PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Masih sangat
jelas di ingatan rakyat Indonesia peristiwa 1965, Semanggi I, Semanggi II,
Tragedi Trisakti, Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok, Penembak
Misterius, Penculikan Aktivis 1998, Kasus-Kasus di Papua dan Aceh, Timor Leste,
dan masih banyak lagi. Bagaimana kemudian kejadian-kejadian tersebut
membawa perubahan dalam pandangan masyarakat Indonesia tentang Hak Asasi
Manusia. Peristiwa-peristiwa tersebut menyadarkan masyarakat Indonesia mengenai
pentingnya perlindungan terhadap HAM di negara ini. Namun ternyata jatuhnya
ribuan (bahkan jutaan) korban jiwa tidak mampu menghukum pelaku-pelaku
pelanggaran HAM berat tersebut. Hal ini terbukti dari tidak ada satupun
pelaku pelanggaran HAM yang dijatuhi putusan hukum yang mengikat. Dari total 34
orang tertuduh dari bebagai kasus yang dibawa ke pengadilan, hanya 18 orang
yang dinyatakan bersalah, dan semua pada akhirnya dibebaskan dalam tahap
banding atau kasasi.
Hal ini
menyebabkan keprihatinan rakyat Indonesia di bidang penegakan hukum terhadap
pelanggaran HAM berat. Dari sinilah muncul dorongan-dorongan agar pemerintah
Indonesia meratifikasi Statuta Roma yang mengatur mengenai pengadilan HAM
internasional yaitu International Criminal Court (ICC). Indonesia sendiri telah berkali-kali berjanji akan meratifikasi
Statuta Roma dan menjadikannya sebagai hukum nasional, namun hingga saat ini
Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma sehingga Indonesia belum termasuk
dalam negara pihak ICC.[1]
Indonesia sebagai ketua ASEAN dapat memainkan peran
penting dalam mengupayakan penegakan hak asasi manusia. Ratifikasi oleh
Indonesia menjadi penting dalam pemajuan HAM di kawasan ASEAN. Mahkamah Pidana
Internasional bertujuan menghapuskan praktik impunitas di dunia dengan
mengadili pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan genosida, kejahatan
perang dan kejahatan agresi. Statuta Roma telah diratifikasi oleh 108 negara,
sedangkan negara ASEAN yang telah meratifikasi hanya Kamboja dan baru-baru ini
Malaysia.
Koalisi Indonesia berpendapat sebagai Ketua ASEAN,
Indonesia dapat memainkan peran penting mempromosikan keadilan internasional
sebagai bagian dalam pemecahan konflik antarnegara ASEAN. Selain itu memperkuat
kedudukan ASEAN dan Badan HAM ASEAN sebagai perwujudan penghormatan kepada HAM
di kawasan ASEAN. Kasim menegaskan sudah selayaknya pemerintah Indonesia segera
meratifikasi Statuta Roma yang telah tertunda sejak reformasi 1998.
Dengan demikian Indonesia memberikan perhatian besar bagi
penegakan HAM sekaligus memenuhi amanat UUD 1945. “Dengan meratifikasi Statuta
Roma akan memperkokoh peranan Indonesia dalam dunia internasional baik dalam
dewan keamanan PBB, berpartisipasi dalam ICC serta menciptakan perdamaian dan
ketertiban dunia dan citra Indonesia di mata dunia semakin bagus dengan
kepedulian pemerintah terhadap penegakan HAM.[2]
B.
PERMASALAHAN
Dari latar belakang yang sudah dituangkan
diatas, penulis menitik beratkan permasalahan kepada :
1. Mengapa Indonesia perlu meratifikasi statuta roma?
2. Apa saja manfaat dan kendala dalam meratifikasi statuta
roma tersebut?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MENGAPA INDONESIA PERLU MERATIFIKASI STATUTA ROMA
Statuta
Roma menjelaskan tentang kejahatan, tentang bagaimana pengadilan akan
bekerja, dan negara-negara mana saja yang harus bekerjasama dalam hal
tersebut. Pada 17
Juli 1998, 120 negara yang berpartisipasi dalam “United Nations Diplomatic
Conference on Plenipotentiaries on the Establishment of an International
Criminal Court menyetujui dibentuknya International Criminal Court (ICC) yang
diadopsi dari Statuta Roma tersebut Pengadilan
Pidana Internasional (ICC = The International Criminal Court ) merupakan sebuah
lembaga yudisial independen yang permanen, yang diciptakan oleh komunitas
negara-negara internasional, untuk mengusut kejahatan yang mungkin dianggap
sebagai yang terbesar menurut hukum internasional seperti: genosida, kejahatan
lain terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang.
