tugas
PERAN POLRI SEBAGAI ALAT NEGARA PENEGAK HUKUM TINDAK PIDANA PEMILU DAN KENDALANYA DALAM UPAYA MELINDUNGI, MENGAYOMI DAN MELAYANI MASYARAKAT
20.38handreasstik66
BAB
I PENDAHULUAN
Syarat pokok demokrasi
adalah adanya sistem pemilihan umum yang jujur dan adil (free and fair
elections). Pemilu jujur dan adil dapat dicapai apabila tersedia perangkat
hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu; sekaligus melindungi para
penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga negara pada umumnya dari
ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan, dan berbagai praktik
curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh karena itu, pemilu
yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundang-undangan pemilu beserta
aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundang-undangan pemilu tersebut.
Meskipun demikian, setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu
tentang lemahnya polri dalam melakukan penegakan hukum pemilu. Isu ini
berangkat dari kenyataan betapa banyak pelanggaran administrasi dan tindak
pidana pemilu yang tidak ditangani sampai tuntas. Selain itu, peraturan
perundangan-undangan yang ada juga belum mengatur tentang keberatan atas
keputusan penyelenggara pemilu. Memang mahkamah konstitusi punya kewenangan
untuk menyelesaikan perselisihan hasil pemilu (yang ditetapkan penyelenggara
pemilu, dalam hal ini kpu), tetapi yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
dengan keberatan atas masalah lain (di luar hasil pemilu) yang juga diputuskan
oleh penyelenggara pemilu?
Banyaknya kasus pelanggaran administrasi pemilu dan
tindak pidana pemilu, serta banyaknya kasus keberatan atas keputusan
penyelenggara pemilu. Di satu sisi mendorong munculnya protes-protes yang bisa
berujung kekerasan, di sisi lain juga mengurangi legitimasi hasil pemilu. Peran
polri sebagai penegak hukum disinilah yang teramat penting.
Untuk mengatasi
masalah-masalah yang terjadi saat polri melakukan penegakan hukum pemilu
tersebut, materi peraturan perundang-undangan pemilu harus dilengkapi,
diperjelas, dan dipertegas. Yang tak kalah penting adalah memperkuat
lembaga-lembaga penegak hukum pemilu agar mampu bekerja secara efektif. Terkait
dengan penyelenggara pemilu misalnya, apakah kpu/kpud sudah menjalankan
fungsinya selaku pemberi sanksi pelanggaran administrasi? Apakah struktur dan
organisasi manajemen kpu/kpud cukup efektif untuk menangani kasus pelanggaran
administrasi pemilu? Dalam hal penanganan tindak pidana pemilu, pertanyaannya
adalah sejauh mana efektivitas peran dan fungsi polisi, jaksa, dan hakim?
Apakah prosedur penanganantindak pidana pemilu dapat dengan mudah dilaksanakan
oleh ketigainstitusi tersebut? Lalu, bagaimana dengan posisi pengawas pemilu
yang tugasnya hanya sebagai
Perantara dalam penanganan
pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu? Haruskah lembaga itu
dipertahankan, fakta menunjukkan hampir tidak ada kasus sengketa dalam
penyelenggaraan pemilu yang menjadi tugas pengawas pemilu untuk
menyelesaikannya? Bagaimana jika lembaga itu dihilangkan (karena pertimbangan
efektivitas penanganan kasus dan efisiensi anggaran) sehingga kasus
pelangggaran administrasi langsung ditangani oleh kpu dan kasus tindak pidana
langsung ditangani polisi, jaksa, dan hakim? Lalu apakah diperlukan peradilan
khusus pemilu atau setidaknya hakim khusus pemilu yang bertugas menyelesaikan
keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu? Atau, keberatan atas keputusan
penyelenggara pemilu cukup diajukan di peradilan tata usaha negara? Dan,
bagaimana juga agar putusan mahkamah konstitusi tentang perselisihan hasil
pemilu sejalan dengan putusan lembaga peradilan yang lain? Kajian ini memetakan
kembali masalah penegakan hukum pemilu dan selanjutnya merumuskan sistem
penegakan hukum pemilu yang ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar
pemilu demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi indonesia. Selain itu,
kajian ini memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana
membangun sistem penegakan hukum pemilu yang ideal yang bisa mulai dilakukan
pada pemilu yang akan datang.
