tulisan
Prosemic Space Dalam Memahami Kultur Lokal Guna Mengidentifikasi Sumber Konflik
17.30handreasstik66
Kenapa harus spesifik agama? Kita
akan melihat agama ini sebagai fenomena sosial. Kaitannya dengan suku bangsa,
agama sering dijadikan atribut untuk menunjukkan atau memperkuat identitas suku
bangsa/ kesukubangsaan.
Seorang ahli Emile Durkheim, pernah menulis satu karya etnografi yaitu The Elementary Form Of Religius Life. Disini dia memeperkenalkan
agama sebagai sebuah fenomena sosial. Jadi kajian agama kalau diletakkan
sebagai fenomena sosial maka dimungkinkan untuk melihat karakteristik dan
perkembangannya. Lain dari sisi teologi kita tidak mempertanyakan dan
mendiskusikan itu. Oleh karena itu dia melihat kaitan antara agama dan
kebudayaan. Pertama yang dia lihat adalah agama apapun merupakan inti dari
sebuah kebudayaan. Jadi kebudayaan intinya terletak pada ajaran agama. Karakteristik
lainnya, disamping unsur atau aspek-aspek kehidupan manusia, agama adalah
salah aspek yang mempunyai power yang besar (dalam arti mengendalikan aspek
kehidupan manusia), aspek-aspek lain tidak begitu (politik, ekonomi dll) tidak
sebesar agama ini dalam perilaku control sosial terhadap kehidupan manusia.
Kenapa? Karena agamalah yang bisa mendescribe/ mengeksplain hakikat kehidupan
manusia (darimana asal manusia, apa tugas dibumi dan kemana nanti manusia itu
setelah meninggalkan bumi, itu dalam penjelasan agama dan hanya agama yang bisa
melakukan itu). Inilah beberapa hal yang membuat Durkheim tertarik untuk
menelaah fenomena agama ini.
Agama adalah fenomena yang universal. Artinya
dia berlaku sama diberbagai tempat dimuka bumi ini. Misalkan Agama Islam,
dimanapun penganut islam kiblatnya hanya satu, kitab sucinya Al Quran. Begitu
juga dengan agama-agama lain. Namun aplikasi penerapan agama yang universal itu
bila dia mau menjadi pedoman dalam kehidupan suku bangsa seringkali ditafsirkan
sesuai dengan latar belakang suku bangsa yang bersangkutan. Jadi ada warna tafsir
local terhadap ajaran agama yang universal ini.
Oleh C. Geertz tafsir local ini disebut
keyakinan keagamaan. Jadi agama berbeda dengan keyakinan keagamaan. Keyakinan keagamaan
inilah yang menjadi fenomena sosial yang dikaji dan dikaji ulang oleh Durkheim dan beberapa tokoh lainnya.
Keyakinan keagamaan inilah yang nanti menjadi atribut pendukung kesukubangsaan/
etnisitas. Jadi ada tafsir local untuk membuat ajaran agama universal itu
menjadi masuk akal dan dapat diterima oleh komunitas pendukungnya.
Itulah background kaitannya agama
dengan kebudayaan, makanya kita mendiskusikannya dengan atribut tadi.
Seorang antropolog Edward.T.Hall. menulis
karya yang berjudul The hidden
dimension.
Didalam tulisannya ada satu konsep menarik
yaitu Prosemic. Prosemic itu
sebenarnya adalah persepsi satu kelompok atau tafsir satu suku bangsa terhadap
lingkungan, baik fisik maupun sosial dimana mereka hidup atau bernaung. Apa
yang dimaksud oleh Edward T Hall sebagai prosemic, kalau setiap golongan sosial
itu tinggal/ bernaung disatu wilayah tertentu, itu wilayahnya tidak hanya
mengekspresikan batas-batas fisik, tapi wilayahnya itu ditata, dikelola
berdasarkan latar belakang kebudayaan masing-masing golongan sosial itu. Misalnya
teknologi, bentuk rumah itu semua adalah hasil penataan lingkungan yang
berdasarkan bentuk kebudayaan ini. Itulah yang dimaksud dengan prosemic.
