tulisan

MENDAYAGUNAKAN POLMAS DAN MENGELOLA KAMNEG MULAI DARI DESA

05.37handreasstik66

Prof. Dr. Farouk Muhammad


PENCEGAHAN TERORISME:
Mendayagunakan Polmas dan Mengelola Kamneg
Mulai Dari Desa[1]

Oleh :
Prof. Dr. Farouk Muhammad[2]


Memahami Terorisme di Indonesia
Teror pada hakekatnya merupakan penyerangan psikologis (psywar atau perang urat saraf) dengan kekerasan yang dilakukan terselubung atau tidak langsung sehingga menimbulkan rasa takut atau khawatir dari obyek yang diserang. Dalam bentuk yang paling sederhana, teror dijumpai dalam kehidupan sosial, misalnya yang dilakukan oleh seseorang terhadap sebuah keluarga dalam bentuk fitnah, kabar bohong dan/atau hasutan/ancaman melalui telepon. Yang paling komplek adalah pembajakan pesawat dan penyerangan/pemboman (bunuh diri). Yang terakhir ini lebih dikenal dengan sebutan terorisme.
Walaupun dalam bentuk yang sederhana ada yang berwujud aksi, aktivitas teror pada umumnya merupakan reaksi jahat terhadap aksi yang dipandang “lebih jahat” oleh pelaku, sehingga bukan merupakan kejahatan yang berdiri sendiri (interactionism) dan dapat dikelompokkan ke dalam kejahatan balas dendam (hate crimes). Pandangan “lebih jahat” itu sendiri lebih merupakan persepsi dari pada fakta.  Target yang hendak dicapai oleh pelaku adalah beban psikologis atau rasa takut baik dari sasaran yang diteror maupun lingkungannya.
Prasyarat utama bagi terjadinya teror adalah sikap/perbuatan seseorang/sekelompok orang bahkan kebijakan penguasa (negara) yang dipandang secara subyektif oleh pelaku atau kelompok pelaku sebagai mendzolimi, semena-mena, diskrimintaif dan/atau tidak adil bagi pihak lain. Kedua, bahwa pelaku tidak mempunyai kemampuan untuk memberi reaksi (jahat) secara langsung dan terbuka sementara di lain pihak tidak tersedia legitimate means untuk mengoreksi sikap/perbuatan dan/atau kebijakan dimaksud. Kedua kondisi itulah yang merupakan akar permasalahan yang menumbuhkan perbuatan teror.
Disebut “teror-isme” karena dipandang sebagai sesuatu yang digandrungi (menjadi suatu paham/isme) dengan menggunakan teror sebagai sarana pemaksaan kehendak dalam penyelesaian sesuatu permasalahan. Tujuan teror adalah terwujudnya cita-cita atau apa yang hendak diperjuangkan oleh pelaku. Dalam kasus pembajakan misalnya, adalah tuntutan pembebasan rekan seperjuangan yang ditahan oleh penguasa/lawan. Dalam perjuangan rakyat Irak adalah terwujudnya kebebasan sipil dan hengkangnya pasukan Amerika Serikat & sekutunya dari Irak.

