat pada keputusan yang pernah dibuat – membuat keputusan
– evaluasi keputusan.
3. Pengendalian
dalam kepemimpinan
Didalam manajemen kepemimpinan yang
didalamnya terdapat proses perencanaan – pengorganisasian – pelaksanaan –
pengendalian adalah unsur yang penting dan tidak dapat dipisahkan dalam
manajemen. Setelah proses pengambilan keputusan yang harus dilakukan yang paling
utama adalah pengendalian dalam kepemimpinan. Hal ini dimaksudkan agar didalam
kepemimpinan tidak lepas dari visi dan misi organisasi. Fungsi pengendalian ini
dapat dilakukan oleh pimpinan satuan lebih atas maupun satwil – satwil atau
unit yang bertugas untuk mengendalikan kepemimpinan tersebut.
PADA
TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN ADA 4 KATEGORI KEPUTUSAN YANG DIDASARKAN PADA
KONDISI BERESIKO, KONDISI KONFLIK, KONDISI KEPASTIAN DAN KONDISI
KETIDAKPASTIAN.
1. Kondisi
beresiko (risk)
Pada kondisi ini pengambilan diambil pada
saat keadaan beresiko. Misalnya pada saat terjadi penyandraan yang dilakukan
oleh seorang teroris yang mengancam akan meledakkan Mall berikut dengan para
pengujung yang ada didalamnya. Dalam kondisi seperti ini seorang pemimpin harus
benar – benar jeli dalam menganalisa dampak – dampak pada keputusan yang
diambilnya. Cocok untuk diterapkan pada Game Theory. Ada pemimpin yang suka
pada resiko, hati – hati pada resiko dan menghindari resiko. Keputusan yang
diambilpun harus cepat dan tepat.
2. Kondisi
konflik (conflict)
Pada kondisi ini pengambilan diambil pada
saat terjadi konflik atau terjadi kompetisi didalam pengambilan keputusan.
Misalnya pemimpin A menginginkan keputusan A sedangkan pemimpin B mengedepankan
keputusan B. Hal ini biasa terjadi pada pengambilan keputusan saat konflik
terjadi (riot/ huruhara). Misalnya seorang kapolres yang mengambil keputusan
untuk membubarkan massa yang sedang rusuh namun didalam pembubaran tersebut
tetap harus sesuai dengan protap atau aturan yang berlaku.
3. Kondisi
kepastian (certainty)
Apabila semua informasi yang diperlukan untuk
mengambil keputusan lengkap, maka keputusan dikatakan dalam keadaan yang pasti
(terdapat kepastian). Dengan kata lain dalam keadaan ada kepastian, kita dapat
meramalkan secara tepat hasil dari tindakan (action). Misalnya dalam persoalan linear programming, kita dapat mengetahui berapa jumlah
keuntungan (profit) maksimum
yang bisa diperoleh setelah kita mengetahui persediaan setiap jenis bahan dan
kebutuhan input bagi masing-masing jenis produk. Dalam kehidupan sehari-hari,
banyak sekali keputusan yang kita ambil dalam keadaan ada kepastian. Kita tahu
dengan pasti arah untuk berangkat ke kantor, restoran favorit, atau obat yang
mujarab. Hal-hal semacam itu sudah rutin kita laksanakan sehingga tidak perlu
pemikiran yang mendalam. Permasalahan akan berbeda ketika pemerintah harus
mengatur ekspor non-migas dari sektor pertanian agar jumlah penerimaan devisa
hasil ekspor maksimal dengan memperhatikan kendala-kendala yang ada. Misal, luas
lahan yang tersedia, jumlah petani, jumlah benih dan modal yang tersedia, dan
jumlah permintaan.
Berbagai teknik Operation Research (OR) yang tergolong ada kepastian antara lain linear programming (LP), persoalan transportasi, persoalan penugasan, net working planning. Pemecahan mengenai pemngambilan keputusan dalam keadaan / situasi adanya kepastian bersifat deterministik.
Berbagai teknik Operation Research (OR) yang tergolong ada kepastian antara lain linear programming (LP), persoalan transportasi, persoalan penugasan, net working planning. Pemecahan mengenai pemngambilan keputusan dalam keadaan / situasi adanya kepastian bersifat deterministik.
4. Kondisi
ketidakpastian (uncertainty)
Adalah suatu keadaan dimana kita tidak dapat
menentukan keputusan karena belum pernah terjadi sebelumnya (pertama kali).
Dalam keadaan ini kita perlu mengumpulkan informasi sebanyak-banyak tentang
suatu pemasalahan. Dengan informasi tersebut maka dapat dibuat beberapa
alternatif-alternatif keputusan sehingga dapat diketahui nilai probabilitasnya.
Dengan diperolehnya nilai probabilitas baik berdasarkan informasi yang anda
peroleh maupun berdasarkan pendapat anda secara subjektif. Permasalahan ini
sudah tidak lagi berada dalam ketidakpastian, melainkan berada dalam kepastian
karena resiko yang akan diterima telah diketahui. Walaupun nilai probabilitas
yang anda peroleh cukup kasar (roughly
estimate). Pohon keputusan (decision
tree) bisa dipergunakan untuk memecahkan persoalan dalam
ketidakpastian.