Jadi diversitas kebudayaan juga menghasilkan
diversitas terhadap penataan lingkungan tempat bernaung tadi. Kalau kita
jalan-jalan ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) kelihatan dari sisi rumah
saja, kenapa Rumah Jawa berbeda dengan Rumah Minang dan juga berbeda dengan Rumah
Toraja. Kalau kita berada di Nusa Tenggara Timur (NTT), datang disalah satu
rumah dan dirumah itu terdapat tanduk kerbau besar 3-4 didik tersusun, itu merupakan
golongan-golongan sosial yang posisinnya relatif tinggi dimasyarakat. Kalau
disitu ada anak gadis dan kita tertarik (naksir), belisnya atau maharnya mahal sekali.
Jadi simbol, pastoralism, di NTT bukan hanya cerminan saja tetapi juga
merupakan sumber prestise sosial. Jadi orang memelihara kerbau yang tanduknya
bisa besar (Madapa) disusun didepan rumah, semakin banyak madapa
maka semakin tinggi status sosial pemilik rumah. Itulah salah satu yang disebut
sebagai prosemic (penataan lingkungan/ tempat tinggal berdasarkan kultur).
Diluar NTT tidak ada konsep madapa. Hal tersebut terbangun karena latar belakang
kebudayaan masyarakat setempat. Kalau kita salah memahami prosemic maka kita
salah langkah dan yang terjadi kegagalan komunikasi antar kultur (cross-cultural settings). Sosial Prestise ini adalah bagian dari
Pemenuhan kebutuhan hidup sosial. Jika di NTT hal in diekspresikan melaui madapa,
karena struktur masyarakatnya yang hierarkis dan ketat itu, memerlukan indikator-indikator
untuk menunjukkan adanya jenjang dalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Didalam penataan prosemic itu, dimensi religius
juga besar perannya, dimensi religius merupakan core bagi penataan prosemic.
Jadi kalau kita bicara lingkungan dari pendekatan kebudayaan maka kita bicara
prosemic. Tafsir-tafsir yang dibuat oleh masyarakat setempat untuk memaknai
benda dan manusia yang berada disekitar lingkungan mereka, itu makna pemahaman
prosemic itu.
Didalam prosemic itu ada pembagian ruang
(jarak interaksi) ruang itu dibagi minimal dua, ada ruang private (personal
space) didalam personal space ini, jarak interaksi antar orang itu
relatif dekat (mungkin 30 cm) didalam ruang yang personal, ruang keakraban namanya.
Kemudian ada ruang public (public space), diruang public
ini jarak interaksi antar pelaku itu relatif jauh, kelas ini contoh dari ruang
public, jarak antara dosen dan mahasiswa cukup jauh, ini bukan hubungan
personal, tetapi public space. Model pembagian personal dan public ini
menjadi model pembagian yang universal sifatnya bagi setiap kebudayaan suku
bagsa, Cuma bagaimana menatanya dan pada personal space itu ditumbuhkan dan
relasi seperti apa public space itu ditumbuhkan mungkin berbeda antara
satu suku bangsa dengan suku bangsa yang lain. Kalau di NTT saya bertemu dengan
Rato (tokoh agama local), jarak yang terbangun adalah public space, tetapi
kalau Rato dengan pengikutnya itu menjadi personal space.
Jadi ruang itu selain ditata secara
kebudayaan, juga diatur jarak interaksi didalam ruang prosemic sesuai dengan 2
kategori tadi.
Kembali ke ide Durkheim yang oleh Clifford
Geertz (antropolog amerika yang banyak bekerja/ meneliti di Indonesia
khususnya Jawa dan sedikit di Bali untuk mempelajari tentang masyarakat
setempat) dikembang kembali dalam kajian-kajiannya. Salah satu karyanya adalah The Interpretation Of Culture (tafsir kebudayaan),
ini menjadi buku standar begi etnografer-etnografer baik diindonesia dan
dimana-mana. Jadi kalau belajar etnografi, salah satu buku dasarnya adalah buku
Geertz ini.