Mengapa Indonesia ? Dari sejumlah kasus terorisme, organisasi atau kelompok pelaku biasanya mendeklarasikan tanggung jawabnya atas suatu penyerangan. Dalam kasus Indonesia belum pernah ada deklarasi dari kelompok/organisasi yang bertanggungjawab, kecuali dari dokumen yang disita penyidik dan pengakuan para tersamgka (Amrozi dkk) yang disebut “Jamaah Islamiyah (JI)”. Perjuangan mereka adalah “melawan” tirani negara-negara adikuasa yang dipandang mengambil kebijakan yang mendzolimi orang-orang muslim, seperti di Israel, Afghanistan, Irak, dll. Perjuangan tersebut segaris dengan gerakan Osama bin Ladden, sehingga berarti bahwa gerakan tersebut merupakan gerakan internasional (sebagian pelaku adalah jebolan dari perjuangan Afghanistan) yang memilih Indonesia sebagai medan perjuangan. Tanpa menutup kemungkinan negara lain, maka pertanyannya: jika benar, mengapa Indonesia?
Indonesia menjadi tempat persemaian bagi virus teroris. Pertama, bangsa yang religius yang bukan saja mengajarkan konsep fisabilillah atau mati sahid, sebagaimana terpampang dalam stiker yang ditemukan di rumah Ibrahim: “Be a good moslem, die as syuhada”, tetapi juga ajaran yang menempatkan nilai keadilan tertinggi dalam kehidupan bersama umat manusia. Ini tidak lalu berarti bahwa konsep penegakan keadilan hanya diajarkan Islam tetapi juga oleh agama lain dan tindakan serupa juga dilancarkan pemeluk agama lain. Namun tidak lalu berarti bahwa untuk menjunjung kedua konsep tersebut ajaran agama serta merta membolehkan perbuatan teror, bunuh diri. Ini adalah penafsiran pribadi dan bisa jadi justru menyimpang dari konsep Islam secara komprehensif. Ada faktor lain yang memungkinkan ajaran yang menyimpang tersebut dengan mudah dijadikan prinsip hidup tertinggi yaitu kemampuan indoktrinasi dari para tokoh/pemrakarsa dan seniornya. Sejarah bangsa Indonesia yang pernah dijajah bangsa barat, yang nota bene kurang mencerminkan pola kehidupan yang agamis sehingga melahirkan cap sebagai orang-orang kafir, dan melahirkan pergerakan-pergerakan yang bertujuan merubah Indonesia menjadi Negara Islam (Gerakan Negara Islam Indonesia atau NII dan Tentara Islam Indonesia atau TII) semakin menambah alasan bagi berkembangnya gerakan terorisme di Indonesia.
Kedua, kondisi sosial ekonomi terutama menyangkut pendidikan yang terkungkung dan mengingkari pluralisme, serta ketersediaan lapangan kerja yang terbatas. Yang terakhir ini membuat tidak sedikit orang berputus asa, hopeless. Robert Merton, pengembang teori normless-nya Emille Durkheim, menteorikan bahwa jika legitimate means tidak cukup tersedia untuk menggapai sukses (material) maka orang-orang cenderung akan: rebelion.
Ketiga, kondisi sosial politik dalam mana bangsa Indonesia membangun kemerdekaannya melalui perjuangan panjang yang dlandasi semangat nasionalisme tinggi yang tertanam dalam diri hampir warga negaranya. Kadar semangat nasionalisme yang tertanam pada sebagian bangsa kita ternyata melahirkan kelompok militan yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Kelompok tersebut bahkan menyebarkan kekecewaan dan kebencian yang berlebihan pada praktek pengelolaan negara terutama tuduhan intervensi negara-negara adikuasa yang dipandang sebagai neo-imperialisme, neo-liberalisme, atau praktek ketidak-adilan, penyalahgunaan kekuasaan, dan lain-lain. Di antara mereka bukan tidak mungkin lahir militan-militan yang siap mengacaukan situasi keamanan bahkan melancarkan bom bunuh diri. Robert Merton dalam teori Strain-nya mengingatkan kita bahwa dalam kondisi ketiadaan sarana yang legal untuk mencapai tujuan, orang-orang bukan tidak mungkin memanfaatkan cara-cara yang illegal, termasuk melakukan perlawananan atau pemberontakan. Sementara kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat dan berpendekatan formal, birokratis dan sentralikstik, memasuki abad ke-21 (A. Toffler), merupakan kondisi yang semakin menimbulkan jarak yang kurang menguntungkan bagi penciptaan kondisi yang kondusif bagi keamanan suatu negara.   
Faktor pertama—termasuk semangat nasionalisme—dan faktor kedua tersedia dalam ladang Indonesia. Untuk mengelola sumber daya yang  potensial bagi gerakan terorisme tersebut dibutuhkan seseorang yang powerfull, baik dalam arti massa pendukung ataupun material. Persoalannya, isu gerakan terorisme bukan hanya bahkan bukan merupakan kepentingan si pemrakarsa tetapi merupakan kepentingan orang-orang atau kelompok bahkan bangsa yang tertindas. Karena itu, proses rekrutmen dan indoktrinasi praktis tidak menemui kendala yang terlalu berat apalagi dengan peluang yang diciptakan faktor-faktor berikut ini.
Jika faktor pertama dan kedua menyumbangkan kondisi yang kondusif bagi proses produksi manusia-manusia militan calon pelaku bom bunih diri, maka faktor keempat ikut memberi peluang yang memudahkan penyebaran bahkan persembunyian jaringan teroris karena didukung oleh nilai-nilai kultural orang-orang Indonesia yang toleran, teposliro, permisif dan serupa. Kondisi sosial budaya seperti itu cukup kondusif bagi lingkungan sosial yang simpati bahkan mendukung gerakan—bukan terorisme atau bom bunih diri—tetapi perjuangan membela kebenaran, menegakkan keadilan, melawan kekuasaan yang kafir, dzolim, dan lain-lain.
Kelima semakin mempersubur peluang persebaran dan persembunyian jaringan teroris disebabkan oleh sistem sekuriti Indonesia yang lemah. Sistem sekuriti kita dalam prakteknya bukan saja dikenal dengan kualitas khususnya dalam hal kemampuan intelejen yang rendah tetapi masih menampilkan karakter sektoral, belum sepenuhnya terintegrasi secara fungsonal. Selain itu, sistem sekuriti suatu bangsa bukan hanya diwarnai oleh gelaran kekuatan “pasukan” keamanan (baca: polisi dan tentara) tetapi bahkan ditentukan oleh sistem identifikasi kependudukan dan sistem pengembangan jaringan informasi (early detection). Bangsa kita karena terbawa oleh tradisi paternalistik yang berorentasi ke atas, sangat gandrung pada pendekatan-pendekatan formal, birokratis, sentralistik, dan serupa.
Terkait penilaian terhadap sistem sekuriti yang diulas di atas, perhatian kita perlu ditujukan pula terhadap fenomena penyerangan terhadap anggota dan fasilitas Polri oleh orang yang tidak dikenal akhir-akhir ini. Terhadap fenomena tersebut, Kompolnas (2013) dalam suatu forum diskusi memberikan catatan tentang “Indikasi Ketidaksiapan Kepolisian” dalam menghadapi—dan juga semakin melemahkan strategi menanggulangi—terorisme. Dari aspek perilaku individual dikemukakan beberapa contoh, seperti sikap yang “semakin curiga, sulit tulus, sinis, menjaga jarak, mengembangkan persepsi ‘musuh’, bersikap tanpa kompromi dan lebih cepat memutuskan melakukan tindakan tegas.”   
Dari aspek kebijakan/gaya pemolisian, Kompolnas mencatat gejala, antara lain: menekankan model operasi (khusus—penulis), antipati (kurang mendorong—penulis) pada Polmas, mendorong paramiliterisme dalam kepolisian dan senang dengan kebijakan ‘profilling’ berbasis agama, wilayah atau suku.”
Secara umum saya dapat memahami penilaian Kompolnas karena sikap dan kebijakan demikian dapat melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan bahkan membuat strategi penanggulangan kurang efektif. Di lain pihak, sikap dan kebijakan demikian dapat ikut menyuburkan kondisi yang menguntungkan pengembangan terorisme di Indonesia. Artinya, Polri bukan saja menjadi sasaran antara bagi kelompok terorisme tetapi juga menyimpan benih-benih yang merupakan “musuh” bagi gerakan mereka. 

Ideologi Baru. Kelima faktor tersebut di atas telah kita miliki, yakni ladang yang  bukan saja kondusif bagi produksi kelompok-kelompok militan dan calon-calon pelaku tetapi “nyaman” bagi persembunyian mereka bahkan “pencarian dukungan publik” bagi pergerakan mereka. Mereka tinggal menunggu sinyal sang aktor intelektual atau pemberi order atau bahkan atas inisiatif sendiri menyikapi event-event tertentu.  Yang tersisa tinggal membeli bahan-bahan yang relatif bisa diperoleh di toko-toko tertentu, merakit dan memilih tempat dan waktu yang tepat.
Jika penilaian saya tersebut di atas benar, maka dapat diprediksi bahwa peristiwa terorisme di Indonesia belum akan pudar walaupun dengan tertangkapnya Nurdin M. Top dan sejumlah tokoh-tokohnya. Saya khawatir, kegiatan terorisme telah berproses sehingga menjadikannya sebagai suatu ideologi baru yang menekan ideologi barat (liberalisme). Peradaban dunia bukan lagi diwarnai oleh dua ideologi: barat (Amerika Serikat) dan timur (Rusia) dengan gelaran kekuatan yang seimbang (perang dingin), tetapi ideologi barat (liberalisme) yang selalu dibayangi oleh terorisme. Saya rasa inilah fenomena yang diprediksi oleh Toffler sebagai kelahiran kekuatan minority yang justru menjadi kelompok penekan yang tidak kalah signifikan dari pada kekuatan majority.
Persoalannya sudah barang tentu tidak sesederhana kita melihat bom bunuh diri yang ditujukan terhadap fasilitas yang berbau AS dan sekutunya. Bom bunuh  diri bukanlah tujuan melainkan hanya sebuah sarana untuk mengekspresikan sikap perlawanan secara tidak langsung terhadap segala bentuk kezaliman. Akan adakah bentuk perlawanan serupa selain bom bunuh diri—jika yang terakhir ini mampu dicegah melalui pengembangan sistem sekuriti (hard ware) yang ketat ?

