tulisan

AHMADIYAH, TINDAKAN KEPOLISIAN, DAN KEKERASAN KELOMPOK

05.33handreasstik66

Prof. Dr. Farouk Muhammad

Ahmadiyah, Tindakan Kepolisian, dan Kekerasan Kelompok
oleh Farouk Muhammad[*]


Menyusul insiden antara massa jamaah Ahmadiyah dan massa anti-Ahmadiyah di Cikeusik beberapa waktu lalu, salah satu sorotan yang mengemuka adalah perihal kerja jajaran Polri dalam menangani peristiwa tersebut. Kritik utama terhadap Polri berputar-putar pada anggapan bahwa apabila Polri menyikapi peristiwa dan situasi kondisi yang mendahuluinya secara lebih baik, maka peristiwa Cikeusik akan dapat dicegah. Dalam perkembangan polemiknya, bahkan Polri justru dituding sebagai pihak yang ikut ber"main" dalam peristiwa tersebut karena dinilai memberi ruang bagi kelompok ‘penyerbu’ melancarkan aksi mereka. Kecurigaan akan ketidak-netralan Polri bahkan dikaitkan dengan sikap petinggi Polri yang berusaha merekatkan kembali relasi lembaganya dengan kelompok-kelompok masyarakat, termasuk ormas kemasyarakatan semisal FPI, sebagai suatu strategi pencegahan kekerasan kelompok. Mengingat fenomena serupa terjadi di beberapa wilayah, maka magnitude kritik terhadap Polri semakin 'menyempurnakan' pandangan bahwa harus ada pembenahan secara lebih substansial guna meningkatkan kemampuan Polri dalam menangani kasus-kasus serupa.
Di lain pihak, tindakan kekerasan kelompok khususnya terhadap Ahmadiyah juga berlangsung di berbagai tempat. Tuntutan pembubaran dan bahkan kebijakan pelarangan aktivitas Ahmadiyah dilakukan di beberapa daerah. Karena itu, yang lebih mendasar lagi adalah mencari akar permasalahan di balik kasus Ahmadiyah agar ke depan Polri tidak lagi mengandalkan pendekatan kerja yang yang cenderung reaksioner ala pemadam kebakaran dan bangsa Indonesia tidak lagi memelihara "tradisi" kekerasan kelompok dalam menyikapi setiap permasalahan sosial.

Membedah Kasus Cikeusik
Terhadap kasus Cikeusik, kebanyakan pengamat hanya melihat dari satu sisi: bahwa korban manusia dan kerugian materil telah terjadi sehingga pihak yang melakukannya harus dihukum dan bahkan Polri harus dimintai pertanggungjawaban karena dipandang "membiarkan" pelanggaran HAM berat. Sudah barang tentu, tindakan hukum harus dikenakan terhadap pelaku kekerasan. Namun, untuk memahami duduk persoalan kasus terutama dalam rangka penanggulangannya, maka langkah pembedahan perlu dilakukan. Pertama, yang perlu digarisbawahi bahwa—tidak banyak diketahui masyarakat—dari sudut kriminologi, orang-orang yang berada di rumah korban (pihak jamaah Ahmadiyah) pun ikut memberi kontribusi bagi jatuhnya korban karena sebenarnya juga melakukan ulah provokatif (symbolic interactionism) baik secara verbal maupun non-verbal. Mereka, pihak yang berada di rumah tersebut, sejak jauh-jauh hari juga telah menolak mentah-mentah persuasi Polri yang datang menjemputnya guna menurunkan suhu panas yang rentan bagi tersulutnya kerusuhan. Adanya langkah persuasif tersebut membuktikan bahwa walaupun strategi atau tindakan kepolisian masih dinilai kurang tepat, Polri  tidak bisa juga dikategorikan sebagai "pembiaran (pelanggaran HAM)" karena langkah-langkah dan upaya konkret telah ditunjukan oleh kepolisian. Yang keliru dalam tindakan kepolisian adalah kalkulasi terhadap ancaman dan potensi kerusuhan lainnya.
