URGENSI ALAT BUKTI DALAM PROSES PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

00.30handreasstik66

HUKUM MATERIIL DAN HUKUM FORMIL
Menurut cara mempertahankannya, hukum dapat dibagi dalam :
1.      Hukum Materiil
Yaitu hukum yang mengatur tentang isi hubungan antara sesama anggota masyarakat, antara anggota masyarakat dengan masyarakat, antara anggota masyarakat dengan penguasa negara, antara masyarakat dengan penguasa negara.
Didalam hukum materiil ini ditetapkan mana sikap tindak yang diharuskan dan mana yang dilarang serta mana yang diperbolehkan termasuk akibat hukum dan sanksi hukum bagi pelanggarnya.
2.      Hukum Formal
Yaitu hukum yang mengatur bagaimana cara penguasa mempertahankan, menegakkan serta melaksanakan kaidah-kaidah hukum materiil dan bagaimana cara menuntutnya apabila hak seseorang telah dilanggar oleh orang lain. (Prof. Dr. H. Muchsin, SH. Ikhtiar Ilmu Hukum. Badan Penerbit Iblam. 2006. Halaman. 39-40).

Kebenaran Materiil dan Kebenaran Formil
Kebenaran Materiil
Yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.
Kebenaran Formil
Yaitu kebenaran yang hanya berdasarkan pada formalitas bukti-bukti yang ada tanpa dibutuhkan keyakinan hakim.

DELIK DELIK FORMIL DAN DELIK MATERIIL
Istilah delik materiil dan delik formil itu adalah singkatan dari delik yang dirumuskan secara formal dan material.

Delik Formil
Dikatakan ada perumusan formal jika yang disebut atau yang menjadi pokok dalam formulering adalah kelakuannya. Sebab kelakuan semacam itulah yang dianggap pokok untuk dilarang.
Akibat dari kelakuan itu tidak dianggap penting untuk masuk perumusan. Misalnya dalam Pasal 362 KUHP mengenai pencurian, yang penting adalah kelakuan untuk memindahkan penguasaan barang yang dicuri. Dalam hal pasal itu kelakuan dirumuskan sebagai “mengambil”. Akibat dari pengambilan tadi, misalnya dalam pencurian sepeda bahwa si korban lalu harus jalan kaki sehingga jatuh sakit, tidak dipandang penting dalam formulering pencurian.

Delik Materiil
Dikatakan ada perumusan materilil ketika yang disebut atau menjadi pokok dalam formulering adalah akibatnya. Oleh karena akibatnya itulah yang dianggap pokok untuk dilarang.
Bagaimana caranya mendatangkan akibat tadi tidak dianggap penting.
Biasanya yang dianggap delik materiil adalah misalnya penganiayaan (Pasal 351 KUHP), pembunuhan (Pasal 358 KUHP) karena yang dianggap pokok untuk dilarang adalah adanya akibat menderita sakit atau matinya orang yang dianiaya atau dibunuh. Bagaimana caranya mendatangkan akibat itu, tidak penting sama sekali.

DELIK DELIK FORMIL - MATERIIL
Perlu diajukan pula bahwa ada rumusan-rumusan yang material-formal. Artinya disitu yang menjadi pokok bukna saja caranya berbuat tetapi juga akibatnya.
Contoh adalah Pasal 378 KUHP yaitu penipuan.
Akibatnya yaitu bahwa orang yang ditipu tergerak hatinya dan menyerahkan barang sesuatu kepada orang yang menipu atau memberi utang maupun menghapuskan piutang, mengingatkan pada rumusan yang material. Meskipun demikian tidak tiap-tiap cara untuk menggerakkan hati orang yang ditipu masuk dalam pengertian penipuan menurut pasal di atas.
Hanya kalau caranya menggerakkan hati itu memakai nama palsu, martabat menurut Pasal 378 disini terang ada rumusan formal. (Prof. Moeljatno, SH. Asas-asas Hukum Pidana. Rineka Cipta. Jakarta. 2000. Halaman 68-69).

DELIK DAN DELIK ADUAN
Delik
Tindak pidana juga disebut delik atau perbuatan yang boleh dihukum atau peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Delik Aduan
Pada umumnya jika terjadi tindak pidana maka pemerintah yang dalam hal ini diwakili oleh kepolisian, kejaksaan dan kehakiman tanpa permintaan dari orang yang terkena tindak pidana segera melakukan penyidikan, pengusutan, penuntutan dan memberikan hukuman kepada orang yang bersalah atas perbuatan tindak pidana itu.
Akan tetapi diantara banyak tidak pidana itu ada beberapa jenis, hampir semuanya kejahatan, hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan (permintaan) dari orang yang terkena tindak pidana itu. Tindak-tindak pidana semacam itu disebut delik aduan (klachtdelict)

Delik aduan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1.   Delik aduan Absolute, ialah delik (tindak pidana) yang selalu hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan seperti tersebut dalam pasal-pasal 287, 293, 310 dan berikutnya 332, 322 dan 369. dalam hal ini pengaduan diperlukan untuk menuntut tindak pidananya, sehingga permintaan dalam pengaduannya harus berbunyi : ”saya minta agar tindak pidana ini harus dituntut”.
Oleh karena yang dituntut itu tindak pidananya, maka semua orang yang tersangkut dalam tindak pidana itu (melakukan, membujuk, membantu, dsb) tanpa ada kecualian, harus dituntut, biasanya dikatakan bahwa delik aduan yang absolute ini tidak boleh dibelah.
2.      Delik aduan relatif, ialah delik (tindak pidana) yang dalam keadaan biasa bukan merupakan delik aduan, akan tetapi baru jika dilakukan oleh sanak keluarga yang tertentu dalam pasal 367 KUHP, lalu menjadi delik aduan. Delik-delik aduan ini tersebut dalam pasal-pasal 367, 370, 376, 394, 404 dan 411 KUHP.
dalam hal ini pengaduan itu diperlukan guna menuntut orang-orangnya yang bersalah dalam tindak pidana itu, jadi bukan untuk menuntut tindak pidananya, oleh karena itu biasanya dikatakan bahwa delik aduan relatif itu dapat dibelah.