BAB
II PEMBAHASAN
A. Penegakan hukum dalam
hukum administrasi negara terkait dengan administrasi kepolisian. Menurut P. Nicola,
sarana penegakan hukum administrasi berisi pengawasan bahwa organ pemerintahan
dapat melaksanakan ketaatan berdasarkan undang-undang yang di tetapkan secara
tertulis dan pengawasan terhadap keputusan yang meletakkan kewajiban kepada
individu dan penerapan kewenangan sanksi pemerintahan, sanksi merupakan bagian
penting dalam setiap peraturan perundang-undangan. Sanksi biasanya diletakkan
pada bagian akhir setiap peraturan. Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakkan
hukum administrasi yang dilakukan oleh kepolisisan. Dalam hukum administrasi
negara, pengunaan sanksi administrasi merupakan penerapan kewenangan
pemerintah, dimana kewenangan ini berasal dari aturan hukum administrasi
tertulis dan tidak tertulis.
B. Lembaga penegakan hukum
pemilu sebagaimana diketahui bahwa pemilu dilakukan melalui beberapa tahapan
utama, dan kemungkinan terjadinya sengketa atau pelanggaran sangat mungkin
terjadi di dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Kemungkinan tersebut
bisa disebabkan oleh kecurangan (fraud), kekhilafan (mistake), maupun strategi
pemenangan pemilu yang tidak melanggar hukum tetapi menurunkan kepercayaan publik
(non-fraudulent misconduct). Oleh karena
itu dalam pelaksanaan pemilu maka peradilan yang berwenang memeriksa dan
memutuskan sengketa pemilu haruslah juga siap mengadili sengketa atau
pelanggaran pemilu. Hal ini juga didasari oleh perkembangan fungsi peradilan
yang tidak selalu hanya untuk memberikan putusan terhadap suatu sengketa,
tetapi putusan pengadilan juga dapat membentuk prinsip dan ketentuan hukum yang
harus dijalankan dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu Eric Barent menyatakan, peran peradilan tidak hanya
menyelesaikan sengketa biasa tetapi juga harus memastikan terlaksananya
prinsip-prinsip pemilu sehingga dapat diselamatkan dari upaya penyalahgunaan
dan pelanggaran sistem pemilihan. Undang-undang nomor 8 tahun 2012 tentang
pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD telah ditetapkan sebagai
aturan main pelaksanaan pemilu. Di dalam undang-undang ini, ketentuan yang
mengatur tentang penyelesaian sengketa dan
Pelanggaran pemilu ditangani
oleh 3 (tiga) lembaga peradilan yaitu Pengadilan Umum, Pengadilan Tata Usaha
Negara dan Mahkamah Konstitusi. Sehubungan dengan itu, maka potensi untuk
terjadinya praktek-praktek kecurangan maupun pelanggaran dalam pemilu untuk
sementara digantungkan kepada lembagan pengawasa pemilu, dimana badan pengawas pemilihan
umum (Bawaslu) menjadi tumpuannya. Oleh karena itu, sampai sampai pada titik ini. Institusi pengawasa
pemilu masih diharapkan atau lebih tepatnya masih diandalkan sebagai instrument
pemilu yang berasaskan langsung, umum, bebas, rahasia, serta jujur dan adil
(luber dan jurdil) dalam penyelenggaraan pemilu.