Pengembangan Strategi Terorisme. Dalam berbagai kesempatan saya mengulas bahwa di satu sisi, di tengah berbagai prestasi yang ditunjukan Polri  bersama aparat keamanan dalam penindakan dan pengungkapan jaringan terorisme di Indonesia, fenomena pemboman dan penyerangan yang dilakukan kelompok terorisme nampaknya seolah-olah semakin meningkat. Bagi saya, keberhasilan demikian tetap merupakan prestasi bagi aparat keamanan khususnya Densus 88, sementara perkembangan peningkatan aktivitas terorisme merupakan porsi upaya pencegahan dan penanggulangan yang merupakan tugas dan tanggung jawab segenap pemangku kepentingan.
Peningkatan aksi terorisme ditandai perubahan strategi yang mereka kembangkan. Kompolnas (2013) menilai bahwa :”Dari proses radikalisasi melalui interaksi geneologi dan skolastik menuju self-radicalization. Dari kalangan pesantren menuju kalangan kelas menengah yang professional.”  Sementara saya pada 2010 telah membuat catatan sebagai berikut:
Lebih lanjut, AS dan sekutunya, seperti yang terungkap dari gerakan JI dibalik berbagai aksi terorisme khususnya di Indonesia, bukanlah satu-satunya pencipta akar permasalahan terorisme. Saya khawatir, dalam kacamata pelaku, AS hanyalah sebuah lambang tirani, sementara tirani, penzoliman, penyalahgunaan wewenang, diskriminasi, ketidakadilan, dan yang serupa terlakoni dalam banyak pentas kehidupan. Pertanyaannya, akan adakah sasaran-sasaran lain selain fasilitas terkait AS dan sekutunya? Tidakkah kelompok minoritas itu menggeserkan anak panah perlawanannya kepada sasaran-sasaran baru dari dalam negeri yang relatif lebih mudah terjangkau walau tidak memberi dampak psikologis yang mendunia? Tidakkah akan lahir penumpang-penumpang gelap yang sakit hati pada sistem yang diberlakukan (baca: NII/TII—penulis) atau persaingan bisnis yang begitu tajam, yang mendorong terjadinya sikap perlawanan ala teroris.

Mengenal Polmas Sebagai Model Perpolisian Kontemporer
Kita cenderung lebih senang menangani sendiri permasalahan dari pada mendelegasikannya kepada perangkat pelaksana pada tingkat yang lebih rendah dan dari pada membuka diri dan melibatkan pemangku kepentingan lain untuk ikut dalam pemecahan permasalahan. Sejalan dengan prinsip-prinsip masyarakat madani (civil society), kebutuhan untuk mengedepankan prinsip desentralistik, memfokuskan pada pemecahan permasalahan, melibatkan dan memberdayakan masyarakat dan menyingkirkan pendekatan yang otoriter telah melahirkan paradigma baru tentang prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance). 
Dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, pergeseran paradigma tersebut mendorong pengembangan konsep civil police (kepolisian sipil), suatu model perpolisian yang menawarkan pendekatan yang humanistis, yang saling menghargai dan berinteraksi dengan warganya dengan santun dan beradab dalam menyajikan layanan kepolisian.
Sejalan dengan itu, pada dekade 70an mulai diluncurkan model perpolisian kontemporer: Community-Oriented Policing (COP) dan atau Community Policing (CP). Di satu pihak, COP menuntut perubahan pendekatan penyajian layanan kepolisian (poice service) dari orientasi korporasi (lembaga) ke orientasi pasar (komunitas); artinya, penyelenggaraan fungsi-fungsi kepolisian secara konvensional tetap dijalankan tetapi orientasinya digeser kepada  kepentingan “menyenangkan” masyarakat, kepada siapa lembaga dan para personel polisi bertanggungjawab.
Di lain pihak, CP menawarkan suatu pranata baru  penyelenggara fungsi kepolisian, bukan lembaga/institusi birokratis tetapi pranata sosial. Dalam hal ini, penyelenggaraan fungsi kepolisian bukan lagi semata-mata ranahnya lembaga formal kepolisian melainkan juga menjadi arena yang melibatkan peranan warga secara nyata; artinya, fungsi kepolisian baik dalam hal pemeliharaan kemanan dan ketertiban maupun penegakan hukum , dalam batas-batas tertentu, juga dilaksanakan secara kolektif oleh warga.  Karena itu, filosofi yang melatarbelakangi kelahiran CP adalah bahwa pemecahan permasalahan dalam kehidupan tidak dapat lagi dilakukan secara terpusat tetapi harus diturunkan ke lapis yang serendah mungkin (desentralisasi) dan tidak dapat lagi ditangani secara sepihak oleh komponen politik (negara) tetapi harus diatasi bersama melalui pemberdayaan komponen masyarakat (empowering).

Polmas, Community Policing ala Indonesia. Di Indonesia, konsep serupa pernah diimplementasikan dengan sebutan Sistem Keamanan Swakarsa (Siskamswakarsa) yang dioperasionalisasikan dengan Sistem Keamanan Rakyat Semesta (Siskamrata). Perbedaannya, Siskamrata melalui aktor utama atau motor penggeraknya “Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas)” pada era itu lebih menekankan pada pendekatan pembinaan dari pada pemberdayaan warga. Hal tersebut melahirkan kesan bahwa “pembina” memilki kelebihan kemampuan dari pada “yang dibina” atau setidak-tidaknya bahwa pembina memiliki “kewenangan” untuk mengatur, memerintah dan mengendalikan yang dibina—suatu pendekatan yang sudah atau lambat laun sudah tidak sejalan lagi dengan peradaban kekinian. Dalam Siskamrata, masyarakat dipandang sebagai obyek sementara dalam Polmas diperlakukan sebagai subyek. Kegiatan siskamrata dilakukan melalui mekanisme pembinaan sememtara Polmas melaksanakan pendekatan melalui proses identifikasi, diskusi dan mencari solusi penyelesaian masalah. Sistem keamanan lingkungan cenderung dilakukan lebih merupakan instruksi dari pada kesadaran karena kebutuhan. Penyelesaian permasalahan terutama pertikaian antar warga cenderung dilakukan melalui mekanisme formal dari informal.
Pembinaan Kamtibmas melalui pola Siskamrata lebih diarahkan pada upaya menghasilkan keluaran (out-put) “mobilisasi bala (kekuatan)” untuk dihadapkan pada ancaman/gangguan dari pada peningkatan kualitas hidup warga yang yang pada gilirannya dapat mencegah atau meminimalisasi ancaman dari dalam diri dalam lingkungannya. CP melihat ancaman dapat lahir dan berkembang dan kekuatan dapat diberdayakan dari dalam kehidupan komunitas itu sendiri. 
Siskamswakarsa tidak lalu tidak sejalan dengan konsep CP. Pengembangan program seperti Kelompok Sadar (Pokdar) Kamtibmas dapat dipandang selaras dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam konsep CP. Keduanya sama-sama mempersyaratkan pembangunan kemitraan antara negara (Polri) dengan warga masyarakat. Konsep CP di Indonesia diadopsi dengan sebutan: Polmas (Perpolisian Masyarakat) sebagaimana ditetapkan dalam Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005. Terakhir, kebijakan Polmas didipertegas kali dengan penerbitan Peraturan Kepolri Nomor 7 Tahun 2008.  Dalam hal ini, Polmas merupakan konsep CP ala Indonesia atau konsep Siskamswakrsa yang diperbaharui atau disesuaikan dengan peradaban kekinian. Selain itu, model Polmas juga tetap mempertahankan mekanisme penyelesaian sengketa antar warga secara kekeluargaan yang sudah mentradisi dalam kehidupan nenek moyang bangsa kita.
Polmas mengandung dua unsur utama, yaitu pemecahan permasalahan dan  kemitraan.