Kedua, ekspektasi publik agar Polri bekerja secara lebih baik dalam konteks penanganan kerusuhan, dapat diterjemahkan sebagai kewajiban bagi Polri untuk melakukan upaya-upaya yang diperlukan dalam rangka melindungi orang maupun barang. Dengan pembingkaian tema sedemikian rupa, kerusuhan itu sendiri dapat kita tinjau dari proses mulai dari faktor pemicu (trigger) dan pendorong (escalator) sampai akar permasalahan (causation) konflik yang dapat dibahas dari dua aspek. Pertama; tendensi, motivasi, atau faktor-faktor dari dalam yang mendorong terjadinya kejahatan (propensity to commit crime). Kedua; insiden kerusuhan itu sendiri (event of crime).
Apabila cermatan difokuskan pada elemen kedua (event of crime), Polri dapat dikatakan telah mengambil tindakan-tindakan guna mencegah terjadinya peristiwa kerusuhan antara kedua kubu. Rangkaian tindakan tersebut, seperti direkam oleh media massa, dipusatkan di lokasi kerusuhan. Pertama, kekuatan Polri ditempatkan pada dua titik bendung utara dan selatan. Strategi ini sudah barang tentu tidak untuk mencegah arus masa yang akan menuju lokasi sasaran (rumah pemuka Ahmadiyah setempat), tetapi menangkal atau mengurangi dan menurunkan tensi emosional masa--itupun jika dilakukan dengan menggunakan instrumen public address untuk memberikan peringatan-peringatan kepada masa. Pemusatan kekuatan polisi semestinya dititikberatkan pada sasaran pokok serbuan masa (rumah Suparman).
Berasumsi bahwa terdapat seribuan massa yang bersiap datang ke rumah pemuka Ahmadiyah, dapat dinalar tidak keseluruhannya memiliki motivasi untuk melakukan kekerasan. Berunjuk rasa dalam rangka menolak kehadiran Ahmadiyah, inilah tujuan yang berada di kepala kebanyakan orang dalam massa tersebut. Sebaliknya, menyakiti pengikut Ahmadiyah serta merusak properti mereka, adalah motif sebagian orang saja. Paling tidak, itu yang terlihat pada fakta bahwa hanya sebagian kecil warga saja yang memang membawa alat-alat kekerasan. Tambahan lagi; karena sebagian dari pihak yang anti-Ahmadiyah adalah warga pendatang, maka—sekali lagi—dapat dinalar bahwa muatan emosional mereka tidak sebesar warga setempat. Mereka, warga pendatang tersebut, juga tidak akan bergerak andaikan warga lokal tidak bergerak. Dengan kalkulasi ancaman seperti itu, semestinya tidak ada alasan bagi polisi untuk tidak memblokade sasaran dengan kekuatan optimal guna mengamankan nyawa dan benda.
Berangkat dari adanya kompleksitas dalam peristiwa bentrokan massa, tindakan pencegahan yang dilakukan sebatas di lokasi kerusuhan, jelas tidak efektif. Pasalnya, di lokasi dan pada waktu tersebut titik didih sudah sedemikian tinggi. Dalam kondisi semacam itu, tidak hanya mencegah menjadi sesuatu yang kurang efektif, personel Polri sendiri dapat dengan mudahnya terperangkap sebagai pihak yang menjadi sasaran serbuan bahkan terkesan sebagai salah satu pihak yang menyerang (kendati yang dilakukan sesungguhnya adalah langkah bertahan maupun melindungi pihak yang diserang). Polri sebenarnya memiliki peluang luas untuk menurunkan eskalasi perilaku kekerasan apabila sejak dini mengintensifkan pendekatan terhadap warga lokal sekaligus mengelola motif non-kekerasan yang ada.