C. Tatanan sistem penegakan
hukum pemilu. Penegakan pelanggaran pemilu/ pemilukada tidaklah lepas dari
sistem hukum pemilu yang diputuskan oleh pembuat undang-undang secara
keseluruhan. Sistem hukum tersebut juga tidak bisa dipisahkan dengan sistem
politik dan sistem sosial yang hidup dalam sebuah negara. Dalam hal ini hal yang penting adalah bahwa
menata sistem penegakan hukum pemilu/ pemilukada sebenarnya tidak sekedar
proses legislasi pembentukan undang-undang melainkan juga merupakan proses
evaluasi terhadap sistem penegakan hukum pemilu/pemilukada. Friedman,
menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari substansi hukum (legal substance),
struktur hukum (legal structure) dan budaya hukum (legal cultut). Sinergistas
bekerjanya ketiga komponen hukum tersebutj, diharapkan membuat proses
pemilu/pemilukada semakin baik, agar tidak ada lagi “pembiaran” proses
pelanggaran yang terjadi dalam pemilu/ pemilukada yang menciderai asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Sehubungan dengan itu maka
sistem penegakan hukum dalam undang-undang harus lebih responsive memberi ruang
penyelesaian yang memadai baik itu administrasi maupun pidana, berupa
pengintegrasian sistem peradilan pidana, sistem peradilan administrasi negara
serta peradilan terhadap sengketa pemilu/ pemilukada oleh mahkamah
konstitusi.
D. Perbandingan ketentuan
formil tindak pidana pemilu terkait dengan KUHP dan Uu No.8 tahun 2012 tentang
pemilu legislatif dan DPD
1. Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) di dalam
kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) indonesia yang merupakan kitab
undang-undang warisan dari penjajahan belanda terdapat lima pasal yang mengatur
mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan
Pemilu. Lima pasal yang
terdapat dalam Bab IV buku kedua KUHP mengenai tindak pidana “kejahatan
terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan”, adalah pasal 148,149,150,151,
dan 152 KUHP. Perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut pasal-pasal tersebuat
adalah sebagai berikut:
a. Merintangi orang
menjalankan haknya dalam memilih (pasal 148 KUHP).
b. Penyuapan (pasal 149 KUHP)
c. Perbuatan tipu muslihat
(pasal 150 KUHP)
d. Mengaku sebagai orang
lain (pasal 151 KUHP)
e. Menggagalkan pemungutan suara yang telah
dilakukan atau melakukan tipu muslihat (pasal 152 KUHP).
2. Tindak pidana pemilu
dalam undang-undang pemilu yang baru yaitu Undang-Undang nomor 8 tahun 2012
telah menyempurnakan undang-undang pemilu yang lama termasuk pengaturan
mengenai tindak pidananya akan tetapi di batasi oleh panwaslu ataupun penyidik
untuk melakukan penyidikanya, seandainya lewat waktu, dinyatakan bahwa kasus
tersebut adalah kadaluarsa, cacat hukum, dinyatakan kasus untuk di tutup/ Sp3.
Pelanggaran yang terkait dengan peraturan administrasi dan tata cara pelaksanaan
pemilu juga bukan merupakan tindak pidana pemilu. Sebagai contoh dari
pelanggaran semacam ini adalah pelanggaran mengenai waktu dimulai dan
ditutupnya pemungutan suara, tempat pemungutan suara, kelengkapan peralatan
pemilu, suara, dan sebagainya.
E. Penghentian penyidikan
tindak pidana pemilu oleh Sentra Gakumdu (Polri) polri mengeluarkan surat penghentian
penyidikan perkara (Sp3) terhadap perkara tindak pidana pemilihan umum (Pemilu)
dikarenakan ada 4 faktor yaitu :
a. Perkara yang dilaporkan
bukan tindak pidana pemilu
b. Cacat formil (isi,
bentuk, identitas saksi dsb.)
c. Cacat materiil (isi dari
berkas perkara yang kurang lengkap dan persangkaanya).
d. Kadaluarsa (penanganan
kasus tindak pidana pemilu terbatas oleh waktu sejak dilaporkan. Sebagaimana
diketahui, waktu yang dimiliki penyidik untuk menindaklanjuti sebuah laporan
kasus tindak pidana pemilu hanyalah 14 hari).
Sebagaimana dalam pasal 261 ayat (1) UU no.8 tahun 2012 tentang pemilu
legislatif dan DPD menyebutkan, “penyidik kepolisian republik indonesia
menyampaikan hasil penyidikannya disertai berkas perkara kepada penuntut umum
paling lama empat belas hari sejak diterimanya laporan”.