Unsur Utama Pemecahan Permasalahan. Konsep pemecahan permasalahan yang pertama mengutamakan upaya pencegahan. Pemecahan masalah melalui upaya pencegahan bukan hanya sekedar mengadakan patroli atau ronda kampung (preventif pasif), seperti yang biasa kita lakukan dalam konsep Siskamswakarsa atau Siskamling. Model perpolisian komunitas menekankan pada kemampuan pencegahan kejahatan oleh warga masyarakat sendiri. Warga harus dilibatkan bukan sekedar sebagai pemeran pembantu tetapi dalam keseluruhan upaya pencegahan kejahatan, mulai dari membangun kepedulian di antara mereka sampai kegiatan-kegiatan fisik pencegahan kejahatan dan mengembangkan konsep penanggulangan yang berskala strategis.  Mereka harus dibangunkan kesadarannya bahwa kejahatan tidak semata-mata karena adanya niat jahat dari pelaku, tetapi juga kontribusi korban dan atau pembiaran oleh lingkungan sosialnya yang bahkan kadang-kadang mentradisi dalam bentuk toleransi yang mengambang atas perilaku pelanggaran hukum.
Pada tataran praktis. warga bukan lagi sekedar diberi khotbah untuk mencegah “niat” jahat, tetapi secara bersama-sama dengan difatilisasi melalui forum dialog perlu dibangunkan komitmennya untuk saling mengajak bahkan saling mengingatkan agar tidak melakukan sesuatu atau memberikan kesempatan bagi terjadinya kejahatan. Ini berarti kita harus mengefektifkan berfungsinya “informal social control mechanism” yang hampir lentur dalam beberapa dekade terakhir kehidupan umat manusia, setelah terbentuknya lembaga (negara) kepolisian modern sejak awal abad ke-19.
Forum dialog diharapkan meningkatkan interaksi dan pertukaran informasi untuk meminimalisasi kejahatan,  mulai dari, misalnya, menghindari pemakaian perhiasan berharga yang mencolok di tempat-tempat umum, keberanian menegur tetangga atau kawan, misalnya yang memarkir kendaraannya dengan menghalangi jalan, mewaspadai tamu atau warga baru yang mencurigakan dan membatasi keluar-masuknya kendaraan pada malam hari. Dengan memberdayakan kearifan lokal yang pernah efektif melakukan pengendalian sosial pada dekade-dekade sebelumnya yang dikemas dengan pendekatan mutakhir, komunitas melalui forum tokoh-tokohnya dapat mengatur dan mengendalikan, misalnya, larangan berjualan minuman keras di kampung-kampung, larangan membawa senjata tajam di tempat-tempat umum apalagi mempersenjatai diri ketika melakukan unjuk rasa atau bahkan sampai pada upaya menjadikan komunitas mereka sebagai zona integritas yang bebas dari warganya yang koruptif.,
Lebih dari itu, warga melalui sejumlah perwakilan masyrakat mereka bersama petugas Polmas setempat diharapkan mampu melakukan evaluasi dan identifikasi permasalahan-permasalahan gangguan Kamtibmas yang mereka hadapi. Atas dasar itu, mereka mengembangkan gagasan dan program-program yang perlu dilakukan untuk meminimalisasi ancaman, baik yang dapat dilakukan oleh dan dalam level komunitas yang bersangkutan maupun yang perlu diajukan kepada pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat setempat. Melalui forum dialog bahkan bisa digali informasi mengapa ada warga yang menganggur “terpaksa” berbuat jahat atau tingkat pengangguran yang melampaui ambang batas, sehingga melalui kebersamaan dengan unsur pemerintah dan swasta bisa dipikirkan bersama jalan keluar pemecahan permasalahannya.
Konsep Polmas tidak hanya sekedar mengembangkan upaya penanggulangan kejahatan. Disadari, bahwa bagaimanapun hebatnya strategi pencegahan tetapi karena merupakan produk masyarakat, kejahatan masih saja tetap mungkin terjadi. Jika kita ingin hidup dalam lingkungan yang bebas kejahatan maka itu hanya dapat ditemukan dalam lingkungan ”tanpa masyarakat” – suatu  yang mustahil. Karena itu, dalam konsep Polmas disiapkan jalan keluar pemecahan masalah lain yaitu keikutsertaan warga dalam menyelesaikan perkara-perkara serba ringan atau perkara-perkara pertikaian antar warga. Penanganan perkara demikian tidak selalu harus diselesaikan melalui pedang hukum, dengan membawa pelaku ke pengadilan dan menjebloskannya ke dalam penjara. Hal-hal seperti ini kalau bisa diselesaikan pada level Polmas akan lebih baik. Kedua pihak yang bertikai, baik pertikaian fisik atau pertikaian karena mencuri barang yang nilainya tidak begitu berarti atau ingkar janji karena penggelapan/penipuan sepanjang dapat diselesaikan pada level komunitas, kenapa kita harus menghabiskan energi dan cost membawa permasalahan tersebut melalui proses pengadilan yang belum tentu bisa memecahkan masalah tetapi bahkan dapat menimbulkan saling dendam turun temurun.