Polmas: Pemutus Rantai Kerusuhan
          Agar dapat lebih mangkus (efektif) dalam menjalankan tugasnya, terlebih dikaitkan dengan pencegahan benturan antar kelompok masyarakat, desain ulang atas strategi, operasi, dan taktik Polri perlu ditarik ke kurun waktu yang lebih luas dan ini berkaitan dengan elemen propensity to commit crime. Tindakan pada skala lebih luas itu dikemas dalam kerja Perpolisian Masyarakat (Polmas). Polmas ditandai masuknya petugas Polmas ke masyarakat lokal (komunitas). Polmas yang mangkus akan dapat mendeteksi berbagai gelagat negatif selekas mungkin. Gelagat tersebut dapat berupa pemunculan dan penyebar-luasan isu, mobilisasi kelompok, pengadaan alat kekerasan, rancangan operasi, dan sejenisnya. Dengan pendeteksian yang memadai, Polri akan memiliki kesiapan secara lebih mantap dan jitu guna menghentikan mata rantai yang menghubungkan antara unjuk rasa (sebagai bentuk penyampaian aspirasi yang diperbolehkan) dan aksi kekerasan (sebagai sesuatu yang terlarang).
          Persoalannya, dan ini tidak sebatas dalam insiden Cikeusik, penulis berkeyakinan bahwa Polmas lagi-lagi masih tetap diimplementasikan dalam format vertikal-hirarkis. Keberadaan Babinkamtibmas adalah manifestasi dari pemahaman akan Polmas yang salah kaprah. Yakni, Polmas disalah-artikan sebagai Pemolisian Masyarakat, yang berarti "Polri yang memolisikan dan memolisi-i serta warga yang dipolisikan dan dipolisi-i" sehingga bukan hanya bermakna menjadikan warga agar berkarakter polisi tetapi juga warga yang menjadi obyek tindakan kepolisian. Kekeliruan itu, apa boleh buat, hanya kian memantapkan posisi polisi sebagai patron dan masyarakat sebagai klien. Padahal, intisari konsep Perpolisian Masyarakat adalah bagaimana personel polisi dapat bekerja dengan mengedepankan karakter dan pendekatan yang santun (civil police) serta bagaimana agar masyarakat dapat dibangkitkan tanggung jawabnya untuk berperan utama dalam penciptaan keamanan dan ketertiban wilayah masing-masing (empowering).
          Kegagalan Polmas, yang penulis duga juga menjadi salah satu faktor ‘pendukung’ terjadinya kasus Cikeusik dan berbagai kejadian anarkis lainnya, sesungguhnya bukan hal baru. Buku bertajuk Potret Diri Polri (2005) secara gamblang menguraikan dua area yang masih menjadi kelemahan utama Polri, yakni intelijen dan Polmas. Meskipun para Kapolri mulai dari Jend. Soetanto, Jend. Bambang Hendarso Danuri, dan Jend. Timur Pradopo terus-menerus mencantumkan Polmas sebagai program kerja primadona mereka, namun—hemat penulis—masih banyak pekerjaan rumah yang perlu dituntaskan agar Polri benar-benar mampu menjadikan Polmas sebagai ciri dominan sekaligus kekuatan utama kerjanya.
          Sampai di situ, akan mudah bagi siapapun untuk serta-merta mengkambing-hitamkan Polri sebagai satu-satunya pihak yang telah melakukan keteledoran yang berujung pada peristiwa maut di Cikeusik. Tentu, tudingan sedemikian rupa tidaklah proporsional. Tamsil klasik yang menggambarkan keterkaitan antara polisi dan masyarakat, sangat relevan untuk diangkat. Bunyinya, “Jangan pernah berharap akan ada polisi yang santun (civil), di dalam masyarakat yang tidak santun (uncivil).” Begitu pula, “Polisi adalah bayang-bayang masyarakat. Polisi yang busuk adalah cerminan masyarakat yang juga busuk.”