Untuk mengetahui apakah suatu delik itu delik aduan atau bukan, di dalam KUHP dapat diketahui dengan membaca dalam pasal atau bab dimana tindak pidana itu tercantum, oleh karena bila delik itu ditentukan sebagai delik aduan, tentu dinyatakan dalam pasalnya atau babnya.
Bagi delik-delik aduan dalam pasalnya senantiasa disebutkan orang yang berhak mengadu. Ini adalah orang terkena tindak pidana, artinya bagi kejahatan-kejahatan terhadap harta benda seperti pencurian (Pasal 362 KUHP), penggelapan (Pasal 372 KUHP), penipuan (Pasal 378 KUHP), dan sebagainya maka yang dipandang sebagai orang yang terkena delik itu adalah pemilik barang-barang.

Sumber Hukum Formal adalah :
a.      Undang-undang
b.      Kebiasaan (custom) dan Adat
c.      Perjanjian antar negara (traktat/ treaty)
d.      Putusan-putusan Hakim (Jurisprudentie)
e.      Pendapat atau pandangan ahli hukum (doctrine)
Antara undang-undang, yurisprudensi, kebiasaan dan doktrin keberadaannya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam usaha menciptakan hukum yang berkeadilan dan berkepastian melalui keputusan hakim. Sebab semakin kompleks permasalahan yang ada di dalam masyarakat sangatlah tidak mungkin bagi hakim untuk hanya menggunakan salah satu sumber hukum saja. (Waluyadi, SH. Pengantar Ilmu Hukum Dalam perspektif Hukum Positif. Halaman 23).

TEKS UNDANG-UNDANG DAN PENJELASAN RESMI
Apabila penjelasan resmi itu bertentengan dengan teks undang-undang, maka teks undang-undang itulah yang dimenangkan, sebab penduduk hanya terikat pada undang-undang. (Irawan Soejito. Teknik Membuat Undang-undang. Pradnya Paramita. Jakarta. 1976).

TWEE JURISTEN DRIE MENINGEN
Dalam ilmu hukum ada suatu adagium yang mengatakan :
twee juristen drie meningen” yang artinya dua sarjana hukum, tiga pendapat.
Wie betich moet bewijzen
Dalam hukum pembuktian dikenal suatu asas “wie betich moet bewijzen” artinya siapa yang mendalilkan wajib membuktikan.


YURISDIS SCIENTIFIC INVESTIGATION
Yuridis :
Berdasarkan pada norma-norma hukum.
Scientific :
Berdasarkan dan disusun secara ilmiah.
Investigation :
Pemeriksaan, penyelidikan dan penyidikan.

HUKUM PEMBUKTIAN

Hukum pembuktian
Merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tata cara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak dan menilai suatu pembuktian.
Penyelidikan
Serangkaian tindakan mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. (Pasal 1 butir 5 KUHAP).
Penyidikan
Serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. (Pasal 1 butir 2 KUHAP).
Tersangka
Seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana (Pasal 1 butir 41 KUHAP).
Bukti permulaan
Mengenai bukti permulaan yang disebut pada Pasal 1 butir 14 dan dihubungkan dengan pejelasan Pasal 17, ialah suatu nilai bukti yang telah ”mampu” atau telah ”selaras” untuk menduga seseorang sebagai tersangka. Berarti bukti yang telah dijumpai atau dimiliki penyidik telah bersesuaian dengan keadaan yang dijumpai pada seseorang.
Penyidik harus lebih dulu memperoleh atau mengumpulkan bukti permulaan atau probable cause, baru dapat menjatuhkan dugaan terhadap seseorang. Artinya cukup fakta dan keadaan berdasar informasi yang sangat dipercaya bahwa tersangka sebagai pelaku tindak pidana berdasar bukti dan tidak boleh semata-mata berdasar konklusi. (M. Yahya Harahap, SH. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP – penyidikan dan penuntutan. Sinar Grafika, Jakarta. 2005. Halaman 125-126).
Pembuktian
Adalah memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang :
a.      Apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi.
b.      Apa sebabnya demikian halnya. (Menurut Van Bummelen).

Membuktikan
Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran peristiwa tersebut. (Martiman Prodjohamidjojo. ”Komentar atas KUHAP”).

Alat bukti
Adalah segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Sistem pembuktian
Adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.
KUHAP menganut sistem pembuktian negatif, yaitu :
a.      Adanya macam alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.
b.  Adanya keyakinan bagi hakim untuk menyatakan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana.

Pasal 183 KUHAP
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Kekuatan pembuktian
Arti kekuatan alat bukti
Adalah seberapa jauh nilai alat bukti itu masing-masing dalam hukum pembuktian.

MACAM ALAT BUKTI DALAM BEBERAPA HUKUM ACARA
Pidana (Pasal 184 KUHAP)
Perdata (Pasal 164 HIR/ 284 RBg)
PTUN (Pasal 100 PERATUN)
1.      Keterangan saksi
2.      Keterangan ahli
3.      Surat
4.      Petunjuk
5.      Keterangan terdakwa
1.      Bukti surat
2.      Bukti saksi
3.      Persangkaan
4.      Pengakuan
5.      Sumpah
1.      Surat dan tulisan
2.      Keterangan ahli
3.      Keterangan saksi
4.      Pengakuan para pihak
5.      Pengetahuan hakim


Alat-alat Bukti
Keterangan saksi

Keterangan saksi
Adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi mengenai peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (Pasal 1 butir 27 KUHAP).

Saksi
Adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri. (Pasal 1 butir 26 KUHAP).