Mahkamah konstitusi (MK)
pernah menggelar sidang perdana pengujian UU no. 8 tahun 2012 tentang pemilihan
umum anggota DPR, DPD dan DPRD (pemilu legislatif). Permohonan ini diajukan Partai
Nasional Indonesia (PNI) dan sejumlah kader partai Noviantika Nasution (PDP), Max
Lau Siso (PDP), Badikenita Sitepu (PNBKI), Lasmidara (PPDI) yang menguji secara
formil dan materil undang-undang yang belum lama disahkan itu. Dalam pembahasan
itu disampaikan bahwa proses pembentukan UU pemilu legislatif yang memaksakan
ketentuan syarat kepesertaan pemilu sangat tidak adil dan bersifat
diskriminatif, karena kita tahu bahwa penegakan hukum sangat lemah, sangatlah
rentan dan mudah bagi para pelaku untuk mengesampingkan bahkan memanipulasi
hukum dengan dalil adanya UU dan ketentuan kadaluarsa yang mengikat di dalamnya. Selain itu juga ketidakadilan dan
diskriminasi misalnya terletak dalam pasal 208 UU pemilu legislatif ketika
antara partai politik (parpol) yang memenuhi ambang batas parlemen (Parliamentary
Threshold) dengan parpol peserta pemilu sebelumnya yang tidak memenuhi ambang
batas parlemen. Penegakan hukum secara konkret adalah berlakunya hukum positif
dalam praktik sebagaimana seharusnya patut ditaati. Menurut Satjipto Raharjo,
penegakan hukumadalah usaha untuk mewujudkan ide-ide atau konsep-konsep
(keadilan, kebenaran dan kemanfaatan) yang abstrak menjadi kenyataan. Oleh
karena hakikat penegakan hukumitu adalah mewujudkan nilai-nilai atau
kaidahkaidah yang memuat keadilan dankebenaran, maka penegakan hukum bukan
hanya menjadi tugas dari pada penegakhukum yang sudah dikenal secara
konvensional. Akan tetapi menjadi tugas setiap orang dalam kaitannya dengan
hukum publik, J.B. Ten Merge mengatakan bahwa pihak pemerintahlah yang paling
bertanggung jawab melakukan penegakan hukum. Proses penegakan hukum tentu
melibatkan banyak hal dan keberhasilannyaditentukan oleh halhal tersebut.
BAB
III PENUTUP
Kesimpulan penegakan hukum
dalam menangani pelanggaran maupun sengketa pemilu tidaklah berjalan dengan
baik selama polri tidak bekerja secara maksimal, padahal penegakan hukum pemilu
adalah sangat kompleks karena dalam
proses penegakan hukum pemilu dan pemilukada yang meliputi berbagai aspek hukum
yaitu tata negara, administrasi negara, pidana dan perdata menyebabkan penanganannyapun
melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu mahkamah konstitusi, pengadilan
tata usaha negara dan peradilan umum. Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan
satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau
dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan misalnya putusan mk tentang penggelembungan
suara yang melibatkan penyelenggara pemilu yang jelas juga merupakan tindak
pidana pemilu tidak terproses secara pidana.
Kadaluarsa, cacat formil ataupun materiil menjadi senjata utama
penyimpangan profesionalisme kinerja polri yang harus benar-benar di hindari
serta diminimalisir dengan selalu melakukan koordinasi tiap adanya dugaan
tindak pidana pemilu yang di lakukan penyelidikan oleh Panwaslu. Adanya
pembatasan waktu proses penyidikan tersebut selama 14 hari menjadi kendala
utama dan buru-buru dalam penegakanmya.
Dengan demikian para pelaku curang
dalam proses pemilu dapat dengan mudah mengambil kesempatan untuk menghidari
jeratan hukum yang berlaku. Sedangkan bagi masyarakat atau calon yang jujur
akan merasa di rugikan dan tidak adil. Dari gambaran tersebut
memperlihatkan betapa rumitnya penegakan
hukum dalam proses pemilu dan pemilukada. Dilain sisi lembaga pengawas pemilu
yaitu bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam
penegakan hukum pemilu dan pemilukada
meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran
administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam pemilu dan
pemilukada. Dalam rangka memperbaiki dan menata ulang penegakan hukum pemilu
dan pemilukada dimasa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peradilan khusus
pemilu dan pemilukada atau paling tidak adanya peradilan terpadu yang
menangani pelanggaran pemilu baik
itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi serta sengketa TUN. Selain itu
bawaslu dan jajarannya perlu diberi
kewenangan lebih dalam penegakan hukum dalam arti bawaslu dan jajarannya diberi
kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi serta perlu adanya
Aparat kepolisian dan
kejaksaan yang bertugas khusus di pengawas pemilu dalam rangka melakukan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran pemilu.