Unsur Utama Kemitraan. Unsur utama kedua adalah kemitraan, yang menuntut kebersamaan antara polisi dan masyarakat yang diperankan terutama melalui keterpaduan tiga komponen utama yaitu Polri, Masyarakat dan Pemerintah Daerah/Desa. Tiga lembaga inilah yang disebut sebagai pilar utama dalam penyelenggaraan Polmas dalam komunitas. Mengapa disebut komponen utama karena ketidakterpaduan mereka akan mengurangi bahkan meniadakan arti dan efektivitas Polmas. Masyarakat dan pemerintah desa bisa saja mengembangkan pranata yang disebut Polmas atau dengan nama lain, tetapi operasionalisasinya menjadi sangat terbatas dalam lingkungan mereka sendiri, sementara dampak penerapannya bisa menyangkut warga lain di luar komunitas mereka dan bahkan dalam banyak hal memerlukan dukungan perangkat negara—melalui petugas Polmas—sebagai pemegang otoritas pengelola keamanan publik. 
Demikian pula halnya, jika Polmas hanya merupakan bisnisnya masyarakat dan Polri, karena penerapan Polmas akan saling bertautan dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lain yang harus dijamin keterpaduannya oleh pemerintah desa dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Keberhasilan Polmas menjamin Kamtibmas dalam kehidupan masyarakat desa menjadi prasyarat bagi kelancaran tugas-tugas pemerintahan dan kegagalannya bukan saja menurunkan derajat kualitas tetapi juga kontraprodukti bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan.
Kemitraan dalam konsep Polmas berbeda dengan pengertian kerjasama (konvensional) antara kepolisian dengan masyarakat. Melalui pendekatan tradisional kerjasama tersebut diwujudkan, misalnya, agar polisi mendapatkan bantuan informasi dari masyarakat atau masyarakat ikut menjaga lingkungannya. Di samping itu, masyarakat juga tidak jarang menjadi sumber pendapatan atau sumber anggaran dan dukungan logistik bagi penyelenggaraan fungsi kepolisian. Kemitraan di sini lebih dari sekedar pembagian tugas dan peran, melainkan keterpaduan dalam pengelolaan Kamtibmas di desa, mulai dari menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan sampai merencanakan, mengorganisasikan dan melaksanakan program-program dalam rangka menjamin Kamtibmas dalam lingkungan komunitas yang bersangkutan termasuk menyelesaikan berbagai permasalahan dan mengusahakan langkah-langkah penanggulangan gangguan/ancaman Kamtibmas.
Konsep kemitraan perlu diwujudkan secara kelembagaan (struktural), dengan membentuk suatu forum yang melibatkan sejumlah warga yang dipandang mewakili suara dan kepentingan kelompok-kelompok warga (geografis/fungsional/kultural) dalam suatu komunitas (desa/keluarahan).  Dewasa ini, sesuai kebijakan Pimpinan Polri, forum tersebut dapat—tidak harus—disebut FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat). FKPM bisa tampil dalam berbagai wujud sesuai dengan kondisi setempat, bahkan bukan tidak mungkin dengan memeranka lembaga seperti Badan Permusyawaratan Desa (BPD) atau lembaga adat, misalnya. Karena itu, FKPM sesungguhnya bukan struktur tetapi fungsi, sehingga bisa mewujud dalam berbagai bentuk.
Kemitraan dalam konsep Polmas mengandung suatu kerjasama yang komprehensif, yang fungsinya mencakup: (1) pengidentifikasian setiap permasalahan yang dihadapi; (2) perumusan konsep dan rencana tindak lanjut, baik dalam bentuk program pembinaan Kamtibmas yang akan mereka laksanakan sendiri maupun usulan program kepada Pemda dalam rangka penanggulangan permasalahan; (3) pengaturan penyelenggaraan (organizing) secara bersama, di mana polisi dengan sumber daya yang terbatas dipadukan dengan kesediaan masyarakat yang di "empowered" untuk ikut berpartisipasi dalam upaya bersama mengatasi kekurangan sumber daya kepolisian sehingga terbentuk suatu kerjasama yang terbuka dan bertanggung jawab; dan (4) kerjasama dalam upaya mengendalikan, mengawasi dan bahkan mengevaluasi keseluruhan proses pemecahan masalah, dan seterusnya.
Polmas merupakan suatu pranata sosial–-bukan lembaga kepolisian alternatif, yang melengkapi fungsi kepolisian konvensional. Polmas tidak mengalihkan atau meniadakan fungsi kepolisian konvensional terutama dalam upaya penegakan hukum, tetapi menutupi kekurangannya.

Mengembangkan Desa Polmas. Polisi masih cenderung melihat masyarakat sebagai produsen kejahatan sehingga perlu menjadi obyek pelaksanaan tugasnya dan memandang hubungan mereka dengan masyarakat sebagai hubungan hirarkhis dari pada hubungan fungsional (dahulu brata kesatu dari Tri Brata menyatakan bahwa polisi adalah warga negara utama dari pada negara). Keengganan untuk merubah “mindset” ini tercermin dari kebijakan untuk kembali menggunakan terma “Bintara—sekarang dirubah menjadi Bhayangkara—Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat atau Babinkamtibmas". Walaupun dalam beberapa hal terutama dalam kehidupan yang masih kental dengan pola tradisional masih dipandang efektif, pendekatan semacam itu semestinya sudah tidak sejalan dengan perkembangan kehidupan pada era teknologi dan informasi ini.
Di dalam diri masyarakat tersimpan potensi, potensi untuk mencegah kejahatan itu sekaligus. Sama seperti halnya dengan aspek-aspek kehidupan lainnya, potensi tersebut harus diberdayakan (empowered), bukan lagi dengan cara membina tetapi memfasilitasi segenap sumberdaya yang ada dan polisi harus disiapkan kemampuannya untuk menjadi fasilitator.
Dalam hal seperti diuraikan di atas, model penyelenggaraan fungsi kepolisian yang hanya didominasi atau di bawah binaan polisi sukar dipertahankan. Kontradiksi kepentingan masyarakat modern—bahkan juga masyarakat tradisional yang menerima persepsi keliru tentang kebebasan—dengan model kepolisian yang konvensional akan terus terpelihara. Seperti yang kita saksikan atas sejumlah kasus kekerasan kelompok terhadap sarana/prasarana dan personel Polri akhir-akhir ini, kontradiksi demikian tidak jarang melahirkan konflik fisik yang komunal. Nampaknya, perlu dijadikan bahan renungan dan evaluasi tentang keterlibatan mereka yang pernah menjadi obyek “binaan” Polri (Babibkamtibmas, Da’i Kamtibmas dan Personel lain) dalam berbagai kasus pelanggaran hukum bahkan kekerasan kelompok dan gangguan keamanan lainnya.

Mengelola Keamanan Negara Dalam Menangani Terorisme
Berdasarkan uraian di atas, istilah keamanan mempunyai pengertian yang beraneka ragam sehingga tidak mungkin berdiri sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan sesuatu. Pengertian istilah keamanan sangat tergantung pada kata yang mengikutinya. Ditinjau dari tatanannya, paling tidak kita bisa mengelompok kan ada empat kategori keamanan, yaitu: (1) International Security; (2) National (State) Security; (3) Public Security (And Order), dan (4) Human Security.
Keamanan negara adalah hanyalah salah satu bidang keamanan yaitu yang mencakup upaya untuk menjamin keamanan negara sebagai suatu entitas. Walau saling terkait, Keamanan negara berada dalam domain yang berbeda dengan keamanan umum. Keamanan negara menyangkut kepentingan eksistensi, keutuhan dan kedaulatan negara, sedangkan keamanan umum menyangkut kepentingan eksistensi/ kelangsungan hidup dan ketentraman individu/ kelompok orang yang (pada umumnya) hidup dalam negara.  Selanjutnya keamanan negara dan keamanan umum juga memiliki domain yang berbeda dengan keamanan manusia yang bersifat individual/privat. Keamanan manusia pada dasarnya menyangkut perlindungan atas: (1) hak-hak dasar individu, mencakup: hak hidup, kedudukan sama di mata hukum, perlindungan terhadap diskriminasi yang berbasis ras, etnik, jenis kelamin atau agama; (2) hak-hak legal, mencakup: akses mendapat-kan perlindungan hukum serta hak untuk mendapatkan proses hukum yang sah; (3) kebebasan sipil, meliputi: kebebasan berpikir berpendapat dan menjalankan ibadah agama/ kepercayaan; (4) hak-hak kebutuhan dasar, terdiri atas: akses ke bahan pangan, jaminan dasar kesehatan dan terpenuhinya kebutuhan hidup minimum; (5) hak-hak ekonomi, meliputi: hak untuk bekerja, hak rekreasi serta hak jaminan sosial; dan (6) hak-hak politik, yang mencakup: hak dipilih dan memilih dalam jabatan-jabatan politik serta hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan negara. 