Geerzt mengatakan bahwa agama itu bukan hanya bagian dari kebudayaan, tapi
adalah Culture Core. Religion merupakan bahasa etnografi tentang
agama (konsep etnografi terkait dengan agama). Makna dari Culture Core
adalah Pertama sebagai Culture Core agama dikategorikan sebagai sistem
simbol (ada sejumlah unsur yang membangun symbol itu) fungsinya memperkuat
gagasan dan tindakan sosial, jadi orang menggambarkan ide dan melakukan sesuatu
itu menjadi lebih percaya diri karena ada basis landasan agama ini. Symbol ini
menterjemahkan konsep-konsep yang tadinya abstrak menjadi konkret (nyata
adanya), malaikat, jin, bidadari itu adalah konsep-konsep abstrak yang
ditafsirkan melaui symbol dan seolah2 ada didunia ini. Surga neraka dan sebagainya
itu konsep abstrak yang melalui konsep agama ini ditafsirkan menjadi nyata
(seolah nyata). Pendefinisian ini dilakukan semata-mata untuk kepentingan
analisa sosial terhadap fenomena agama (bukan teologi). Symbol (sesuatu yang
mempunyai makna ganda, beda dengan tanda maknanya tunggal).
Salah satu kajian Geertz berkaitan
dengan keyakinan keagamaan dan prosemic itu, ditulis dalam buku berjudul The Religion of Java. Dan buku ini
sudah diterjemahkan berjudul Santri, Abangan dan Priyayi dan banyak
dikritik juga. Kritiknya :
Geerzt itu melaui karyanya membangun sebuah model keyakinan keagamaan (ideal
type) khususnya masyarakat di Jawa. Dia menggolongkan masyarakat dijawa ada 3
keyakinan keagamaan yang dia sebut kelompok abangan, santri dan priayi.
Masing-masing kelompok itu punya kharakteristik yang berbeda satu dengan yang
lain. Untuk abangan dia bilang aspek sinkretismenya itu besar (perpaduan antara
ajaran universal agama itu dengan tradisi-tradisi lokal). Ada satu ritual khas
dari abangan ini dia sebut sebagai selametan. Jadi setiap keyakinan agama ini
dia punya ritual. Bentuk ritual itu bisa berupa kegiatan, gerak-gerak tertentu
(kelakuan simbolik) sebagai implementasi dari keyakinan keagamaan itu dalam
kehidupan sehari-hari. Model abangan itu berkembang dalam struktur sosial yang
khas yaitu struktur sosial pedesaan khususnya pertanian, disitu berkembang
model sinkretisme itu. Tipe ideal kedua yaitu satri ini banyak berkembanga
didaerah-daerah perkotaan. Disini terjadi semacam pemurnian islam (islam
dikembangkan sebagaimana akarnya yang berada diasalnya tanpa unsur sinkretism,
biasanya popular di kaum2 pedagang. Katanya kaum santri ini banyak berkumpul di
partai-partai politik (seperti PPP) dll. Kemudian ada model keyakinan agama
yang disebut sebagai priyayi, priyayi ini sebetulnya bukan masuk ke kategori
agama tetapi status sosial. Tapi oleh Geertz dikategorikan sebagai sebuah
bentuk keyakinan keagamaan. Disini juga terjadi model sinkretis
antara islam dan tradisi-tradisi keraton. Priyayi ini menjadi model menjadi
kalangan-kalangan birokrasi. Ini adalah 3 model keyakinan yang ditunjukkan oleh
Geertz sebagai tafsir local terhadap ajaran agama yang universal itu. Ini
adalah ideal type (tipe ideal) untuk melihat bagaimana bekerjanya kebudayaan
dalam menafsirkan ajaran agama tadi.
