PENYELESAIAN KONFLIK BIKONG
MELALUI PARADIGMA RESTORATIVE JUSTICE
Permasalahan
Bahwa telah terjadi sengketa lahan sejak tahun 2000 di
wilayah Bikong. Sengketa lahan terjadi
antara masyarakat setempat dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bertanggung jawab terhadap lahan hutan produksi di wilayah Bikong. Sengketa
lahan mulai terjadi sejak adanya kebijakan standar yang dilakukan oleh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) tentang pelarangan penanaman tanaman jagung pada tanah
garapan masyarakat kampung Bikong, tanah tersebut seharusnya menjadi hutan
produksi milik negara cq BUMN. Pelarangan tersebut dilakukan terkait konservasi
tanah dan perlindungan terhadap tanaman jati dan jabon yang merupakan tanaman
pokok di hutan produksi tersebut. Sedangkan jagung merupakan makanan pokok pada
masyarakat bikong yang sudah secara turun menurun sejak sebelum tahun 1890 sebagai
pengganti nasi, yang kemudian dilarang/ditabukan oleh pemerintah Belanda pada
akhir tahun 1890.
Tanaman jagung mulai ditanam kembali oleh masyarakat
Bikong sejak adanya dampak krisis ekonomi era reformasi pada tahun 1999 guna
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Bikong sebagai pengganti nasi dari padi
beras. Namun demikian, tanaman jagung menimbulkan dampak buruk terhadap
kesuburan tanah. Masyarakat bikong membuka lahan untuk menanam tanaman jagung
dengan cara melakukan penebangan liar di hutan produksi milik pemerintah cq
BUMN. Sejak tahun 2000 telah dilakukan penjarahan terhadap hutan jati dan jabon
milik BUMN yang mengakibatkan adanya lahan kosong. Kekosongan lahan terjadi
disebabkan oleh beberapa hal, yaitu pertama seringnya terjadi gagal panen
sehingga lahan harus dikosongkan dengan cara dibakar oleh masyarakat Bikong.
Kedua, masyarakat Bikong tidak mempunyai dana yang cukup untuk menyediakan
bibit, pupuk dan biaya lainnya yang dibutuhkan untuk terproduksinya nasi jagung
guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat Bikong, sehingga masyarakat harus
menjual tebangan pohon jati dan jabon kepada pengepul CV. Usaha Meubel dan
Furniture yang merupakan milik salah satu pejabat pemerintah daerah di Bikong.
Konflik frontal
terjadi sejak awal tahun 2012 dimana BUMN bekerjasama dengan pemerintah daerah
setempat melakukan penanaman kembali pohon jati dan jabon di wilayah kebun
jagung masyarakat Bikong. Masyarakat Bikong melakukan penolakan dengan
melakukan perlawanan terhadap aparat pemerintah dan aparat kemanan yang terdiri
dari Polisi Hutan, Satpol PP, Polres/ Brimob bersenjata lengkap sesuai standar
instansi masing-masing. Konflik tersebut mengakibatkan jatuhnya korban
meninggal dunia dan luka-luka pada pihak masyarakat maupun aparat keamanan,
jumlah korban meninggal dunia pada masyarakat sebanyak 235 orang sedangkan pada
pihak aparat keamanan berjumlah 20 orang.
Oleh sebab itu kami sebagai tim independen dan imparsial
akan melakukan investigasi guna memetakan permasalahan yang ada dan
menginventarisir cara-cara penyelesaian dengan mengedepankan paradigma
restorative justice agar terjadi pemulihan keadilan bagi semua pihak.
Pembahasan
Bahwa peristiwa tersebut di atas telah
melibatkan banyak pihak antara lain Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang
bertanggung jawab atas hutan produksi di wilayah Bikong, pemerintah daerah,
Polres dan masyarakat Bikong yang terdiri dari 197.971 jiwa dalam hal ini
diwakili oleh tokoh masyarakat setempat an. Midun dengan surat kuasa dari 28 Lembaga
Masyarakat Desa Hutan (LMDH) nomor 01/ M-DH/ Bikong/ XII/ 2013, untuk menyelesaikan
perselisihan pengelolaan lahan hutan.
Adapun kerugian yang telah ditimbulkan dari konflik yang
terjadi adalah berupa kerugian materiil dan imateriil antara lain jatuhnya
korban jiwa berjumlah total 255 orang (235 dari pihak masyarakat, 20 orang dari
pihak aparat), rusaknya infrastruktur daerah setempat, timbul kerusakan
hubungan antara masyarakat terhadap pemerintah dimana masyarakat sudah
kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan baik pemerintah daerah sebagai
perpanjangan tangan negara yang bertanggung jawab atas kehidupan warga negaranya
tanpa terkecuali dan lunturnya kepercayaan kepada aparat kepolisian dalam hal
ini adalah Polres setempat yang seharusnya sebagai pelindung, pengayom dan
pelayan masyarakat. Selain itu masih banyak kerugian yang ditimbulkan dari
peristiwa konflik di Bikong tersebut.