          Betapapun demikian, ungkapan “polisi sebagai agen perubahan” sepatutnya berkonsekuensi pada kesadaran di sanubari para insan kepolisian bahwa panggilan kodrati mereka adalah sebagai pihak yang harus mengambil prakarsa. Jadi, realita berupa karut-marut sosial tidak akan bisa dipecahkan apabila kedua pihak (polisi dan masyarakat) hanya bisa saling lempar tanggung jawab. Dalam situasi kacau-balau—apa boleh buat—personel Polri memiliki kehormatan untuk memegang tongkat inisiatif dalam rangka memperbaiki keadaan. Terlebih dalam setting demokrasi, Polmas berperan sebagai pengawal demokrasi, yaitu memberikan pencerahan kepada publik perihal cara-cara penyampaian aspirasi yang jauh dari kekerasan dan kerusuhan.

Penegakan Hukum
Tindakan kekerasan kelompok tidak hanya terjadi di Cikeusik dan Temanggung, tetapi juga terjadi di berbagai belahan bumi Nusantara terutama setelah memasuki era reformasi yang memberi jaminan atas kebebasan dan sekaligus membatasi segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan terutama apa yang dikenal sebagai "due process of law". Tindakan penegakan hukum terhadap pelaku juga boleh dikatakan tidak sedikit. Namun, saya melihat, upaya penegakan hukum sebagai wahana untuk mencegah kejahatan kurang efektif. Mengapa?
Aspek efek jera seperti dikembangkan teori deterence, kurang memberi jaminan kepastian (certainty). Upaya penegakan hukum, sepanjang pengetahuan saya, kalaupun dilakukan pada umumnya hanya melibatkan pelaku, jarang menyentuh otak pelaku. Sementara pelaku umumnya – kasus  Indonesia – sudah  "pasang badan" untuk dihukum. Dalam kasus atas nama ajaran agama, sebagaimana kita saksikan dalam kasus-kasus terorisme internasional, jangankan untuk dihukum penjara, dihukum mati atau bom bunuh diripun siap dihadapi pelaku.
Penegakan hukum sebagai sarana penyelesaian tindak pidana kekerasan kelompok acapkali menjadi bahan pertimbangan dalam penyelesaian kasus-kasus konflik. Kasus-kasus kekerasan kelompok pada umumnya diselesaikan melalui mekanisme informal atau jalan damai atau kalaupun ada kerugian besar atau korban jiwa biasanya ditempuh mekanisme penegakan hukum terbatas, artinya hanya pelaku atau pelaku-pelaku utama yang diproses secara hukum.
Tindakan kekerasan kelompok bukan merupakan kejahatan atau gangguan keamanan yang berdiri sendiri, melainkan merupakan reaksi atas aksi yang dilakukan pihak lain sebelumnya (interactionism). Dalam hal demikian, ada posisi tawar karena biasanya pihak pembuat aksi juga menyimpan benih "kesalahan atau merasa berbuat sesuatu yang tidak semestinya". Kondisi demikian, biasanya membuat mekanisme formal penegakan hukum terhambat. Misalnya, pengrusakan fasilitas oleh pengunjuk rasa anarkis tidak diproses secara hukum karena menyangkut kerugian yang kecil atau merupakan akibat dari sikap pejabat yang tidak mau berdialog (tidak berani karena mungkin juga merasa telah melakukan perbuatan melanggar hukum atau sesuatu yang tidak semestinya).
Demikian pula kaitannya dengan kasus Ahmadiyah. Tuntutan untuk menghukum pelaku kekerasan terhadap mereka, sepanjang pemantauan saya, pada umumnya lebih didengungkan oleh pihak lain, terutama elite dan penggiat nilai-nilai demokrasi dan supremasi hukum. Bisa jadi, karena merasa diri minoritas, mereka pada umumnya mengalah. Termasuk misalnya, ketika harus menjatuhkan pilihan atas tuntutan masa: menjadi pemeluk Islam yang semestinya atau menghindarkan diri dari kehidupan bersama komunitas setempat.  Tetapi lebih dari itu, saya khawatir, walaupun merasa memiliki hak asasi atas "kebebasan memilih keyakinan dan menjalankan ajaran agamanya," pihak Ahmadiyah, sebagaimana dituduhkan oleh sejumlah elite Islam, bahwa cara-cara mereka menyebarkan dan mempraktekkan di muka umum ajaran-ajaran agamanya dirasakan pasti menyinggung bahkan menghina ajaran-ajaran Islam yang sudah mentradisi belasan abad.