Syarat Kekuatan Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti
1.      Syarat Obyektif
-        Ia tidak boleh bersama-sama sebagai terdakwa.
-        Tidak boleh ada hubungan keluarga.
-        Mampu bertanggung jawab yakti sudah berumur 15 (lima belas) tahun atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan.
2.      Syarat Formal
-        Kesaksian harus diucapkan dalam sidang.
-        Kesaksian tersebut harus diucapkan dibawah sumpah.
-        Tidak dikenai asas unus testis nullus testis.
3.      Syarat Subyektif/ Material
-        Saksi menerangkan apa yang ia lihat, dengar dan alami sendiri.
-        Dasar-dasar alasan mengapa saksi tersebut melihat, mendengar dan mengalami sesuatu yang diterangkan tersebut.
Nilai Bukti Saksi
Abstrak Hukum
-   Bahwa keterangan saksi ”dibawah sumpah” yang diberikannya dihadapan penyidik kepolisian (karena saksi ini nantinya tidak akan dapat hadir di sidang pengadilan) dan oleh penyidik keterangan saksi dibawah sumpah itu kemudian dituangkan dalam ”Berita Acara Pemeriksaan Pendahuluan”.
-     Bilamana keterangan saksi ini dibacakan didalam persidangan pengadilan, maka keterangan saksi tersebut ”disamakan nilainya” dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diberikan didalam persidangan pengadilan. Karena itu adalah sah sebagai alat bukti menurut UU (KUHAP).
-       Mahkamah Agung RI No. 661. K/ Pid/ 1988, tanggal 19 Juli 1990.
-   Pengadilan Negeri di Baturaja Sumatra Selatan No. 190/ Pid/ B/ 1987/ PN. BTA, tanggal 30 desember 1987. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun VI No. 63 Desember 1990; halaman 115).
-      Pasal 162 ayat (2) huruf c KUHAP
Jika keterangan saksi tersebut diberikan dimuka penyidik dengan mengucapkan sumpah atau janji maka nilainya sama dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang diberikan dalam sidang.

Asas Unus Testis Nullus Testis
a.      Asas unus testis nullus testis artinya adalah satu saksi bukan saksi. Didalam KUHAP diatur dalam pasal 185 ayat (2) yang berbunyi : Keterangan saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan.
b.     Asas unus testis nullus testis tersebut dapat disimpangi berdasarkan pasal 185 ayat (3) KUHAP, yang mengatakan bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah.
c.   Berdasarkan tafsir a contrario keterangan seorang saksi cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah apabila disertai dengan satu alat bukti yang sah, misalnya :
Ø  Satu keterangan saksi ditambah dengan keterangan terdakwa.
Ø  Satu keterangan saksi ditambah alat bukti surat.
Keterangan Berantai
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah, apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.

Keterangan Saksi Berbeda dengan Berita Acara Penyidikan
-    Keterangan saksi yang diberikan didepan penyidik sebagaimana terdapat dalam berita acara peyidikan (berkas perkara) merupakan pedoman dalam pemeriksaan sidang.
-       Jika keterangan saksi dalam sidang ternyata berbeda dengan yang ada didalam berkas perkara, hakim ketua sidang mengingatkan saksi tentang hal itu serta minta keterangan mengenai perbedaan yang ada dan dicatat dalam berita acara persidangan. (Pasal 163 KUHAP).
-      Namun harus diingat bahwa perbedaan keterangan saksi tersebut harus disertai dengan alasan yang bisa diterima. Apabila diterima baru dicatat dalam berita acara persidangan. Namun apabila tidak bisa diterima akal, tentu saja pencabutan keterangan saksi tersebut harus ditolak.

TERDAKWA MENARIK KEMBALI PENGAKUANNYA BAGAIMANA HUKUMNYA
Abstrak Hukum:
Pengadilan Negeri
-      Didalam sidang, terdakwa telah didakwa oleh jaksa penuntut umum melakukan perbuatan pidana yang dirumuskan sebagai berikut :
·        Primair : pasal 340 jo 55 jo 56 KUHPidana.
·        Subsidiair : pasal 338 jo 55 jo 56 KUHPidana.
·        Subsidiair lagi : pasal 353 (3) jo 55 jo 56 KUHPidana.
·        Lebih Subsidiair lagi : pasal 351 (3) jo 55 jo 56 KUHPidana.
-  Bahwa jaksa dalam requisitoirnya menuntut agar terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan delict dalam dakwaan primair, ex pasal 340 jo 55 jo 56 KUHPidana.
-    Bahwa hakim Pertama dalam memeriksa dan mengadili kasus ini memberikan putusan yang menyatakan bahwa terdakwa tersebut tidak terbukti bersalah melakukan delict seperti yang didakwakan dalam dakwaan Primair – Subsisiair – Subsidiair lagi dan lebih Subsidiair lagi. Membebaskan terdakwa dari semua tuntutan tersebut.
Mahkamah Agung RI :
-        Setelah kasus ini diperiksa, maka Majelis Mahkamah Agung RI dalam putusannya telah membatalkan putusan judex facti yang dinilai salah menerapkan hukum atas kasus ini. Selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri kasus ini dengan menyatakan bahwa terdakwa terbukti bersalah melakukan delict : ”turut serta melakukan pembunuhan” dan memberi pidana penjara selama 6 (enam) tahun.
-        Bahwa putusan ini didasari oleh pertimbangan hukum yang intinya sebagai berikut :
·       Putusan hakim pertama ini didasari oleh alasan bahwa keterangan para saksi adalah sangat meragukan serta tidak dapat dipercaya, sehingga dalam kasus ini tidak ada keterangan para saksi dan petunjuk sebagai alat bukti yang sah seperti dalam pasal 184 jo 183 KUHAP. Pendirian haki mini juga mengaitkannya dengan asas hukum geen straf zonder schuld, serta pasal 6 (2) Undang – undang No. 14/ 1970. Dengan alasan ini maka terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan tersebut.
·   Bahwa putusan yang diberikan oleh hakim pengadilan negeri tersebut tidak sempurna dipertimbangkan (onvoldoende gemotiveerd), sehingga menimbulkan penafsiran yang keliru mengenai tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yaitu Hakim ternyata tidak mempertimbangkan dalam putusannya tentang bukti petunjuk yang dapat diambil dari keterangan terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan oleh Penyidik serta keterangan dari para saksi.
·       Bahwa terdakwa yang mencabut/ menarik kembali keterangannya dimuka penyidik dengan alasan bahwa keterangannya itu diberikan dalam keadaan terpaksa karena terdakwa telah dipukuli oleh penyidik, tidak dapat dibenarkan oleh Majelis Mahkamah Agung, sebab menurut hasil pemeriksaan di muka persidangan Pengadilan Negeri ternyata tidak terdapat bukti-bukti bahwa terdakwa sewaktu diperiksa penyidik telah diperlakukan tindak kekerasan atau dipukuli.
·       Bahwa pencabutan keterangan atau pengakuan oleh terdakwa yang tidak beralasan tersebut adalah merupakan bukti petunjuk akan kesalahan terdakwa.
·  Bahwa disamping itu, mengingat pula ada keterangan saksi yang melihat terdakwa mengangkat tubuh korban dan meletakkannya di pinggir jalan. Keterangan saksi ini juga merupakan bukti petunjuk tentang adanya kesalahan terdakwa.
·    Bahwa berdasar atas pertimbangan ini, Mahkamah Agung berpendirian bahwa perbuatan terdakwa memnuhi elementen pasal 338 KUHPidana, sehingga melakukan perbuatan pidana seperti yang didakwakan dalam dakwaan subsidiair, turut serta melakukan pembunuhan.
·        Pengadilan Negeri Gunung Sitoli : No. 170/ Pid.B/ 84, tanggal 23 April 1985.
·        Mahkamah Agung RI : No. 1043 K/ Pid/ 1985, tanggal 19 Agustus 1987. (Majalah Hukum Varia Peraialn Tahun III No. 29; Februari 1988; halaman 42).