ICC berhak menuntut dan mengadili
pelaku-pelaku pelanggaran HAM di
negara-negara pihak. Namun keberlakuan ICC tidaklah surut, artinya ICC hanya
dapat mengadili dan menuntut peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi setalah ICC
terbentuk. Prinsip yang dianut oleh ICC adalah prinsip saling melengkapi atau
komplementer yang berarti ICC hanya akan bertindak untuk mengadili kasus
pelanggaran HAM berat tersebut apabila pengadilan nasional tidak mau (unwilling
) atau tidak mampu (unable) melakukan
penuntutan dan peradilan suatu pelanggaran HAM berat.[3]
Alasan pertama
untuk menjawab pokok permasalahan adalah ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia
adalah bentuk perlindungan hak asasi manusia dari warga negara Indonesia oleh
negara dan sebagai bentuk pembayaran utang pelanggaran HAM masa lalu yang
dilakukan oleh negara. Kegagalan negara untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM
di masa lalu menjadi pendorong utama
bagi pemerintah untuk meratifikasi Statuta Roma. Padahal UUD 1945 telah jelas mengatur dan melindungi HAM rakyat
Indonesia, dan dalam pasal 28 I ayat 4 dinyatakan: “Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara,
terutama pemerintah.” Jelas dinyatakan bahwa negara harus berperan aktif melindungi
dan menegakkan HAM warga negaranya. Bentuk penegakkan dan perlindungan terhadap
HAM adalah hukuman bagi pelaku-pelaku pelanggaran HAM. Memang Indonesia telah
memiliki Undang-Undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang adalah
pengadilan khusus terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat (UU NO. 26
tahun 2000 pasal 1 angka 3). Pengadilan
ini bersifat ad hoc (sementara) dan mampu mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lampau (berlaku
surut). Namun sesuai dengan fakta yang telah saya sampaikan di awal, hingga
saat ini tidak ada satupun pelaku pelanggaran HAM berat yang dihukum. Hal ini
menunjukan tidak memadainya perlindungan HAM yang disediakan pemerintah melalui pengadilan HAM. Dengan
diratifikasinya Statuta Roma, maka Indonesia akan menjadi negara pihak yang
tunduk pada yuridiksi ICC. Namun, sifat menundukkan diri ini bukanlah bersifat
mutlak (absolute) melainkan bersifat pelengkap (complementary). Artinya,
pengadilan pidana internasional hanya berwenang mengadili bila pengadilan umum
dalam sistem hukum nasional suatu negara tidak bersedia (unwilling ) atau tidak
mampu (unable) untuk mengadili suatu
perkara.
Adapun patokan
dari negara yang tidak bersedia mengadili suatu perkara jika terdapat keputusan
nasional yang melindungi orang bersangkutan, keterlambatan yang tidak dapat
dibenarkan, dan perkara-operkara tersebut sedang tidak atau tidak diselesaikan
secara independen (pasal 17 ayat 2 Statuta Roma). Sedangkan patokan tidak mampu
sesuai pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah apabila terdapat ketidakmampuan
secara menyeluruh atau kegagalan substansial dari sistem yudisial nasional
negara tersebut. Ketika salah satu syarat dalam pasal tersebut terpenuhi, maka
ICC berhak mengadili perkara pelanggaran HAM berat di negara tersebut (negara
pihak yang meratifikasi Statuta Roma). Di Indonesia sendiri terdapat beberapa
alasan dari berbagai aspek yang menyebabkan tidak ada pelaku pelanggaran HAM
yang dihukum. Praktek impunitas yang masih sangat mengakar di Indonesia terlalu
sulit untuk dipecahkan oleh sistem peradilan nasional, apalagi mengingat pelaku
pelanggaran HAM adalah orang-orang yang berkuasa. Masalah mengenai impunitas
ini sudah lama didaulat sebagai alasan mengapa sangat sulit untuk menjerat
pelaku- pelaku pelangggaran HAM kelas kakap. Dan bukannya melihat orang-orang
yang kuat diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM menjalankan hukumannya, kita
malah bisa melihat mereka di TV ataupun baliho kampanye. Begitu ironis. Karena