Kecenderungan sebagaimana diuraikan di atas menjadi alasan mengapa proses penegakan hukum atas tindak pidana kekerasan kelompok menjadi tidak mampu memberikan efek jera bagi keberlangsungan peristiwa serupa di tanah air kita. Pada sisi yang lain, norma hukum positif masih belum mampu mengakomodasi rasa keadilan sebagian warga masyarakat sehingga tindakan kekerasan kelompok diekspresikan sebagai wujud reaksi atas tindakan "penghinaan" yang dirasakan  atas diri mereka.

Kebijakan Pemerintah
Peristiwa konflik – yang  pada akhirnya mengakibatkan terjadinya tindak pidana kekerasan kelompok – mengandung sekurang-kurangnya tiga faktor, yaitu faktor penyebab (causation), faktor pendorong (escalator) dan faktor pemicu (trigger). Aksi yang memancing timbulnya tindak kekerasan bisa datang dari penguasa/pejabat pemerintah (konflik vertikal) dan atau dari kelompok masyarakat atau perorangan yang mencerminkan keterwakilan dari suatu kelompok yang berbeda (konflik horisontal). Karena itu, mengatasi masalah tindakan kekerasan kelompok tidak hanya sekedar menghukum pelaku, tetapi juga mengungkap dan menyelesaikan akar permasalahannya.
Dengan memperhatikan peristiwa kekerasan (the event of crime) seperti yang diuraikan di atas, pemicu atau penyulutnya bersumber dari kelengahan polisi memblokade obyek (rumah Suparman) dan sikap memancing emosi dari orang-orang kelompok Ahmadiyah (dalam rumah Suparman). Faktor penyebab bisa bersumber dari karakter individu, pengaruh lingkungan sosial ekonomi dan tingkat pendidikan termasuk kesadaran untuk hidup bermasyarakat secara pluralis dari pelaku kekerasan (propensity to commit crime); karena itu, seperti disinggung di atas, tidak semua masa yang datang menyerbu ke lokasi menjadi pelaku tindak kekerasan.
Sikap dan perilaku pengikut Ahmadiyah, di satu pihak, dan kerancuan rumusan kebijakan pemerintah, di lain pihak, menurut hemat saya, merupakan faktor pendorong bagi tindakan kekerasan kelompok. Oleh sekelompok ummat Islam, Ahmadiyah dinilai tidak semata-mata membuat penafsiran (sesuatu yang merupakan hak pengikut Ahmadiyah), tetapi “atas nama Islam” juga telah memberikan tafsiran atas ajaran pokok agama Islam itu sendiri sehingga dirasakan sebagai penghinaan bahkan "tamparan" terhadap umat Islam.
Dalam hal terjadi fenomena sosial semacam itu, negara semestinya mengambil alih aspirasi tersebut dan menuangkannya ke dalam norma hukum positif (kriminalisasi). Perasaan terlecehkan memicu eskalasi pertikaian seiring dengan rancunya kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, ringkasnya, ihwal Ahmadiyah dapat dipahami secara lebih memadai sebagai juga masalah negara. Bagi Polri sendiri, selaku lembaga penegakan hukum, kebijakan pemerintah terhadap Ahmadiyah akan menentukan ke barat atau ke timurnya tindakan Polri terhadap kelompok yang dicap sesat tersebut.