Domain Keamanan Negara. Berbicara tentang keamanan negara tentu tidak perlu berbicara tentang perkelahian dua orang penduduk, apalagi perkelahian suami istri. Juga tidak perlu mencakup pernyataan pendapat seseorang yang berbeda dengan P4 atau bahkan mengkritisi kebijakan pemerintah, yang merupakan domain human security, seperti yang kita alami di masa lalu. Tetapi keamanan negara juga tidak hanya berbicara tentang ancaman invasi militer dari luar negeri. Seperti halnya suatu organism, gangguan “kesehatan” suatu negara tidak selalu karena serangan “wabah” dari luar tubuhnya, tetapi juga bahkan karena serangan “virus” yang ada dalam dirinya. Pengalaman kehancuran sejumlah negara seperti Uni Soviet dan Yugoslavia membenarkan postulat tersebut. Namun perlu segera digaris-bawahi “virus” tersebut juga diciptakan oleh negara itu sendiri yang terlalu jauh mencampuri urusan-urusan sosial dan individu. Pemberontakan atau gerakan separatis bersenjata bahkan konflik komunal yang menimbulkan kerusuhan yang anarkis dapat mengancam keamanan negara.
Lebih dari bentuk-bentuk ancaman yang disebut di atas, patut dipertanyakan kalau bentuk-bentuk kejahatan seperti pembajakan, penyelundupan, narkoba, illegal logging, illegal fishing/mining, imigrasi illegal dll, walau merupa kan kejahatan lintas negara, dikategorikan sebagai bentuk ancaman terhadap keamanan negara karena permasalahannya lebih pada upaya penegakan dan kepastian hukum. Pendekatan yang lebih rasional untuk membedakan kedua bentuk keamanan tersebut bukan dilihat dari jenis kejahatan tetapi eskalasi gangguan.
Isu keamanan negara jelas menyangkut ancaman yang bersumber dari luar negeri (eksternal), yaitu invasi militer, agresi militer dan pelanggaran wilayah berbatasan negara. Sementara itu, dari berbagai pengalaman penanganan ancaman terhadap keamanan negara ancaman yang bersumber dari dalam negeri (internal) dapat dikategorikan sebagai berikut : (1) pemberontakan bersenjata, (2) gerakan separatis bersenjata, (3) konflik komunal yang anarkis dan menimbulkan kerusuhan massa, (4) terorisme internasional, dan (5) kejahatan terhadap keamanan negara sebagaimana tercakup dalam Bab Kesatu buku II Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Untuk menghadapi ancaman tersebut butir (1) dilakukan melalui upaya pertahanan dengan aktor utama TNI bersama aktor-aktor pendukung lainnya, sedangkan ancaman tersebut (4) dan (5) melalui upaya pembinaan keamanan umum dan penegakan hukum, dengan aktor utama Polri bersama dan didukung oleh aktor terkait lainnya. Untuk menghadapi ancaman tersebut (2) dan (3)—pada posisi pertengahan—dilakukan melalui upaya pembinaan kemanan dalam negeri yang melibatkan secara terpadu kedua aktor yang melaksanakan upaya tersebut pertaa dan kedua.

Dampak Tindakan Teror. Dampak tindakan teror bukan hanya sekedar mengganggu keamanan umum dan menimbulkan rasa takut dalam bentuk pelanggaran hukum, tetapi juga dampak-dampak lain. Terorisme merampas HAM korban yang justru bukan merupakan target aksi teror, melainkan sasaran antara untuk menekan target itu sendiri. Aksi terorisme juga menarik perhatian, bukan saja terhadap kemungkinan jatuhnya korban warga negara lain tetapi sasaran teror bisa juga ditujukan langsung kepada negara lain atau setidak-tidaknya fasilitas kedutaan negara sahabat. Dalam kaitan tersebut negara lain bisa memberi tekanan kepada negara dimana terjadi aksi teoro yang apabila tidak disikapi sebagaimana mestinya dapat berdampak negatif terhadap hubungan kedua negara bahkan sejumlah negara pernah mendeklarasikan ”ancaman” untuk melakukan intervensi jika negara yang bersangkutan tidak menanganinya sebagaimana mestinya.