KADERISASI
ADALAH
Kaderisasi adalah proses pembentukan generasi/ calon/
bibit pemimpin yang dibentuk sedemikian rupa agar lebih baik dari generasi
sebelumnya.
Upaya kaderisasi formal
dalam lingkup internal :
-
Mengupayakan calon pada jabatan pimpinan
pembantu
-
Member pendidikan yang tingkatnya lebih
tinggi di dalam/ diluar negeri
-
Memberikan pelatihan khusus
-
Memberikan jabatan sebagai pimpinan unit
dalam lingkup eksternal
-
Memberikan santunan pendidikan kepada anak
yatim piatu yang berprestasi
-
Menerima pelajar/ siswa magang di organisasi
kepolisian
-
Mencari generasi penerus yang mempunyai
keahlian khusus dan spesialisasi
-
Menerima generasi penerus untuk dijadikan
pimpinan unit agar dapat meningkatkan kreatifitas
Dikaitkan dengan teori gaya kepemimpinan yang visioner,
yang mempunyai pandangan, tujuan dan sasaran yang jauh kedepan demi majunya
organisasi kepolisian sehingga proses kaderisasi ini menjadi salah satu
alternative dalam upaya meningkatkan mutu, profesionalisme dan kinerja
organisasi kepolisian.
Proses kaderisasi yang sejak dini membuat kader pemimpin
dapat menjadi lebih kreatif dibandingkan pemimpin terdahulu.
Banyak pemimpin yang malu/ takut bila bawahannya lebih
pintar, namun sebaliknya karena pemimpin tersebut mampu membentuk kader
generasi yang lebih cerdas melebihi kemampuannya sebagai bukti keberhasilannya
sebagai pemimpin.
Sebagai contoh :
Diwilayah saya tempat bertugas :
Pada saat saya menjabat Kanit Sabhara dan ketika saya
akan dipromosikan ke fungsi lantas. Pimpinan kasat saya adalah mantan Kanit
Laka (namun diwilayah hukum lain). Menurut pendapat beliau diPolda DIY, jarang
sekali kaderisasi Kanit Laka yang dari alumni, padahal didalam unit laka
merupakan satu – satunya unit lantas yang melaksanakan penyidikan (sehingga
kita bisa mengerti penyidikan). Dan beliau menyarankan saya untuk mengawali masuk
ke fungsi lantas dengan bergabung ke Unit Laka Lantas.
Menurut pendapat saya, kasat telah melakukan proses
kaderisasi dengan memberikan gambaran pengetahuan tentang pentingnya penyidikan
diunit laka lantas dan juga menggambarkan pimpinan yang visioner melihat
bagaimana pentingnya penyidikan dan prosesnya yang merupakan inti dari fungsi
gakkum Polri.
KOMITMEN
ORGANISASI
Richard M. Steers (Sri Kuntjoro, 2002) mendefinisikan
komitmen organisasi sebagai rasa identifikasi (kepercayaan terhadap nilai-nilai
organisasi), keterlibatan (kesediaan untuk berusaha sebaik mungkin demi
kepentingan organisasi) dan loyalitas (keinginan untuk tetap menjadi anggota
organisasi yang bersangkutan) yang dinyatakan oleh seorang pegawai terhadap
organisasinya. Steers berpendapat bahwa komitmen organisasi merupakan kondisi
dimana pegawai sangat tertarik terhadap tujuan, nilai-nilai, dan sasaran
organisasinya. Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar
keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan
untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi
demi pencapaian tujuan.
Komitmen terhadap organisasi artinya lebih dari sekedar
keanggotaan formal, karena meliputi sikap menyukai organisasi dan kesediaan
untuk mengusahakan tingkat upaya yang tinggi bagi kepentingan organisasi
demi pencapaian tujuan. Berdasarkan definisi ini, dalam komitmen organisasi
tercakup unsur loyalitas terhadap organisasi, keterlibatan dalam pekerjaan, dan
identifikasi terhadap nilai-nilai dan tujuan organisasi.
Rendahnya komitmen mencerminkan kurangnya tanggung jawab
seseorang dalam menjalankan tugasnya. Mempersoalkan komitmen sama dengan
mempersoalkan tanggung jawab, dengan demikian, ukuran komitmen seorang pimpinan
yang dalam hal ini adalah kepala sekolah adalah terkait dengan pendelegasian
wewenang (empowerment). Dalam konsep ini pimpinan dihadapkan pada
komitmen untuk mempercayakan tugas dan tanggung jawab ke bawahan. Sebaliknya,
bawahan perlu memiliki komitmen untuk meningkatkan kompetensi diri
Dari beberapa definisi yang diuraikan di atas dapat
disimpulkan bahwa komitmen merupakan suatu ikatan psikologis karyawan pada
organisasi ditandai dengan adanya :
·
Kepercayaan dan penerimaan yang kuat terhadap
tujuan dan nilai-nilai organisasi
·
Kemauan untuk mengusahakan tercapainya
kepentingan organisasi
·
Keinginan yang kuat untuk mempertahankan
kedudukan sebagai anggota organisasi.
0 komentar