Saran untuk ke depan dan
dalam rangka pembenahan pengawas pemilu dan sentra gakkumdu maka perlu adanya
langkah-langkah strategis sebagai berikut :
A. Lembaga pengawas pemilu
memiliki peran dan posisi yang strategis. Oleh karena itu, keberadaan pengawas
ini bukan sekedar pelengkap dari kebutuhan kelembagaan penyelenggaraan pemilu,
namun lembaga pengawas pemilu haruslah diposisikan sebagai pengemban tanggung
jawab atas semua proses dan hasil pemilu, sehingga fungsi pengawasan pada
akhirnya akan efektif dan efisien. Pengawas pemilu dibentuk dengan harapan agar
pelaksanaan tahapan-tahapan pemilu berjalan sesuai dengan peraturan dan jadwal.
Fungsi pengawasan mestinya melekat atau berjalan seiring pengawas pemilu
beriring artinya penanganan pelanggaran
administrasi diserahkan ke pengawas pemilu untuk menanganinya dan berhak
menjatuhkan sanksi administrasi demikian juga terhadap penanganan pelanggaran
tindak pidana pemilu ditangani oleh polisi maupun jaksa yang dipersiapkan untuk
itu yang berada di kantor pengawas pemilu.
B. Polri dalam melakukan
penegakan tindak pidana pemilu harus selalu koordinasi dan jemput bola jika ada
laporan terjadinya dugaan tindak pidana pemilu agar setiap laporan sedapat
mungkin dapat di tangani secara maksimal. Dengan demikian posisi setiap orang
didepan hukum sama dan dapat menghindari praktik perbuatan-perbuatan curang
yang dimungkinkan akan dilakukan oleh para pelaku karena keterbatasan kita
dalam penyidikan.
C. UU yang telah ada harus
di rubah dan membuka selebar-lebarnya adanya laporan pelanggaran tindak pidana
pemilu, agar nantinya benar-benar mendapatkan kader pemenang yang menjunjung
keadilan secara transparan dan di percaya oleh masyarkat.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Mulyadi,
dedi,2013. Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – Dalam Perspektif
Hukum Di Indonesia, cetakan kesatu, Bandung : Refika Aditama.
2. Santoso,
Topo, 2006. Penegakan Hukum Pemilu – Praktik Pemilu 2004, kajian pemilu
2009-2014, Jakarta : perludem-us aid-drsp.
3. Sardini,
Nur Hidayat, 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu Di Indonesia, cetakan
pertama, Yogyakarta : Fajar Media Press Sahdan,
4. Gregorius
dkk, 2008. Politik Pilkada-Tantangan Merawat Demokrasi, Yogyakarta: IPD-Konrad
5. Adenauer
Stiftung. Gaffar, Janedjri M., 2013. Politik Hukum Pemilu, cetakan kedua,
Jakarta: Konstitusi Press.
6. Gaffar,
Janedjri M., 2013. Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta: Konstitusi Press. Indonesia, Undang-Undang
Nomor 15 tahun 2011 tentang penyelenggara pemilihan umum.
7. Lutfi,
Mustafa, 2010. Hukum Sengketa Pemilukada Di Indonesia Gagasan Perluasan
Kewenangan Konstitusinal Mahkamah Konstitusi, cetakan pertama, Yogyakarta: UII Press.
8. Wibowo,
Arif, 2013. Menata Ulang Sistem Penyelesaian Dan Pelanggaran Pemilukada, dalam
buku : Demokrasi Lokal-Evaluasi Pemilukada Di Indonesia, cetakan kedua, Jakarta : Konstitusi Press.
0 komentar