Strategi Penanganan Terorisme. Strategi penanganan terorisme harus ditumpukan  pada upaya deteksi karena aksi teror terjadi—dalam bentuk gangguan keamanan yang cukup meresahkan masyarakat—merupakan akibat dari kegagalan upaya deteksi. Upaya deteksi dilakukan baik dalam rangka penindakan (setelah peristiwa) maupun pencegahan (sebelum peristiwa). Upaya pencegahan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan pemeliharaan keamanan (preventif pasif) dan pembinaan keamanan (preventi aktif atau proaktif dan preemptif). Sementara penindakan dilakukan melalui kegiatan-kegiatan penegakan keamanan (represif) dalam rangka memulihkan situasi dan kondisi keamanan dan penegakan hukum, sebagai tindakan korektif.
Untuk dapat  menerapkan strategi penanganan sebagaimana diuraikan di atas maka perlu dipahami rangkaian kegiatan berkenaan dengan aktivitas terorisme. Akivitas terorisme diawali dengan upaya menarik simpati dan kaderisasi guna mendapatkan pengikut seideologi atau seperjuangan. Setelah melakukan rekrutmen tahap berikutnya adalah melakukan aksi teror yang aktivitanya melakukan penyerangan, perusakan, menakut-nakuti, melukai, hingga mematikan.
Setelah melakukan aktivitas teror, para teroris dan pengikutnya selanjutnya menyembunyikan diri/membaur dengan warga untuk mendapatkan perlindungan. Jika dilakukan penegakan hukum (Gakkum) terhadap pelaku dan pengikut teroris maka mereka akan menggalang dukungan pembelaan dari masyarakat serta menciptakan kondisi apatis dan antipasti kepada aparat keamanan dengan berbagai tuduhan konspirasi dan tindakan represif yang dilakukan.
Penanganan terorisme membutuhkan strategi komprehensif atau tidak bisa ditangani secara parsial. Strategi penanganan meliputi aspek penindakan sekaligus pencegahan. Baik aspek penindakan maupun pencegahan keduanya membutuhkan strategi deteksi yang tepat. Pada aspek penindakan upaya yang dilakukan adalah penegakan keamanan (Gakkam) dan penegakan hukum (Gakkum). Sementara pada aspek pencegahan dilakukan dengan pembinaan keamanan (Binkam) dan dan pemeliharaan keamanan (Harkam).
Pencegahan terorisme dilakukan secara sinergis oleh pemangku amanah keamanan negara meliputi Polri, TNI, Pemda/Kesbang, serta komponen masyarakat lainnya. Strategi yang dilakukan disesuaikan dengan karakteristik objeknya, yang meliputi aktivitas-aktivitas, sebagai berikut:
a)      pengkondisian dilakukan terhadap kelompok masyarakat umum dan kelompok apatisan (kurang peduli pada upaya pemeliharaan keamanan);
b)      penggalangan dilakukan terhadap kelompok pembela dan kelompok pelindung.
c)       kontra radikalisasi dilakukan terhadap kelompok masyarakat umum dan kelompok simpatisan.
d)      deradikalisasi dilakukan terhadap kelompok militant kader teroris dan ex pelaku terorisme.
Strategi pencegahan dilakukan dengan mengintensifkan komunikasi (dialog) dan pemberdayaan kelompok yang berpotensi dan atau diduga memiliki keterkaitan dengan kelompok teroris. Terorisme memiliki keterkaitan erat dengan motif politis dari pelaku terorisme. Penanganan terorisme sebagai kejahatan teroganisasi sering menghadapi lingkaran setan kegagalan apabila masih terdapat legitimasi teror dari organisasi terorisme. Komunikasi dan dialog serta pemberdayaan kelompok masyarakat perlu diintensifkan dalam kerangka menjembatani aspirasi, mencegah berkembangnya potensi terorisme, serta secara tidak langsung melakukan delegitimasi motif teror.
Di lain pihak, para teroris yang pernah menderita brain washed (kaderisasi), harus ditolong untuk memperoleh kembali kesadarannya melalui usaha, pekerjaan dan kegiatan “deradikalisasi”. Usaha-usaha tersebut perlu melibatkan berbagai personil dan organisasi sosial keagamaan dalam operasi-operasi penggalangan dengan pendekatan cerdas. Peran umat Islam Moderat menjadi semakin sentral untuk memobilisasi dan mengorganisir diri mereka, guna menanduskan tanah kelompok fundamentalis agar akarnya mati.
Program deradikalisasi pada dasarnya berangkat dari asumsi bahwa terorisme berawal dari radikalisme. Oleh karena itu, upaya memerangi terorisme lebih efektif melalui deradikalisasi. Esensinya adalah mengubah pemahaman atau pola pikir yang dianggap salah (melalui proses pencucian kembali otaknya). Caranya dengan memberikan pengalaman baru yang didapat bukan dari medan perang, tetapi dari kehidupan sosial lewat interaksi antarmanusia secara terbuka dan inklusif agar mendapat pemahaman yang benar soal terorisme, misalnya dengan mendudukan peyorasi makna jihad sebagai terorisme, dampak dan kerugian tindakan terorisme, dan lain sebagainya. Berbagai upaya harus dilakukan untuk menyadarkan bahwa tindakan teroris itu tidak dibenarkan oleh agama apa pun sehingga tidak ada lagi kebencian terhadap agama lain, aparat, lingkungan, warga sipil, dan bangsa lain.
Untuk melakukan hal tersebut aparat keamanan perlu melaksanakan soft strategy dengan masuk ke dalam kehidupan masyarakat lewat deteksi dini, pengkondisian, penggalangan, kontra radikalisasi, serta deradikalisasi berupa pembinaan terhadap para eks pelaku teror dan pendukungnya. Prioritas objek/target dalam pendekatan ini disesuaikan dengan aksi penanganannya.
Tidak ada pilihan lain bagi bangsa ini selain melaksanakan pendekatan lunak secara komprehensif dalam menyelesaikan kasus terorisme. Pendekatan ini yang mungkin akan bisa menjawab pertanyaan mengapa terorisme itu muncul di Indonesia dan bagaimana cara untuk menghadapinya.

Fungsi Polmas. Pencegahan terorisme sebagaimana pencegahan tindak kejahatan merupakan tindakan untuk memberikan perlindungan dan menghindari rasa takut masyarakat dari gangguan teror/kejahatan. Selanjutnya pengamanan terhadap masyarakat tidak semata-mata terfokus pada para pelaku terror/kejahatan, tetapi juga pada kecenderungan dalam mengendalikan teror/kejahatan itu sendiri. Untuk mencegah dan memberikan perlindungan masyarakat terhadap ancaman teror maka dilakukan tindakan kepolisian. Adapun tindakan kepolisian dimaksud adalah:
a)      Melakukan eliminasi terhadap faktor-faktor kriminogen yang ada dalam masyarakat;
b)      Menggerakan potensi masyarakat dalam hal mencegah dan mengurangi kejahatan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dijelaskan bahwa upaya memberikan perlindungan masyarakat dari rasa takut terhadap gangguan teror/kejahatan harus dilakukan secara tegas. Namun demikian kebijakan yang bersifat pencegahan lebih diutamakan yaitu dengan melakukan eliminasi terhadap faktor korelatif kriminogen dengan menggerakan potensi dan partisipasi masyarakat. Termasuk melakukan kegiatan pencegahan pada daerah rawan dan kegiatan penindakan terhadap kejahatan yang muncul. Kegiatan pencegahan kejahatan ini sebaiknya dilakukan secara terorganisir karena jika tidak dilakukan secara terorganisir kemungkinan besar kegiatan pencegahan terror dan kejahatan tidak akan berjalan secara efektif dan tidak mendapat hasil yang maksimal.
Dalam konteks strategi pencegahan di atas, Polmas melakukan langkah-langkah penangan terorisme sebagai berikut:  
1)      Menyelenggarakan deteksi
2)      Melaksanakan identifikasi permasalahan
3)      Melaksanakan dialog dengan warga termasuk pelajar/santri/mahasiswa secara kelompok atau individual
4)      Menampung masukan setiap keluhan warga sebagai bagian dari pelayanan publik
5)      Mencari jalan keluar atau menyalurkan keluhan/aspirasi warga