Penilaian Dari Keterangan Saksi
Penilaian terhadap keterangan yang diberikan oleh seorang saksi adalah bebas, artinya seorang hakim bebas untuk menerima atau menolak isi keterangan seorang saksi yang diberikan dipersidangan.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 185 ayat (6) KUHAP. Dalam menilai kebenaran keterngan seseorang saksi, hakim harus bersunggu-sungguh memperhatikan :
-        Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain.
-        Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain.
-        Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan tertentu.
-      Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.

KETERANGAN AHLI (VERKLARINGEN VAN EEN DESKUNDIGE / EXPERT TESTIMONY)
a.      Pengertian ”Ahli”
o   Pasal 120 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus.
o   Pasal 132 ayat (1) KUHAP
Dalam hal diterima pengaduan bahwa sesuatu surat atau tulisan palsu atau dipalsukan atau diduga palsu oelh penyidik, maka untuk kepentingan penyidikan, oleh penyidik dapat dimintakan keterangan mengenai hal itu dari orang ahli.
o   Pasal 133 ayat (1) KUHAP
Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peritiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan ahli lainnya.
               
Dari ketentuan pasal-pasal tersebut diatas, tidak disebutkan secara jelas syarat-syarat tentang seorang ahli, kecuali untuk ahli kedokteran kahakiman atau dokter. Sehingga dibuka kemungkinan seorang ahli dari kalangan tidak terdidik secara formal.

Menurut A. Karim Nasution
Janganlah hendaknya kita berpendapat bahwa orang yang disebut ahli tersebut haruslah seorang yang berpendidikan khusus atau orang yang telah memiliki ijazah tertentu. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman khusus mengenai sesuatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu.
Nederburgh
Bukan berarti bahwa dalam memerlukan bantuan ahli kita harus selalu minta bantuan sarjana-sarjana atau ahli-ahli ilmu pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan kurang berpendidikan, namun dalam bidangnya toh sangat cendekia (scherpzinnig). Umpamanya : tukang kayu, tukang sepatu, pembuat senjata, pemburu dan sebagainya yang untuk soal-soal tertentu dapat memberi pertolongan yang sangat diperlukan.
b.      Keterangan Ahli
-        Pasal 1 butir 28 KUHAP
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.

Apa yang disampaikan oleh ahli mempunyau 2 (dua) kemungkinan :
a.      Sebagai alat bukti keterangan ahli.
b.      Sebagai alat bukti surat.

Menurut Pedoman Pelaksanaan KUHAP (halaman 62), keterangan dokter bukan keterangan ahli tetapi keterangan saja yang merupakan petunjuk. Yang disebut keterangan ahli kedokteran kehakiman untuk memeriksa mayat atau pemeriksaan bedah mayat.

c.      Pemanggilan dan Pemeriksaan Ahli
Pemanggilan Terhadap Ahli
-        Dasar hukum pemanggilan seorang ahli adalah sama dengan dasar hukum pemanggilan seorang saksi, yakni pasal 146 ayat (2) dan pasal 227 KUHAP.
-        Pemanggilan terhadap ahli dilakukan dengan menyebutkan secara jelas tanggal, hari, jam, tempat dan untuk perkara apa ia dipanggil.
Tata Cara Pemeriksaan Ahli
-        Ditanya tentang identitas ahli, mengenai nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan.
-        Sebelum memberikan keterangan, ahli bersumpah atau berjanji menurut cara agama masing-masing.
d.      Kekuatan Alat Bukti Keterangan Ahli
1.      Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, karena tidak mengikat seorang hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Guna keterangan ahli dipersidangan merupakan alat bantu bagi hakim untuk menemukan kebenaran, dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya sendiri atau tidak.
2.      Suatu keterangan ahli baruu mempunyai nilai pembuktian, bila ahli tersebut dimuka hakim harus bersumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Dengan bersumpah baru mempunyai nilai sebagai alat bukti.
3.      Jika ahli tidak bisa hadir, dan sebelumnya sudah mengucapkan sumpah dimuka penyidik maka nilainya sama dengan keterangan ahli yang diucapkan dalam sidang.
4.      Apa yang diterangkan oleh seorang ahli adalah merupakan kesimpulan-kesimpulan dari suatu keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Atau dengan kata lain merupakan penilaian atau penghargaan terhadap suatu keadaan.
Alat Bukti Surat
Macam-macam surat :
1.      Surat biasa
2.      Surat otentik
3.      Surat dibawah tangan
Jika macam-macam surat tersebut dihubungkan dengan ketentuan pasal 187 KUHAP, maka :
-        Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAPtermasuk otentik.
-        Pasal 187 huruf d termasuk surat biasa.
Yang dimaksud dengan surat dalam pasal 187 huruf a KUHAP adalah :
-        Berita acara, misalnya berita acara yang dibuat oleh seorang penyidik.
-      Surat yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, misalnya surat-suarat yang dibuat oleh seorang notaris.
Yang dimaksud dengan surat yang diatur dala pasal 187 huruf b KUHAP adalah :
-        Surat-surat yang dibuat oleh pejabat di lingkungan pemerintahan (eksekutif).
-        Surat-surat yang dikeluarkan oleh suatu majelis misalnya hakim.
Yang dimaksud dengan surat yang diatur oleh pasal 187 huruf c KUHAP adalah sama dengan yang dimaksud dalam penjelasan pasal 186 KUHAP.
-   Jika dikaitkan dengan penjelasan pasal 186 KUHAP, maka alat bukti surat dapat berupa keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
-        Laporan tersebut itu mencakup didalamnya visum et repertum yang sebenarnya telah ditentukan sebagai alat bukti yang sah dalam staatblad 1937 – 350.
Yang dimaksud dengan surat yang diatur dalam pasal 187 huruf d KUHAP adalah surat-surat biasa yang baru berlaku jika ada hubungannya dengan isi alat bukti yang lain.
Misalnya :
-        Surat ancaman dari terdakwa kepada korban dalam perkara pembunuhan.
-    Surat cina antara terdakwa dengan saksi dalam perkara membawa lari seorang gadis dibawah umur.