Tentunya setiap keyakinan agama tadi mempunyai
ritual (kegiatan rutin) yang dilakukan dimana didalamnya ada unsur profane
maupun unsur sacral. Artinya menurut Durkheim agama adalah medium
untuk membedakan mana yang dianggap sacral (dianggap suci) mana yang dianggap
profane (dianggap duniawi/ tidak ada unsure religius).
Penggolongan-penggolongan itu muncul melalui ajaran-ajaran agama ini. Pembagian
sakre dan profane itu adalah pembagian kontradiksi antara dua hal yang berbeda
(missal kanan dan kiri/ kanan dianggap lebih suci dari kiri, surga dan neraka,
dll). Setiap agama itu memiliki penggolongan mana yang dianggap profane dan
sacral.
Kenapa agama rentan terhadap konflik sosial
dimasyarakat majemuk? Dan bagaimana dalam tugas kepolisian?
Diindonesia tidak ada konflik agama. Kalaupun
ada adalah konflik antar keyakinan keagamaan dan bukan terjadi karena adanya
perbedaan keyakinan keagamaan karena sumber konflik adalah perebutan sumber
daya strategis atau perendahan terhadap identitas satu suku bangsa tertentu.
Dalam konflik perebutan sumber daya strategis ini masing-masing kelompok
membangun kekuatan untuk memenangkan konflik perebutan sumber daya itu. Cara
paling gampang untuk membangun solidaritas kelompok itu adalah dengan cara
mengaktifkan identitas-identitas primordial ini (identitas
kesukubangsaan dan keyakinan keagamaan). jadi bukan keyakinan keagamaan yang
menjadi sumber konflik, tetapi sumber konfliknya adalah resource
competition baik itu sumberdaya alam, ekonomi, maupun sosial (posisi
strategis dalam masyarakat). Mereka berkompetisi dan berkonflik dalam
memperebutkan itu. Kalau ingin menang berarti harus ada kekuatan, kekuatan
harus dibangun. Dalam masyarkat luas kekuatan itu akan mudah dibangun bila
identitas kesukubangsaan atau keyakinan keagamaan diaktifkan. Jadi saya katakan
di Negara ini tidak ada konflik agama. Memang sering bilang Negara majemuk ini
rentan terhadap konflik agama, tetapi saya tidak setuju statement itu, kalau
kita rentan terhadap konflik agama, kita tidak bisa berjalan bersama ke Mall
atau kemana-mana karena kita berbeda agama, jadi bukan itu akarnya. Itu adalah
simbolisasi, jadi keyakinan keagamaan adalah simbolisasi yang dipakai untuk
membangun kekuatan guna memenangkan kompetisi resource tadi.
Dalam konflik antar suku bangsa dan keyakinan
keagamaan, petugas kepolisian harus berada pada posisi yang netral (tidak
berpihak pada salah satu kontestan) dan dengan rujukan hukum yang ada. Bukan
berarti hukum positive harus selalu kita pakai untuk menyelesaikan itu, tapi
posisi kita dalam konflik itu harus tidak berpihak.
Memang salah satu karakteristik masyarakat
majemuk itu potensi konfliknya besar, potensi konflik ini kadang bisa berubah
menjadi konflik nyata, kadang dia hanya berhenti pada potensi saja (tidak
terjadi). Kenapa? Salah satu penyebabnya adalah relasi dalam masyarakat majemuk
ini, itu ditata dalam masyarakat majemuk (kehidupan masyarakat luas disana).