Pasal 156 a KUHP menyatakan: "barangsiapa dengan sengaja  di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga yang bersendikan ke-Tuhanan yang Maha Esa, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun". Apabila pasal ini ingin dikenakan terhadap para pengikut Ahmadiyah, otoritas hukum sulit menemukan bukti bahwa Ahmadiyah telah menunjukkan permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap agama Islam, apalagi pasal tersebut mempersyaratkan "agar supaya orang tidak menganut agama apapun".
Dikaitkan dengan UU No. 1/PNPS/1965 dan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri, UU tersebut mensyarakatkan “perintah dan peringatan keras”, sementara SKB tiga Menteri baru mencantumkan “peringatan dan perintah," sehingga belum memungkinkan Polri untuk boleh mulai mengambil tindakan kepolisian. Belum lagi persoalan legitimasi SKB itu sendiri dalam membuat norma hukum. Dengan kata lain, Polri kiranya belum menemukan ketentuan definitif operasional yang dapat digunakan sebagai acuan untuk menindak kelompok Ahmadiyah, kecuali apabila Ahmadiyah telah nyata-nyata melakukan penghinaan atau penodaan agama seperti yang pernah diperadilankan atas sekian tokoh dari aliran-aliran sesat lainnya. Kondisi demikian membuat upaya mencegah tindakan kekerasan kelompok main hakim sendiri oleh warga tidak bisa diharapkan, sepanjang negara tidak membuat kebijakan yang tegas.
Campur tangan negara dalam kasus Ahmadiyah, sudah barang tentu semestinya bukan menyangkut keputusan pembubaran atau pelarangan kelembagaan Ahmadiyah. Ide pembubaran Ahmadiyah hanya menyentuh aspek formalnya atau mengupas kulitnya, sementara isinya, gerakan penyebaran ajaran itu sendiri, bahkan bisa menjadi semakin intensif karena bagaimanapun, negara tidak bisa membatasi kebebasan orang perorangan melaksanakan aktivitas yang hak-haknya. Pada gilirannya, kebebasan beraktivitas demikian akan semakin memperluas potensi timbulnya konflik. Hal ini menunjukkan bahwa pada hakekatnya yang menjadi pokok permasalahan adalah sikap dan perilaku, bukan dalam menjalankan peribadatan apalagi meyakini sesuatu ajaran, melainkan pengaturan tentang perilaku dalam mengekspresikan suatu keyakinan secara publik atau terhadap orang lain.
 Negara wajib memberi perlindungan atas kebebasan pengikut Ahmadiyah untuk meyakini dan menjalankan peribadatan sesuai ajaran Ahmadiyah dan pada saat yang bersamaan negara juga harus memberi perlindungan atas kenyamanan umat Islam untuk tidak dihina, dilecehkan atau diusik oleh warga Ahmadiyah khususnya terkait sikap mereka yang disatu pihak mengaku diri sebagai bagian dari Islam tetapi tidak mengakui Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir. Sama halnya, kerusuhan demi kerusuhan mungkin tidak akan pernah berakhir dalam kehidupan di dunia ini, jika saja pengikut Nabi Muhammad mengklaim diri sebagai bagian dari agama Kristen (bukan Islam) tetapi tidak mengakui Yesus sebagai putra Rohol Kudus dan atau sebagai orang yang pernah disalib di Golgota. Warga Ahmadiyah bebas dengan keyakinan mereka, tetapi kebebasan tersebut harus diwujudkan secara bertanggung jawab (responsible freedom), dalam arti tidak mengganggu kebebasan orang lain.
          Kebijakan lain yang relevan dipersoalkan adalah ketentuan hukum ex UU No. 13 Tahun 1961. Walau bukan lagi merupakan ketentuan hukum positif, UU ini pernah menyebutkan bahwa salah satu tugas kepolisian adalah mengawasi aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara. Kendati tidak lagi tercantum pada UU tentang kepolisian yang baru, ketentuan tentang pengawasan terhadap aliran kepercayaan semacam itu masih dijadikan sebagai tanggung jawab Bakor Pakem (Badan Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat) di bawah koordinasi Kejaksaan Agung dan Polri sebagai salah satu anggota.