PENERAPAN HUKUM PASAL 266 KUH PIDANA
Hakim Salah Menerapkan Hukum Abstrak Hukum :
-        Unsur delik ex pasal 266 ayat (1) KUH Pidana antara lain disebutkan : menyuruh menempatkan keterangan palsu kedalam ”akta authentik” unsur delik akta authentik ini haruslah diartikan sebagaimana yang ditentukan didalam pasal 165 HIR jo pasal 1868 BW KUH Perdata : bahwa yang dimaksud dengan kata authentik adalah akta yang dibuat oleh Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.
-        Oleh karena ”Certificate of Appraisal”, tidak dibuat oleh Pejabat Umum, melainkan dibuat oleh suatu perusahaan penilai, PT. Kharisma, maka Certificate of Appraisal a’quo secara yuridis tidak dapat digolongkan sebagai akta authentik, seabgaimana yang dimaksud oleh pasal 165 HIR jo pasal 1868 BW sehingga dalam kasus diatas, meskipun ”Certificate of Appraisal” mengandung isi/ keterangan yang tidak benar/ palsu, yang kemudian dimasukkan/ dicantumkan dalam Akta Notaris Perjanjian Hutang/ Kredit, maka perbuatan Terdakwa yang memasukkan/ atau menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam Certificate of Appraisal, adalah tidak dapat dikualifikasikan sebagai ”Perbuatan Pidana (Strafbaar feit)” ex pasal 266 ayat (1) KUH Pidana.
-        Pengadilan Negeri Bandung : No. 870/ Pid/ B/ 2002/ PN. Bdg, tanggal 12 September 2002.
-     Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung : No. 324/ Pid/ 2002/ PT. Bdg, tanggal 23 Oktober 2002.
-        Mahkamah Agung RI : No. 1893-K/ Pid/ 2002, tanggal 27 Februari 2003.
(Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun XIX No. 218 November 2003; halaman 41).

”Surat bukti yang tidak diberi materai tidak merupakan alat bukti yang sah”.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 13 Maret 1971, No. 589 K/ Sip/ 1970.
(Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972. Buku I Hukum Perdata. FH. UNPAD Bandung, Februari 1974. Halaman 113).

“Surat bukti yang tidak bermaterai tidak dapat dijadikan alat bukti, sehingga harus dikesampingkan”.
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya tanggal 20 Februari 1970, No. 321/ 1970/ Pdt.
(Yurisprudensi Jawa TImur 1975-1976, Tahap kedua, buku II Hukum Perdata. FH. UNAIR, Desember 1976. Halaman 108).

Surat bukti yang tidak bermaterai.
Pertimbangan Pengadilan Negeri yang dibenarkan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung : Kwitansi yang diajukan oleh tergugat sebagai bukti, karena tidak bermaterai oleh Hakim dikesampingkan.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 28-8-1975 No. 983 K/ Sip/ 1972.
(Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata Dan Acara Perdata, halaman 218-219).

Ketentuan bukti surat yang tanda tangannya diakui.
Pertimbangan Pengadilan Tinggi yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung ; Dalam surat Perjanjian sewa menyewa tersebut (bukti P. IV) penggugat mengakui telah menerima dari tergugat penyetoran sebanyak Rp 1.625.000,00 (satu juta enam ratus dua puluh lima ribu rupiah) sebagai pembayaran kontrak sewa dan tanda tangan dalam surat perjanjian ini diakui sebagai tanda tangannya sendiri.
Dengan adanya pengakuan tersebut menurut pasal 1875 BW surat perjanjian itu mempunyai kekuatan bukti yang sempurna tentang isinya seperti akte otentik, sehingga kwitansi sebagai tanda penerimaan uang tersebut tidak diperlukan lagi.

Putusan Mahkamah Agung tanggal 3-12-1974 No. 1034 K/ Sip/ 1971.
(Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata Dan Acara Perdata, halaman 218).

”Dalam hal telah mengakui kebenaran tanda tangan dalam suatu surat, tetapi menyangkal tentang kebenaran penulisan yang terdapat dalam surat yang bersangkutan, maka adalah beban yang menyangkal untuk membuktikan sangkalannya itu”.
Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya, tanggal 17 Mei 1973 No. 109/ 1972/ Pdt.
(Yurisprudensi Jawa Timur 1975-1976, Tahap kedua, buku II Hukum Perdata. FH. UNAIR, Desember 1976. Halaman 118).

Kekuatan Hukum Tanda Tangan :
”Seseorang tidak dapat menyatakan secara sah, bahwa ia tertipu oleh pihak lain, apabila ia membubuhi tanda tangannya di bawah suatu surat perjanjian tanpa membaca isi surat perjanjian itu terlebih dahulu”.
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 15 Juli 1970, No. 290/1969/ perd/ PTB.
(Yurisprudensi Jawa Barat tahun 1969-19762 Buku I Hukum Perdata halaman 121).