itulah sudah saatnya pemerintah menyadari bahwa merupakan suatu keharusan untuk
melengkapi sistem peradilan HAM nasional di Indonesia dengan ICC demi
terwujudnya suatu kepastian hukum bagi pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Walaupun tidak berlaku surut, keberadaan Indonesia sebagai negara ICC
memastikan bahwa tidak akan ada pelaku
pelanggaran HAM di masa depan yang lepas dari tanggung jawabnya karena
sistem peradilan HAM Indonesia yang masih lemah. Keberadaan UU No. 26 tahun
2006 jelas tidak cukup. Walaupun banyak pihak yang menganjurkan revisi UU
Pengadilan HAM, namun menurut saya hal tersebut masih belum cukup untuk memutus
rantai impunitas di Indonesia. Contohnya adalah dugaan pelanggaran HAM di Aceh
saat pra-GOM (gerakan Operasi Militer),
pelaksanaan GOM, dan paska GOM yang bahkan terjadi setelah UU Pengadilan
HAM disahkan. Yang terjadi ternyata para petinggi negara yang patut diduga
berada di belakang kasus tersebut tetap dapat melenggang bebas. Jika Indonesia
tidak segera meratifikasi Statuta Roma, bayangkan harus berapa orang lagi yang
jatuh menjadi korban pelanggaran HAM berat dan berapa orang lagi yang akan
dapat melenggang bebas dengan segala pelanggaran HAM berat yang dilakukannya. Utang
pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara di masa lalu
seharusnya sudah cukup memaksa pemerintah untuk mengambil langkah konkrit untuk
melindungi HAM warga negaranya, setidaknya untuk masa mendatang. Dengan meratifikasi
Statuta Roma dan menjadi negara yang tunduk pada yuridiksi ICC, maka akan ada
kepastian adanya pelaku yang akan dihukum walaupun hukum nasional tidak mampu
menjangkaunya karena alasan tidak mampu (unable) maupun tidak mampu (unwilling
). Mengapa? Karena ICC adalah pengadilan internasional yang independen,
imparsial, dan tidak memiliki kepentingan lain selain menegakkan keadilan dalam
kasus pelanggaran HAM berat.
Alasan
berikutnya adalah dengan meratifikasi Statuta Roma, maka negara telah mengambil
langkah nyata untuk mwujudkan salah satu tujuan Negara Indonesia yang termaktub
dalam Alinea IV Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Indonesia
telah mengakui bahwa sbegai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia
harus ikut berperan secara aktif untuk menjaga ketertiban dan perdamaian dunia.
Usaha untuk mengirimkan pasukan
perdamaian PBB memang baik, namun tidaklah cukup karena hanya bersifat teknis
dan sementara. Sementara dengan meratifikasi Statuta Roma, maka Indonesia
berada dibawah yuridiksi ICC. Bukan hanya ICC dapat mengadili pelanggaran HAM
berat yang ada di Indonesia, ICC juga dapat melakukan penyidikan yang berkaitan
dengan pelanggaran HAM di negara lain di Indonesia. Negara peratifikasi
berkewajiban untuk bekerjasama dalam investigasi dan penuntutan dalam bentuk
penerapan dalam hukum nasional.
Dengan
demikian, Indonesia jelas telah membantu penegakkan HAM bukan hanya di
Indonesia saja tetapi juga di negara-negara lain demi tercapainya international
justice. Hal ini ditegaskan dalam Resolusi Majelis Umum PBB 3074 yang
menyatakan bahwa penerapan jurisdiksi internasional mengikat semua Negara
anggota PBB, “setiap negara berkewajiban untuk bekerjasama satu sama lain
secara bilateral atau multilateral untuk mengadili mereka yang dianggap bertanggungjawab
melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.”
B.
APA MANFAAT DAN KENDALA DALAM MERATIFIKASI STATUTA
ROMA
Dengan meratifikasi Statuta Roma, Indonesia
juga dapat memiliki posisi yang menguntungkan Indonesia sendiri di dalam ICC
sendiri. Indonesia bisa mendapat hak preferensi secara aktif dan langsung dalam
segala kegiatan ICC dan kesempatan untuk menjadi bagian dari organ ICC. Dengan
hal-hal tersebut Indonesia memiliki posisi tawar yang cukup kuat, bahkan untuk
melindungi warga negaranya yang menjadi subjek ICC.