          Problem interpretasi tak terelakkan muncul. Tak terkecuali di kalangan personel Polri. Karena kata “membahayakan” tercantum dalam sebuah aturan perundang-undangan, maka negara berkedudukan sebagai pihak yang memberikan pemaknaan terhadap kata tersebut. Negara berkewajiban melindungi hak setiap orang untuk bebas berkeyakinan (dan tidak berkeyakinan), sepanjang disertai tanggung jawab untuk tidak membahayakan kepentingan umum. Manakala keyakinan sudah berkategori membahayakan, maka hak individual menjadi ekpresi kebebasan yang tidak bertanggung jawab (irresponsible freedom). Pada gilirannya, negara pulalah yang harus merumuskan aturan main (rule of thumb) dan menegakkan aturan tentang perilaku di muka publik (bukan aliran dan keyakinan yang menjadi hak individu) yang dapat dikategorikan sebagai membahayakan.
Selama “membahayakan” belum dibingkai dalam penjabaran makna yang definitif, maka ada ruang bagi multitafsir, bahkan yang paling subjektif sekalipun. Terdapat kemungkinan, dalam benak sebagian anggota Polri masih tertanam keyakinan bahwa para penganut aliran kepercayaan yang dinilai “membahayakan” harus diawasi dalam pengertian “dilawan” atau “dibasmi”. Penafsiran semacam itulah yang dikhawatirkan mengendap di dalam diri sejumlah personel Polri yang berada di lokasi peristiwa Cikeusik, sehingga menghambat semangat panggilan pengabdian mereka saat harus mengambil langkah-langkah memberikan perlindungan optimal kepada objek serangan massa.
Belajar dari kelemahan rumusan pasal 156a KUHP seperti diulas di atas, maka menurut hemat saya, yang harus dirumuskan bukan pasal hukum tentang delik formal, melainkan delik materil. Artinya, yang diatur oleh negara bukan larangan terhadap suatu perbuatan apalagi keyakinan atau penafsiran atas sesuatu melainkan sikap atau perilaku dalam ranah publik yang dapat membahayakan ketertiban umum. Yang dilarang adalah bersikap atau berperilaku yang bersifat mengusik atau mempersoalkan keyakinan sekelompok orang yang telah hidup dan berkembang dalam suatu masyarakat yang membudaya (baca: secara sosiologis sudah ber"merk"), misalnya ajaran agama Islam, dengan cara sedemikian rupa (mengaku diri sebagai bagian dari kelompok yang dipersoalkan, misalnya Islam) sehingga dirasakan sebagai penghinaan oleh warga kelompok yang keyakinannya dipersoalkan (warga Muslim) dan dinilai (oleh aparat penegak hukum negara) sebagai dapat membahayakan ketertiban umum.
Dalam hal ini, negara tetap melindungi kebebasan beragama warga Ahmadiyah tetapi jika diekspresikan apalagi disebarkan di muka publik sedemikian rupa sehingga dapat membahayakan, yaitu menimbulkan keresahan serta membuat pihak lain merasa terhina, maka pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum.   Dengan cara demikian, negara telah mengambil alih kepentingan keadilan warga diharapkan tidak akan terjadi lagi tindakan kekerasan kelompok yang bermain hakim sendiri.

Rekomendasi
          Dinamika kehidupan beragama, pada kenyataannya, telah menghadirkan kompleksitas sosial yang perlu ditangani setepat mungkin. Kompleksitas yang bukan mustahil dapat mempertaruhkan integritas kebangsaan dan nilai-nilai demokratis Indonesia. Polri, jelas, merupakan salah satu komponen yang mutlak terlibat aktif dalam penanganan kompleksitas tersebut.