Surat perjanjian di bawah tangan :
”Surat perjanjian di bawah tangan yang dibuat tanpa kehendak atau persetujuan pihak yang bersangkutan hanya dapat dibatalkan, apabila surat tersebut dibuat bertentangan dengan hukum atau karean adanya kesesatan, paksaan atau penipuan.”
Putusan Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 15 Juli 1970, No. 290/1969/ perd/ PTB.
(Yurisprudensi Jawa Barat tahun 1969-19762 Buku I Hukum Perdata halaman 121).

Surat Keterangan Kepala Desa
’Surat-surat bukti yagn diajukan penggugat untuk kasasi berupa : keterangan keputusan Desa Andir tanggal 9 Oktober 1968 yang dikuatkan oleh Camat; U.D. tanggal 3 Desember 1966 No. 282/ 18; peta form 32 A/ 410/ 69 tanggal 10 Oktober 1968 dan peta tanggal 24 April; bukan merupakan akte otentik seperti yang dimaksudkan oleh undang-undang”.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 20-8-1975 No. 907 K/Sip/ 1972.
(Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata Dan Acara Perdata, halaman 217).

Foto Copy.
Karena judex facti mendasarkan keputusannya atas surat-surat bukti yang terdiri dari foto-foto copy yang tidak secara sah dinyatakan sesuai dengan aslinya, sedang terdapat diantaranya yang penting-penting yang secara substansiil masih dipertengkarkan oleh kedua belah pihak, judex facti sebenarnya telah memutuskan perkara ini berdasarkan bukti-bukti yang tidak sah.
Putusan Mahkamah Agung tanggal 14-4-1976 No. 701 K/ Sip/ 1974.
(Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata Dan Acara Perdata, halaman 218).

Menurut Prof. Mr. D. Simmons dalam Leeboek Van Het Nederlandsche Strafrecht jilid II, maka dimasukkan pengertian akte otentik, ialah balans suatu NV yang telah disetujui, buku besar, surat angkutan, journal kapal, obligasi, velgbriefjes.

(Martiman Prodjohamidjojo, SH. Komentar Atas KUHAP. Pradnya Paramita Jakarta. 1984. Halaman 91).

KEKUATAN ALAT BUKTI SURAT DALAM HUKUM ACARA PIDANA
-     Bahwa sesuai dengan sistem pembuktian negatif yang dianut oleh KUHAP, yakni harus ada keyakinan dari hakim terhadap alat bukti yang diajukan di persidangan. Nilai alat bukti adalah bersifat bebas.
-        Bahwa karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran material atau kebenaran sejati, maka konsekuensinya hakim bebas untuk menggunakan atau mengesampingkan sebuah surat.
-        Disamping itu haruslah diingat pula tentang adanya minimum pembuktian (M. Yahya Harahap 1985: 837), walaupun ditinjau dari segi formal alat bukti surat resmi (otentik) yang berbentuk surat yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan undang-undang adalah alat bukti yang sah dan bernilai sempurna, namun nilai kesempurnaannya, pada alat bukti surat yang bersangkutan tidak mendukung untuk berdiri sendiri. Bagaimanapun sifat kesempurnaan formal yang melekat pada dirinya, alat bukti surat tetap tidak cukup sebagai alat bukti yang berdiri sendiri. Ia harus tetap memerlukan dukungan dari alat bukti lain.
Berarti sifat kesempurnaan formalnya, harus tunduk pada asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam pasal 183 KUHAP.

Perlu diingat dua hal tentang kekuatan alat bukti surat (A. Karim Nasution, op cit: 121) yaitu :
-     Bahwa bagaimanapun kekuatan pembuktian yang diberikan terhadap bukti-bukti surat dalam perkara perdata, namun surat-surat tersebut dalam perkara pidana dikuasai aturan, bahwa mereka harus menentukan keyakinan hakim.
Dengan demikian maka dalam perkara perdata, hakim adalah berkewajiban untuk memutus suatu perkara menurut kekuatan bukti dari suatu akta otentik yang tidak dilemahkan oleh bukti sangkalan, tetapi dalam perkara pidana, akta yang sama dapat saja dikesampingkan oleh hakim.
-      Bahwa pembuktian dalam perkara perdata adalah bertujuan untuk memutuskan apa yang oleh kedua belah pihak yang berperkara dianggap benar (kebenaran formal) sedang tujuan dari pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran material.

PETUNJUK
Petunjuk
Adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya (Pasal 188 ayat (1) KUHAP).
Petunjuk hanya dapat diperoleh dari :
a.      Keterangan saksi
b.      Surat
c.      Keterangan terdakwa.
Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Pembuktian yang didasarkan pada petunjuk-petunjuk di dalam berbagai alat bukti, tidak mungkin akan dapat diperoleh oleh hakim tanpa mempergunakan suatu redenering atau suatu pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara kenyataan yang satu dengan kenyataan yang lain, atau antara pidananya itu sendiri.
Karena adanya syarat yang satu dengan yang lain harus terdapat persesuaian, maka dengan demikian berakibat bahwa sekurang-kurangnya perlu ada 2 (dua) petunjuk untuk memperoleh bukti yang saha tau sebuah alat bukti petunjuk dengan satu buah alat bukti lain ada persesuaian dalam keseluruhan yang dapat menimbulkan alat bukti.

KETERANGAN TERDAKWA
Keterangan Terdakwa
Ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukana tau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Pasal 189 ayat (1) KUHAP).
Yang menjadi alat bukti
Adalah keterangan terdakwa, bukan keterangan tersangka yakni keterangan yang diberikan ketika dulu ia diperiksa di muka penyidik.
Keterangan terdakwa bisa dibagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu :
a.      Diberikan di luar sidang, yaitu merupakan keterangan tersangka yang diberikan di depan penyidik.
b.      Diberikan didalam sidang pengadilan.
Keterangan terdakwa yang diberikan dalam persidangan barulah merupakan alat bukti. Keterangan tersebut berisi pernyataan terdakwa tentang apa yang ia perbuat, apa yang ia lakukan da napa yang ia alami.
Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah (Pasal 189 ayat (4) KUHAP).