Konflik tersebut terjadi disebabkan oleh terganggunya
masyarakat atas pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat Bikong, yaitu adanya
kebijakan pelarangan penanaman jagung oleh masyarakat setempat di
lahan/kebunnya yang notabene lahan tersebut merupakan hasil penjarahan pada
masa reformasi saat terjadinya krisis ekonomi, dimana lahan tersebut adalah
milik pemerintah cq BUMN yang akan dihijaukan kembali dengan mengadakan
penanaman pohon jati dan jabon. Dari peristiwa tersebut ada pihak-pihak yang
diuntungkan yaitu para pengepul kayu jati hasil jarahan masyarakat untuk
dijadikan mebel/furniture. Bahwa masyarakat Bikong tidak memiliki biaya yang
diperlukan untuk membeli bibit, obat-obatan dan biaya lain yang diperlukan
dalam rangka menanam jagung sehingga satu-satunya cara adalah dengan terus
menerus membuka lahan apabila tanah pada lahan tersebut dirasa sudah tidak
subur untuk ditanami jagung, hal ini dikhawatirkan akan terjadi secara terus
menerus apabila tidak ada solusi terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat
setempat. Permasalahan yang lainnya adalah kurangnya kepekaan BUMN terhadap
kebutuhan masyarakat setempat yang merupakan masyarakat hutan sebagaimana
mereka menggantungkan hidupnya hanya pada lahan dutan dimana mereka tinggal.
Dari rangkaian peristiwa tersebut dapat disimpulkan bahwa
harapan masyarakat setempat adalah semata-mata dapat terpenuhinya kebutuhan
hidup mereka, terutama adalah makanan dimana mereka menggantungkan hidupnya
hanya pada lahan hutan yang mereka tempati. Masyarakat Bikong hidup dari
membuka lahan dengan cara menjarah hutan sehingga dapat ditanami jagung untuk
dijadikan sumber makanan pengganti nasi dan menjual kayu-kayu hasil hutan
kepada pengepul kayu yang merupakan perusahaan mebel/furniture. Sedangkan
harapan pihak BUMN adalah bisa terlaksananya program penghijauan kembali hutan
produksi milik BUMN yang sangat penting bagi kesinambungan lingkungan hidup.
Dari uraian pembahasan tersebut maka tim menyimpulkan
perlunya dilakukan langkah-langkah penyelesaian yang berkeadilan bagi semua
pihak atas peristiwa konflik yang terjadi tersebut. Oleh sebab itu tim
memberikan rekomendasi/ saran kepada Presiden sebagaimana akan diuraikan
pada bagian berikut dibawah ini.
Rekomendasi/Saran
1. BUMN perlu memberikan lahan guna bercocok tanam bagi
masyarakat Bikong, tanpa harus merusak hutan produksi milik BUMN. Lakukan
pendekatan melalui sdr. Midun sebagai tokoh masyarakat yang diberikan kuasa
oleh masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan ini.
2. Pemerintah daerah dengan dibantu BUMN harus memberikan
penyuluhan dan pembinaan teknis secara melekat terhadap para petani Bikong
dalam dalam rangka pengolahan lahan yang baik dan sistem cocok tanam yang tidak
merusak kesuburan tanah, baik dengan sistem tumpang sari atau ganti tanaman
setiap musimnya.
3. Perlunya memberikan bantuan biaya untuk kebutuhan bibit,
obat-obatan tanaman dan biaya operasional pertanian lainnya bagi masyarakat
Bikong dalam rangka pemenuhan kebutuhan melalui program bercocok tanam.
4. Ketegasan komitmen dari masyarakat Bikong melalui tokoh
masyarakat sdr. Midun bahwa dengan terpenuhinya harapan dan kebutuhan
masyarakat maka masyarakat secara bertanggung jawab akan berperan aktif dalam keterlibatan
menjaga dan melestarikan hutan produksi milik pemerintah cq BUMN guna
kelestarian alam lingkungan hidup.
5. Perlu dituangkan dalam bentuk kesepakatan bersama bagi
pihak-pihak yang berkepentingan dalam konflik itu guna menjaga keberlangsungan
situasi yang aman, tertib, dan sejahtera bagi semua pihak.
0 komentar