Itu ditata dalam format dominan minoritas. Dalam tesis Bruner (1974) jadi
hipotesis kebudayaan dominan. Hubungan ini menyebabkan adanya kesenjangan penguasaan
power, resources dan hal-hal terkait dengan itu. Ini yang kadang-kadang
merangsang terjadinya konflik karena masing-masing pihak yang dominan
mempertahankan asset/ powers yang dia miliki, yang minoritas berusaha untuk
menebus itu juga (mendapat akses itu juga), ini yang menjadi penyebab banyaknya
potensi konflik pada masyarakat majemuk. Potensi konflik ini bisa terwujud
melalui resistensi (perlawanan simbolik berbeda dengan konflik, kalau konflik
itu pertikaian fisik antara satu kelompok dengan kelompok lain, dan dalam
pertikaian itu pasti akan membawa korban nyawa maupun harta). Kalau resistensi
itu konflik tapi tersembunyi/ tidak kelihatan siapa melawan siapa (tidak tahu
siapa kawan dan siapa lawan) yang kita pakai adalah symbol-simbol kebudayaan
untuk konflik itu, jadi orang tidak berhadapan langsung tapi ada sekelompok
orang yang resistan dalam arti tidak sepakat apa yang dirancang/ dikonsumsi
oleh masyarakat dominan. Bentuk dari konflik ini juga sifatnya lebih pada non
fisik, jadi ada penulis bernama James C. Scott yang bukunya berjudul Weapons
of the weak (senjata orang-orang yang kalah) dia menggambarkan
bagaimana resistensi itu terjadi dan kelompok minoritas itu tidak mungkin
melakukan perlawanan fisik, jadi yang dia pakai adalah weapons of the weak itu.
Contohnya isu-isu tidak benar, pergunjingan, cela mencela, caci maki. Hal-hal
terkait dan itu pengaruhnya luar biasa. Apalagi dengan kemajuan internet,
begitu masuk internet langsung tersebar keseluruh dunia. Bentuk konkret
resistensi ini oleh James C. Scott disebut dengan Hidden
Transcripts jadi seperti bola salju yang kelihatan permukaannya tapi
dibwahnya itu bergolak, jadi kita lihat seolah2 dalam kehidupan masyarakat itu
tenang-tenang saja tapi dibawahnya itu bergolak. Dan ini kalau tidak dicegah
dan representative yang kolektif itu bisa meledak menjadi konflik. Resistensi Hidden
Transcripts ini harus jadi perhatian kita juga untuk mencegah
terjadinya sebuah konflik fisik.
Ritual itu ujungnya adalah pemeliharaan
kesatuan kelompok (integrasi kelompok) dan produk dari ritual ini
bermacam-macam. Ada ritual yang terkait dengan life cycle (daur
kehidupan) dan bedanya ritual dengan yang lain adalah pada ritual ini ada
dimensi religiusnya. Kita juga punya ritual lain yang tidak ada dimensi
religiusnya misalnya setiap pagi kita bangun pagi dan langsung mandi sikat
gigi, itu juga merupakan ritual dalam kategori profane. Ritual itu adalah
kegiatan yang berulang-ulang kita lakukan (menurut Erving Goffman).
Diantara sejumlah ritual ini menurut Durkheim agama mengkategorikan mana
yang sacral dan mana yang profane.
Kembali ke cerita The Religion of Java
tadi tipe ideal dari keyakinan agama itu tumbuh selain dari pengaruh kebudayaan
itu juga daripada struktur-struktur sosialnya (struktur sosial pedesaan,
perkotaan dan birokrasi) itu menurut C. Geertz.
Diindonesia ini memang saya setuju bahwa
banyak berkembangn tafsir-tafsir lokal dan itu memang terkait dengan struktur
sosial dan kebudayaan itu berperan. Saya ingin membahas agama sebagai core
culture, satu decade ini orang mulai banyak bicara tentang radikalisme terkait
dengan agama yang merupakan inti dari kebudayaan. Radikalisme berasal dari kata
radic (yang artinya akar). Jadi radikalisme itu adalah gerakan-gerakan untuk
merubah secara total kondisi yang ada dan ada unsure pemaksaannya. Jadi
kekuatan agama sebagai core culture itu dijadikan pondasi untuk membangun gerakangerakan
radics. Kenapa? Karena karakteristik dari core culture ini bisa dijadikan alat
pembenaran terhadap radic (kegiatan yang ingin merubah total kondisi yang ada).