KURANG BUKTI TERDAKWA DIHUKUM
Abstrak Hukum :
-      Dari putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, dapat kita ketahui, bahwa putusan judex facti (Pengadilan Tinggi yang membenarkan dan menguatkan putusan Pengadilan Negeri), telah dibatalkan, karena dinilai oleh MA-RI, sebagai putusan yang salah menerapkan ”hukum pembuktian dalam perkara pidana” yaitu : Hakim telah melanggar ketentuan undang-undang, ex pasal 183 KUHAP. Mengenai ”batas minimum pembuktian” untuk dapat menyatakan terdakwa bersalah dan menghukumnya.
-        Bahwa mengenai ”batas minimum pembuktian” yang diatur dalam pasal 183 ini, harus dikaitkan dengan pasal 184 (1) KUHAP.
-        Dalam kasus ini, Hakim telah menghukum terdakwa berdasar atas bukti yang tidak lengkap dan ”kurang dari” batas minimum yang diwajibkan oleh undang-undang No. 8/ 1981 (sistem pembuktian negatief wettelijk).
-        Bahwa dengan demikian, maka kita dapat menarik ”abstrak hukum” sebagai berikut :
Ø Bahwa pengakuan terdakwa didalam persidangan yang mengatakan bahwa ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya, tanpa disertai atau didukung oleh alat bukti lainnya, maka pengakuan terdakwa ini saja masih belum memenuhi ”Asas batas minimum pembuktian” sebagaimana ang ditentukan oleh Undang-undang (KUHAP)
Ø  Pangadilan Negeri Kotabumi Lampung No. 018/ Pid. B/ 1988, tanggal 7 Juli 1988.
Ø  Pengadilan Tinggi Tanjungkarang No. 132/ Pid. B/ 1988, tanggal 24 Desember 1988.
Ø  Mahkamah Agung RI : No. 1071.K/ Pid/ 1989, tanggal 9 Agustus 1989. (Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun V No. 54. Maret 1990; halaman 5).

BARANG BUKTI
Barang bukti
Adalah hasil serangkaian tindakan penyidik dalam penyitaanm dan atau penggeledahan dan atau pemeriksaan surat untuk mengambil alih dan atau menyimpan dibawah penguasaannya benda bergerak atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
(Drs. Hari Sasangka, SH., MH., Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Mandar Madju Bandung. 2003. halaman 99).
Istilah barang bukti dalam KUHAP dapat kita temukan pada pasal-pasal sebagai berikut :
-        Pasal 8 ayat (3) huruf b
-        Pasal 40
-        Pasal 46 ayat (2)
-        Pasal 181 ayat (2)
-        Pasal 194 ayat (2)
-        Pasal 197 ayat (1) huruf l
-        Pasal 205 ayat (2)
Cara mendapatkan barang bukti :
a.      Penggeledahan (pasal 32 s.d. 37 dan pasal 125 s.d. 127 KUHAP).
b.      Penyitaan (pasal 38 s.d. 46 dan pasal 128 s.d. 130 KUHAP).
c.      Pemeriksaan surat (pasal 47 s.d. 49 dan pasal 131 KUHAP).

Kegunaan barang bukti dalam persidangan
Ketentuan pasal 181 KUHAP tentang pemeriksaan barang bukti, seakan-akan hanya bersifat formal saja. Padahal secara material barang bukti sangat berguna bagi hakim untuk menyadarkan keyakinannya.

BENDA SITAAN SEBAGAI BARANG BUKTI
Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan. (Pasal 184/ 189 KUHAP).
Berdasarakan pengertian/ penafsiran otentik sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 16 KUHAP tersebut dapat disimpulkan bahwa benda yang disita/ benda sitaan yang juga dinamaikan ”barang bukti” tersebut adalah berfungsi/ berguna untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.