          Untuk itu, Polri perlu meninjau kembali berbagai legislasi terkait tindakan kepolisian dalam rangka memberikan perlindungan terhadap orang dan harta benda, terutama dalam menghadapi tindakan kekerasan antarkelompok. Hal serupa juga mengikut-sertakan review atas kebijakan dan implementasi Perpolisian Masyarakat. Sebagai program yang sejauh ini diyakini paling sesuai dengan sosiologi masyarakat Indonesia, Polmas perlu dicermati ulang karena masih kerap menimbulkan kerancuan konseptual pada satu pihak dan ketidakseriusan dan ketidakterarahan dalam implementasinya di lain pihak.
Secara spesifik, UU No. 1/PNPS/1965 perlu dikaji kembali guna mempersempit ruang bagi kemungkinan multitafsir. Diharapkan, ke depannya, UU tersebut dan legislasi terkait lainnya hanya mengatur pembatasan-pembatasan yang menyangkut tingkah laku, bukan pemikiran atau gagasan. Hemat penulis, dengan pengaturan sedemikian rupa, akan semakin kokohlah jaminan negara untuk memberikan perlindungan terhadap kebebasan menyampaikan pendapat dan berserikat termasuk kebebasan beragama dan menjalankan agama. Tidak dapat dikesampingkan, legislasi-legislasi yang ada juga harus menjamin perlindungan terhadap agama dan ajaran-ajaran agama yang sudah ada, hidup, dan berkembang secara membudaya, agar tidak dimodifikasi atau ditafsirkan secara semena-mena yang pada gilirannya berpeluang memicu konflik komunal secara internal atau eksternal (delik materil).
Revitalisasi Polmas dan pendidikan kebhinekaan adalah agenda sertaan. Revitalisasi Polmas ditujukan agar terbangun kelurusan pemahaman bahwa Polmas bukanlah model perpolisian yang mengedepankan paradigma pembinaan oleh polisi sebagai subyek dan masyarakat sebagai obyek binaan. Polmas adalah pendekatan kerja pengelolaan keamanan yang berada di bawah payung nilai-nilai kesantunan dalam masyarakat madani, serta menjadikan keberdayaan masyarakat sebagai tolak ukur keberhasilannya sehingga harus dikembangkan dan menyatu dalam kehidupan pranata sosial masyarakat desa sebagai suatu keutuhan. Sistem sosial semacam itu mutlak diperlukan karena berbagai hasil penelitian mengungkapkan bahwa event of crime mudah tersulut dalam suatu masyarakat yang non-communitarian. Artinya, pengembangan desa harus dilakukan dengan suatu pendekatan sistemik termasuk dalam pengelolaan keamanan atau dengan kata lain konsep Polmas perlu diakomodasi dalam Rancangan Undang-Undang tentang Desa sehingga menyatu dalam sistem pemerintahan desa.
Paralel dengan kebijakan Polmas, pemerintah perlu mengembangkan program-program pendidikan dengan sasaran membangun kesadaran masyarakat agar sudi menerima, menghayati, dan mengamalkan kebhinekaan dalam kehidupan.
Dewasa ini pendidikan multikulturalisme sudah diintegrasikan ke dalam kurikulum sejumlah sekolah. Langkah ini perlu didukung dan diperluas skalanya. Problem sosial kita yang sangat kasat mata dewasa ini ialah semakin menipisnya kadar toleransi warga masyarakat dalam menenggang perbedaan. Inilah yang menjelaskan kenapa masyarakat kita mudah sekali tersulut emosinya untuk berbuat anarkis dan menyerang kelompok lain yang dianggap berbeda, apalagi yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah.
Kedua rekomendasi tersebut, revitalisasi Polmas dan pendidikan kebhinekaan bukan saja terkait kasus Ahmadiyah tetapi secara keseluruhan sebagai strategi dasar dalam rangka membangun bangsa yang berbudaya hukum, dengan meminimalisasi fenomena kekerasan, baik yang dilakukan masyarakat secara berkelompok ataupun melalui tindakan represif kepolisian.
Allahu a’lam.



[*] Guru Besar Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) dan Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (PSP-UI).

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Flickr Images

Formulir Kontak