Dan kekuatan core culture ini tidak hanya dalam peristiwa radikalisme, dalam
industrialisasi juga berkembang. Coba lihat indomie kalau tidak ada kata halal
disitu banyak orang tidak mau makan tapi karena disitu ditulis kata halal maka
banyak orang yang mengonsumsi itu. Ini kan persoalan pembenaran (core culture
dari kebudayaan). Jadi memang tidak tanggung-tanggung dia tumbuh dan mendukung
berlangsungnya proses industrialisasi. Itu ada unsur ini (pembenaran), jadi
menurut C. Geertz pembenaran itu terjadi bukan karena interaksi sesama
manusia dimuka bumi ini, tapi interaksi manusia dengan mahluk-mahluk lain yang
ada diluar dunia kita yang dikonretkan melalui symbol-simbol keagamaan tadi,
itulah dasar kekuatanya. Jadi disini sebenarnya yang terjadi adalah relasi
power (power relation), relasi antar kekuatan sosial dan agama
sebagai core culture memiliki itu dan dia bisa menjadi/ menstruktur/ memodifikasi
atribut kesukubangsaan. Dahulu jaman 30-40 tahun yang lalu sebelum orang bicara
tentang radikalisme agama ada satu fenomena yang namanya nativistic
movement, cargo cults yang banyak tersebar di daerah Melanesia. Kalau diindonesia
sekarang popular dengan gerakan ratu adil. Jadi di Melanesia itu
dulu orang menanti-nanti akan adanya sang ratu ini datang dan mensejahterakan
kehidupan komunitas setempat. Dan sampai sekarang belum datang, karena artinya
selama itu belum datang mereka beranggapan bahwa ada hal-hal dalam kehidupan
mereka ini yang belum pas sehingga ratu adil itu tidak datang-datnag ini
namanya messianic movement. The messianic movement
ini mempunyai beberapa karakter/ penekanan :
1. Ada karakter keagamaan, ini biasanya Nampak melalui
orang-orang tertentu yang dianggap sebagai guru, nabi, wakil dewa (Tuhan) untuk
menyebarkan ajaran-ajarannya.
2. Ada aspek psikologinya juga. Ada kajian disalah satu
suku bangsa (diluar Indonesia) jadi mereka membius dirinya untuk melepaskan
diri dari realitas kehidupan dunia guna menunggu datangnya ratu adil tadi itu.
3. Aspek dari keaslian kebudayaan setempat, ini juga
berpengaruh terhadap munculnya gerakan messianic ini. Tahun 70-80-an ini banyak
dikaji dan tumbuh dimana-mana dan ini merupakan salah satu bentuk dari
keyakinan keagamaan juga, ditafsirkan. Dan fenomena ini tidak hanya dimelanesia,
disekitar kita juga muncul model-model konsepsi ratu adil ini sebagai
penyelamat. Ini gerakan-gerakan yang muatan religiusnya besar.
Kembali kepersoalan sinkretism itu fenomena
yang hampir merata tersebar diwilayah Indonesia ini (tidak hanya diwilayah C.
Geertz melakukan studi ini saja).