Meratifikasi Statuta Roma menjadi bukti
komitmen Indonesia sebagai negara yang demokratis untuk melindungi HAM warganya
dan menjaga keamanan dunia. Jadi Indonesia tidak akan lagi dinilai sebagai
negara yang hanya berkoar-koar akan melindungi HAM tanpa ada langkah yang
nyata. Bahkan Kamboja yang masih muda dalam demokrasi dan upaya perlindungan HAM telah meratifikasi Statuta
Roma. Karena itulah, menurut saya Indonesia sudah seharusnya meratifikasi
Statuta Roma jika dilihat dari segi upaya mencapai kedamaian dunia. Dengan
menjadi negara pihak dalam Statuta Roma, Indonesia juga harusnya termotivasi untuk
tidak menjadi negara yang “unwilling ” dan “unable” untuk menghukum pelanggaran
HAM di negara kita sendiri. Sebelum meratifikasi Statuta Roma harus dilakukan
sinkronisasi dan harmonisasi Statuta Roma dengan perturan perundang-undangan di
Indonesia. Hal ini harusnya tidaklah sulit jika mengingat Statuta Roma hanya
bersifat komplemen (pelengkap) dan pada dasarnya semangat perlindungan HAM
Statuta Roma dan Peraturan perundang-undangan di Indonesia adalah sama. Juga
harus dilakukan diseminasi aturan-aturan dalam Statuta Roma melalui penyebarluasan aturan-aturan dalam Statuta
Roma dengan cara memberikan pengarahan dan
pendidikan kepada penegak hukum di Indonesia.
Dengan
demikian saya meyakini bahwa sudah seharusnya Indonesia sesegera mungkin
meratifikasi Statuta Roma dengan dua alasan mendasar. Pertama, ratifikasi
Statuta Roma adalah bentuk awal yang nyata dari pemerintah Indonesia untuk
melunasi utang masa lalunya dengan melindungi HAM warga negaranya, bahkan
seluruh penduduk yang menempati wilayah Indonesia. Kedua, dengan meratifikasi Statuta
Roma, Indonesia menunjukkan komitmennya untuk turut menjaga perdamaian dunia
sesuai dengan tujuan negara. Saya akan mengakhiri esai saya dengan ungkapan: justice
delayed is justice denied. Semakin lama Indonesia menunda ratifikasi Statuta
Roma, semakin lama pula keadilan dapat ditegakkan.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dengan meratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia akan menjadi sebuah bukti komitmen pemerintah Indonesia sebagai negara
yang demokratis untuk melindungi HAM warganya dan menjaga keamanan dunia. Perlunya Statuta Roma dikarenakan beberapa hal yang
akan memberikan manfaat bagi pemerintahan Indonesia :
1. Mampu menjerat pelaku pelanggaran berat HAM.
2. Indonesia dapat ikut serta secara aktif membantu
perdamaian didunia dalam penegakan HAM.
3. Indonesia akan mendapat hak preferensi secara aktif
dan langsung dalam organ ICC.
4. Sebagai bukti komitmen Indonesia terhadap pelanggaran
HAM terhadap warga negara Indonesia.
B.
SARAN
Dalam meratifikasi Statuta Roma, Indonesia harus
memperhatikan juga beberapa hal yang penting, antara lain :
1. hukum nasional yang ada saat ini harus dipersiapkan
dengan baik dan direvisi kembali sehingga mempunyai kekuatan dimata mahkamah
pidana internasional.
2. Pemerintahan indonesia harus memiliki komitmen dalam
memperhatikan warga negaranya dalam hal pelanggaran HAM berat yang dilakukan
terhadap warga negara Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Slide Mata Kuliah Hukum Pidana
International Prof. Dr. Iza Fadri
[1]
Sumber : http://www.academia.edu/9720731/Ratifikasi_Statuta_Roma_oleh_Indonesia
[2]
Sumber : http://sp.beritasatu.com/home/indonesia-didesak-ratifikasi-statuta-roma/9312
[3]
Sumber : http://www.academia.edu/9720731/Ratifikasi_Statuta_Roma_oleh_Indonesia
[4]
Sumber : http://www.academia.edu/9720731/Ratifikasi_Statuta_Roma_oleh_Indonesia
1 komentar
Live Dealer Betting - Live Baccarat, Poker & Casino Games
BalasHapusLive Dealer Baccarat, 바카라 Poker, 메리트 카지노 주소 & Casino Games. We offer you the best live dealer casino 제왕 카지노 games and live dealer tables. You'll see all the live games on