BARANG BUKTI BUKAN ALAT BUKTI YANG SAH
Dari perumusan Pasal 1 butir 16 dan beberapa pasal KUHAP sebagaimana diterangkan diatas dapat disimpulkan bahwa benda sitaan yang berstatus sebagai barang bukti tersebut adalah berfungsi untuk kepentingan pembuktian. Namun apabila dikaitkan dengan keberadaan alat-alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP, maka dapat diketahui secara jelas bahwa barang bukti tidak termasuk sebagai alat bukti yang sah.
Dan oleh karena itu barang bukti bukan merupakan alat bukti yang saha atau tidak sama dengan alat bukti yang sah meskipun mempunyai fungsi dalam uoaya pembuktian.
Jadi kalau demikian dimana tempat kedudukan dan fungsi barang bukti sebagai sarana pembuktian dan bagaimana caranya menilai kekuatan pembuktian terhadap barang bukti?
Apakah dua macam barang bukti misalnya barang hasil curian dan barang yang digunakan untuk melakukan pencurian sama kekuatannya dengan dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP?
Dan apakah barang bukti dapat disamakan kedudukan dan fungsinya seperti alat bukti petunjuk?
Kedudukan dan fungsi barang bukti sudah jelas tidak sama dengan alat bukti petunjuk, karena dalam KUHAP tidak ada satu pasalpun yang mengatur mengenai hal itu.
Di dalam praktek hukum kadang-kadang memang ada pejabat penegak hukum atau praktisi hukum yang menyatakan bahwa keberadaan barang bukti pada diri seseorang yang disangka sebagai pelaku tindak pidana merupakan petunjuk bahwa orang itu adalah benar-benar sebagai pelaku tindak pidana. Akan tetapi petunjuk seperti yang disebutkan itu tidak sama dengan petunjuk sebagaimana yang diatur dalam pasal 188 KUHAP.
Karena petunjuk yang dimaksud dalam pasal 188 KUHAP tidak berbentuk barang, melainkan berbentuk perbuatan, kejadian atau keadaan. Dan petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Kalau begitu apa peranan dan fungsi barang bukti dalam kaitannya dengan upaya pembuktian dalam proses pemeriksaan perkara pidana?
Meskipun KUHAP tidak memberikan penjelasan secara tersurat (eksplisit) mengenai kedudukan dan fungsi barang bukti (corpus delicti), namun apabila hal tersebut dihubungkan dengan pasal-pasal lain dalam KUHAP maka barang bukti tersebut dapat berfungsi dalam upaya pembuktian, bahkan barang bukti tersebut dapat berubah atau menghasilkan alat bukti yang sah, misalnya penyidik pada waktu melakukan tindakan/ pemeriksaan penyidikan perkara pembunuhan, penyidik melakukan penyitaan terhadap barang bukti berupa senjata tajam yang diduga melakukan pembunuhan, baju milik korban dan sandal dengan bercak darah yang diduga milik pelaku pembunuhan. Kemudian penyidik mengirimkan barang bukti berupa mayat dan barang-barang bukti tersebut kerumah sakit dan atau kepada laboratorium forensik/ ahli kedokteran kehakiman untuk mendapatkan Visum Et Repertum dan laporan/ surat keterangan ahli.
Atas permintaan penyidik berdasarkan pasal 133 jo 186 KUHAP, maka ahli kedokteran kehakiman dan atau ahli forensik membuat laporan/ keterangan hasil pemeriksaannya dalam bentuk ”keterangan ahli” dan Visum Et Repertum. Dengan demikian barang bukti yang disita oleh penyidik dan barang bukti berupa mayat korban pembunuhan tersebut telah berubah menjadi alat bukti yang sah berupa ”keterangan ahli” dan Visum Et Repertum (Pasal 184 jo 186 jo 187 huruf C KUHAP).
Demikian pula misalnya dalam perkara pencurian, penggelapan, penipuan apabila benda sitaan/ barang bukti dari hasil kejahatan yang berupa perhiasan cincin, gelang dan kalung diajukan disidang pengadilan maka sesuai dengan pasal 181 KUHAP – Hakim Ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala ”barang bukti” dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal barang bukti itu. Jika perlu benda (barang bukti) itu diperlihatkan juga oleh Hakim Ketua Sidang kepada Saksi. Apabila atas pertanyaan Hakim Ketua Sidang Terdakwa dan saksi memberikan keterangan bahwa mereka mengenal barang bukti yang diajukan di muka sidang disertai ” penjelasan” yang berkaitan dengan barang bukti tersebut maka barang-barang bukti tersebut telah berubah menjadi alat bukti yang sah dalam bentuk ”keterangan saksi” (Pasal 184 ayat (1) huruf a KUHAP) dan ”keterangan terdakwa” (Pasal 184 ayat (1) huruf e KUHAP).
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun benda sitaan sebagai barang bukti secara yuridis formal tidak tersurat/ termasuk sebagai alat bukti yang sah, namun dalam proses praktik hukum/ praktik peradilan, barang bukti itu secara materiil dapat berubah dan berfungsi sebagai alat bukti yang sah. Disamping itu keberadaan barang bukti di muka sidang pengadilan dapat juga berfungsi sebagai sarana untuk mendukung dan memperkuat ”keyakinan hakim” dalam memutuskan kesalahan dan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa (Pasal 183 KUHAP). Atas dasar itu maka dalam proses pemeriksaan dimuka sidang, seringkali hakim menunda sidang disebabkan penuntut umum tidak/ belum mengajukan barang bukti di muka sidang pengadilan.
Undang-undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE)
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a.      Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan.
b.   Alat bukti lain berupa informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta pasal 5 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3).
Pasal 1
a.     Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronika, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (Electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
b.     Dokumen Elektronik adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya yang dapat dilihat, ditampilkan dan/ atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 5
1)   Informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dan/ atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
2)  Informasi elektronik dan/ atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.
3)  Informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan sistem elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
Pasal 86
1)   Penyidik dapat memperoleh alat bukti selain sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang hukum acara pidana.
2)     Alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa :
a.   Informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan;
b.   Data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/ atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1.    Tulisan, suara, dan/ atau gambar.
2.     Peta, rancangan, foto atau sejenisnya.
3.     Huruf, tanda, angka, simbol, sandi atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

DAFTAR RUJUKAN :

1.      Moeljatno, S.H. Asas-asas hukum pidana. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta. 2000.
2.      Mr. R. Tresna, Komentar H.I.R. Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.
3.      HMA Kufal, SH., Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. UMM Press, 2007.
4.  Hari Sasangka, SH., MH. & Lily Rosita, SH., MH. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Mandar Maju, Bandung, 2003.
5.      Djoko Prakoso, SH., Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian Di dalam Proses Pidana. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1988.
6.      Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian – Pidana dan Perdata. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.
7.  M. Yahya Harahap, SH. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
8.    M. Yahya Harahap, SH. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP – Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
9.    Martiman Prodjohamidjojo, SH. Komentar Atas KUHAP – Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana. Pradnya Paramita, Jakarta, 1984.
10.   Prof. Dr. H. Muchsin, SH. Ikhtiar Ilmu Hukum. Badan Penerbit Iblam. 2006.
11.  Martiman Prodjohamidjojo, SH. Kitab Himpunan Peraturan-Peraturan Tentang Hukum Acara Pidana. Simplex, Jakarta, 1984.
12.   Waluyadi, SH. Pengantar Ilmu Hukum Dalam Perspektif Hukum Positif. Djambatan, 2001.
13.   Irawan Soejito, Teknik Membuat Undang – Undang, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976.
14.   Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972. Buku I Hukum Perdata. FH. UNPAD Bandung, Februari 1974. halaman 113.
15. Yurisprudensi Jawa Timur 1975-1976, Tahap Kedua, Buku II Hukum Perdata. FH. UNAIR, Desember 1976. halaman 108.
16. Rangkuman Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia II Hukum Perdata Dan Acara Perdata, Halaman 218-219.
17.   Majalah Hukum Varia Peradilan. Diterbitkan oleh Ikatan Hakim Indonesia. (IKAHI).
18.   Undang – Undang RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Pasal 44).

19.   Undang – Undang Psikotropika NArkotika dan Zat Adiktif Lainnya (Pasal 86).

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Flickr Images

Formulir Kontak