Dalam konteks tersebut Polmas melaksanakan dua fungsi pokok, yaitu: pertama, melakukan deteksi/pantau dengan jalan mengindentifikasi perilaku menyimpang (janggal) dari warga dalam kegiatan keagamaan serta memantau aktivitas warga/pendatang baru/tamu. Kedua, melaksanakan dialog dengan masyarakat yang dalam pelaksanaannya diprakarsai tokoh setempat, dilaksanakan secara insidentil atau berkala tapi non-fromal. Sementara subtansi dialog diarahkan pada tema atau isu-isu bangsa yang hangat. Polmas juga dapat secara aktif melakukan inventarisasi keluhan-keluhan warga tentang pemerintah/aparat keamanan sambil memperhatikan warga yang bersuara minor atau sama sekali menghindarkan diri.
Pertemuan FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat) dilakukan secara regular dengan agenda:  
1)      Bahas dan identifikasi permaslahan situasi/gangguan keamanan dan ketertiban
2)      Susun program dalam rangka mengatasi permasalahan baik dilaksanakan sendiri atau disalurkan kepada Pemda/DPRD
3)      Sambang warga yaitu aktivitas mengenal warga secara individual dan mendengarkan masukan-masukan mereka
4)      Melaksnakan kegiatan pemeliharaan/penjagaan keamanan , antara lain melalui aktivitas ronda penerangan, penataan ruang/pembuangan sampah, dan lain-lain
5)      Penyelesaian sengketa antarwarga dengan segera

Mendayagunakan Polmas dengan Memadukan Aktor Keamanan Negara. Polmas melaksanakan kegiatan penanganan terorisme di level grass root dengan pendekatan non-formal. Sebagaimana dijelaskan Polmas menjalin sebagai actor penggerak di lapangan menggarap upaya-upaya pencegahan pada komunitas masyrakat dengan menggalang komunikasi dan dialoh dengan FKPM, Babinsa, dan simpul-simpul warga, termasuk individual berperan seperti tukang ojek atau marbot/imam masjid atau mushola. Aktivitas tersebut tentu saja dilaksanakan secara sinergis dengan komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah desa sebagai penanggung jawab wilayah desa. 
Sementara itu di tingkat Kabupaten/Kota saat ini tengah diprakarsasi terbentuknya Forum Koordinasi Pencegaahan Teoririsme (FKPT) yang beranggotakan unsur-unsur: (1) Polres yang menangani aspek kemanan dan ketertiban umum dan penegakan hukum; (2) Pemda/Kesbang yang menangani aspek kewaspadaan nasional atau perlindungan masyarakat (Linmas); (3) Kodim/TNI yang menangani aspek pembinaan terorial/ruang alat dan kondisi (RAK) juang; serta (4) unsur-unsur perwakilan ormas, tokoh masyarakat, akademisi, dan lain sebagainya. Hasil-hasil pembahasan dan kebijakan FKPT diteruskan dan disosialisasi kepeda Pemerintahan Desa melalui koordinasi struktural Pemda/Kesbang untuk disinergikan dengan aktivitas dan kegiatan Polmas.
FKPT yang diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) diarahkan untuk menyinergikan upaya pencegahan terorisme di daerah dengan melibatkan unsur masyarakat dan pemerintah daerah berbasiskan penerapan nilai kearifan lokal. Melalui forum ini, BNPT memberdayakan masyarakat sipil untuk terlibat secara aktif dalam pencegahan terorisme. Karena itu, para pengurus FKPT terdiri dari para tokoh masyarakat, akademisi, tokoh adat, tokoh ormas, tokoh media, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan unsur pemerintahan daerah.
Pencegahan terorisme di daerah sangat penting, karena jaringan teroris tidak hanya berkembang pesat, tapi juga menyebar ke berbagai daerah. Di samping itu, yang menjadi target para teroris kini bukan hanya kepentingan asing, melainkan juga kepentingan nasional seperti pemerintah dan tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengan keyakinan mereka. Bahkan, dari segi motif, bukan sekadar ideologis tapi sebagian juga bermotif balas dendam kepada aparat keamanan. Mereka juga bergerak secara clandestine ditengah-tengah masyarakat, sehingga sangat membahayakan masyarakat sipil. Selain itu, kini juga muncul kelompok-kelompok kecil bahkan individu yang terkait dengan kelompok besarnya, fenomena ini tentu patut diwaspadai dengan cermat oleh masyarakat di daerah.
Oleh karena itu, masyarakat di daerah meningkatkan kewaspadaan. Sebab mencegah terorisme bukan hanya tanggungjawab BNPT dan kepolisian, melainkan juga tanggungjawab bersama seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintahan pusat, daerah, hingga tingkat RT/RW, serta masyarakat umum. Lebih dari itu, masyarakat di daerahlah yang paling memahami kondisi di wilayah masing-masing, sehingga pencegahan akan lebih efektif dan bersifat semesta. Masyarakat harus meningkatkan kepekaan dan kewaspadaan lingkungan. Jika seluruh komponen bangsa bersatu, menjadikan terorisme sebagai musuh bersama, serta berkomitmen kuat menanggulangi bersama-sama,maka terorisme akan bisa diatasi.



DAFTAR PUSTAKA



Departemen Pertahanan dan Keamanan. 2003. “Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad ke 21 (Buku Putih Dephan)”.

George Junus Aditjondro, Munir, Imam Prasodjo dan Bambang Widjodjanto. 2002. Indonesia Di Tengah Transisi. Jakarta : Propatria.

Komisi Kepolisian Nasional. 2013. Term Of Reference Focussed Group Discussion; Perubahan Pola Teror dan Kesiapan Polri. Jakarta.

Markas Besar Kepolisian Negara  Republik Indonesia. 2005. Kajian Konstitusional tentang Peranan Polri Dalam Pengelolaan Keamanan Negara. Jakarta.

Muhammad, Farouk. 2005. Menuju Reformasi Polri. Jakarta: PTIK Press dan Restu Agung.

-------------------------.2010. “Terorisme : Upaya Pengaturan Politik Dan Institusi”. Artikel disampaikan pada Simposium Nasional “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”.

-------------------------.2011. “Menjawab Perkembangan Situasi Keamanan Dengan Mengembangkan Model Perpolisian Masyarakat (Polmas)”. Artikel disampaikan kepada Pansus RUU Desa DPR-RI sebagai bahan masukan RUU Desa.

-------------------------.2012.Konflik Sosial Dan Kekerasan Kelompok” Artikel disampaikan pada Konferensi Nasional “Pencegahan Konflik Sosial di Indonesia”.

Muhamad Kemal Darmawan. 1994. Strategi Pencegahan Kejahatan. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hal. 7.

Nasaruddin Umar.  “Terorisme dan Ormas Islam”. Harian Kompas: Selasa, 27 September 2011. 
Patrick J. Garrity mengutip Geoffrey D. Dabelko dan David D.Dabelko Stephen Cambone (1998), A. New Structure for National Security Policy Planning, hlm.107.

Surat Keputusan Kapolri No. Pol.: Skep/737/X/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri.





[1] Disampaikan pada “Pelaksanaan Sosialisasi Pencegahan Terorisme Kepada Unsur Pemda, Binter TNI-AD dan Binmas Polri” yang diselenggarakan oleh BNPT  pada 26 s.d 28 Nopember 2013, di Surabaya, Jawa Timur.
[2] Anggota DPD RI Asal NTB / Ketua PAP DPD-RI, Guru Besar Kriminologi & Sistem Peradilan Pidana pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) & Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI).

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Flickr Images

Formulir Kontak