Salah satu contoh kutipan dari informan pada
waktu melakukan penelitian di Bali :
Ada istilah The Villages Of God (desa-desa
ciptaan Tuhan). Ini bahasa setempat untuk menunjukkan status religius dari
desa-desa yang ada diBali (Bali itu dikenal sebagai pulau dewata yang merupakan
jargon utama dari pulau Bali. Terkait dengan prosemic, desa-desa disana bukan
dianggap desa biasa saja, bukan sekerdar desa yang ada sawah, ada bangunan suci
dan rumah segala macam, tapi the villeges of god, disitu warna religiusnya. Core
nya adalah pura, jadi pura itu adalah suatu nilai yang paling tinggi dalam
kultur orang bali dan tidak bisa ditawar2). Kalau kita bicara pura, pura itu
ada space personalnya dan ada space publiknya, kalau ini dilanggar itu
diartikan sebagai mencemari kesucian tempat itu, batas-batas prosemicnya
ditegaskan. Jadi kita bisa melihat bagaimana kebudayaan dan core culture nya
berpengaruh dalam penataan prosemic tadi. Jadi kita harus tahu disetiap suku
bangsa agar kita tidak salah melangkah, karena jangan kita jalan kesana
dianggap mencemari. Batas-batas mana tentang prosemic ini harus dipahami. Jadi prosemic
itu adalah sebuah model tafsir terhadap kondisi local. Waktu itu diberbagai
tempat sempat terjadi heboh terkait dengan penerapan UU pedesaan UU no. 5 tahun 1972 karena itu tidak
sepaham dengan prosemic yang dibangun The villages of god, itu adalah
religiusitas, itu adalah unsur utama penataan environtment yang ada disana. Sama
dengan di NTT bagaimana orang menafsirkan makna Gunung Mutis. Yang diperlukan
masyarakat mejemuk ini adalah toleransi terhadap hal-hal seperti itu (dimensi religius
yang dikembangkan oleh masyarakat-masyarakat suku bangsa yang ada, apakah
melalui ajaran murni atau sinkretis/ perpaduan). Di Minagkabau ada istilah Syarak
basandi Kitabullah itu adalah perpaduan akomodasi dari dua hal yang
berbeda. Jadi setiap suku bangsa itu punya local tafsir terhadap
fenomena yang universal ini karena disitulah bekerjanya kebudayan dan itu
menjadi atribut kesukubangsaan (memperkuat atribut kesukubangsaan).
Kenapa orang rimba (kubu) tidak dianggap suku
melayu? Sementara wilayah teritorialnya adalah wilayah territorial suku bangsa
melayu? Karena tidak bergabung didalam core culture yang ada disana. Melayu kan
identik dengan islam, kalau mereka belum menjadi umat islam maka belum dianggap
melayu, tapi masih suku bangsa terasing. Ini bukti lain bagaimana kerjanya core
cultures itu dalam membuat kategorisasi golongangolongan suku bangsa. Jadi orang
rimba itu belum menjadikan islam sebagai atribut suku bangsanya sehingga oleh
karena iu belum bisa digolongkan sebagai orang melayu, tetapi tetap orang talang
mamak/ orang kubu/ orang rimbo. Tapi kalau atribut kesukubangsaannya dirubah
melalui proses akulturasi maka identitas kesukubangsaannya juga berubah. Satu yang
perlu diingat bahwa perubahan identitas itu ada yang gampang dan ada yang
susah. Raplington itu mengkategorikan bahwa kalau identitas itu sifatnya
provert (terbuka) itu lebih gampang dirubah tapi kalau sifatnya covert
(tertutup) salah satunya keyakinan keagamaan atau nilai-nilai budaya mendasar
itu sukar dirubah. Tapi kalau teknologi dan ekonomi itu gampang dirubah dan
setiap saat kita melakukan perubahan itu. Contohnya saja alat komunikasi kita
ikutin terus dari telpon yang tadinya engkol sekarang kita terbiasa dengan
android. Jadi yang namanya ekonomi dan teknologi itu paling gampang mengalami
perubahan. Tapi kalau persoalan itu (keyakinan keagamaan sebagai identitas suku
bangsa) memang susah, banyak pertimbangan disitu, karena relasi powersnya itu
tidak duniawi saja sifatnya tapi ada unsur sacral nya. Itu merupakan hal yang
dasar sekali dari pemikirannya Durkheim.
Berbicara tentang Totem, totem
(mahluk yang dijadikan itu merupakan mahluk yang sacral bukan profane), orang
mau berkorban nyawa untuk membela itu (kalau totemnya itu dirusak/ dianiaya).
Jadi kesukubangsaan, keyakinan keagamaan bisa
saling terkait satu sama lain, saling mendukung. Dan ini adalah
identitas-identitas primordial yang sering diaktifkan dalam
proses-proses kompetisi sumberdaya. Jadi kalau kita menemukan ada konflik antar
suku bangsa, jangan diidentifikasi perbedaan suku bangsannya tapi kita
identidikasi resource apa yang mereka perebutkan didaerah itu sehingga mereka
perlu kekuatan primordial untuk memenangkan proses perebutan itu. Nah yang
diperebutkan itu pasti sumber daya atau menurut Prof. Parsudi Suparlan
penghinaan terhadap harga diri suku bangsa. Sumber konflik itulah yang harus
diidentifikasi bukan perbedaan suku bangsanya. Jadi ini dasar konsepnya adalah
tentang prosemic space. Yang perlu kita pahami adalah implementasinya
dalam wilayah kerja masing-masing. Bagaimana prosemic space ini dikonstruksikan
dan dipelihara dalam rangka menjaga integritas sosial warga masyarakat, ujung
dari sebuah ritual adalah itu. Disatu sisi mungkin mereka berkonflik tapi
disisi lain mungkin mereka bertemu melalui pelaksanaan-pelaksanaan ritual ini. Untuk
mengantisipasi potensi-potensi konflik agar tidak berubah menjadi konflik
fisik.
Saya tidak setuju dengan modelnya Karl Marx
karena dia berbicara konflik sumbernya hanya ekonomi saja dan kelas sosial. Kalau
bicara resistensi bukan persoalan ekonomi disitu, dimensi religius juga kuat. Dalam
konstruksi masyarakat majemuk itu potensi konflik akan selalu ada, persoalannya
bagaimana kita mencegahnya menjadi konflik nyata (fisik). Kalau bisa kondisi
konflik itu digeser menjadi persaingan antar warga masyarakat. Karena melalui
persaingan itu dinamika muncul.
Keyakinan keagamaan disatu sisi bisa mempertajam
batas-batas suku bangsa tapi disisi lain juga bisa melonggarkan batas-batas
suku bangsa, sebagai medium dimana batas-batas suku bangsa itu lebur. Misalnya 2-3
suku bangsa melebur menjadi penganut salah satu agama (Umat Kristen, Islam,
Hindu dan Budha) dan masing-masing umat itu sebenarnya bersumber dari berbagai
suku bangsa yang berbeda tapi batas suku bangsa itu hilang karena menjadi umat dari
ajaran yang universal tapi batas-batas suku bangsa ini juga bisa tajam manakala
itu diaktifkan untuk memenangkan resource competition tadi (dijadikan kategori
untuk membeda-bedakan). Apakah kita tidak perlu berbeda? Harus berbeda karena
perbedaan ini menjadi dasar terjadinya interaksi (pertemuan antara dua orang/
lebih dengan identitas yang berbeda), jalan misalnya kita kemana dan berkomunikasi :
“Mas asalnya dari mana?”,
“Saya dari Jakarta nih”,
“Oh, orang betawi ya?”,
“Kakek saya dari betawi, tapi istri dari Cirebon”,
“Kalau mas dari mana?”,
“Saya dari Way Bubak”.
Dan terus terjadi interaksi. Perbedaan identitas
ini mendasari terjadinya keanekaragaman. Dan masyarakat kita memang masyarakat
aneka ragam.
Berbicara keanekaragaman sebetulnya buka hanya
konstruksi sosial tapi juga ini konstruksi ideologis (syarat terjadinya seleksi
alam). Ada teori Darwin, persoalan dasar teori Darwin adalah kita
membutuhkan keanekaragaman untuk menjalankan proses seleksi. Waktu itu Karena
dia orang biologis dia bilang seleksi alamiah. Kalau tidak ada keanekaragaman bagaimana
seleksi mau dilakukan? Itu dasar pemikiran Darwin (bukan persoalan non
manusia menjadi manusia) itu bukan persoalan akademik yang kita bawa, tapi
proses seleksi ini, dan seleksi mungkin dilakukan kalau unsure-unsurnya itu
beranekaragam (diversitas), itu sudah hukum alam yang ditemukan oleh Darwin.
0 komentar